Berbicara soal musik, kini
musik Korean-Pop (K-Pop) mulai menjamur di Indonesia. Boy atau girl band sudah
bukan lagi sesuatu yang asing di Indonesia, sejak zaman Trio Libels, AB Three, sampai
pada SMASH, Seven Icon. Berbeda sekali dengan boy atau girl band
terdahulu, kini boy atau girl band tak punya harga jual untuk
suara mereka, hanya menonjolkan tampang dan koreografi yang itu-itu saja,
sehingga hanya mirip orang-orang senam berkedok menyanyi. Perempuan dengan
dandanan seksi, centil ala Korea dan lelaki cantik mulai banyak bermunculan di
layar kaca. Album mereka sudah mulai ke mana-mana dan bahkan audisi penyaringan bakat mulai ramai di
program televisi. Ini bermula dari Jepang-Pop (J-Pop) yang melatahkan Korea,
menjadi K-Pop, kemudian K-Pop melatahkan Indonesia. Sudah kehabisan akal kah
untuk menciptakan hal yang baru? Masih banyak karya musik asli Indonesia yang
bisa diapresiasi, kenapa harus latah?
Kini, K-Pop mulai
mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia, terutama pemuda di Indonesia
sebagai generasi bangsa. Jargon “Cinta Indonesia” pun hanya potongan kata
sebagai label kaos yang diperjualbelikan. Musik keroncong, karya musik asli
Indonesia mulai tak dikenali lagi. Entah mungkin karena keroncong tak lagi
menarik atau tidak diminati masyarakat Indonesia atau sepertinya harus menunggu
“tetangga” mengganyang keroncong, kemudian barulah Indonesia berkoar-koar tidak
terima hasil budayanya diambil.
Jumlah penjualan Compact Disk (CD) maupun kaset mulai
turun. Pihak penjualan pun menutup kerugian mereka dengan penjualan Ring Back Tone (RBT). Belum lagi
pembajakan CD atau kaset yang merajalela, ini menunjukkan bahwa mutu musik
Indonesia semakin terpuruk. Dari segi lagu, musisi sudah mati gaya, tak sanggup
lagi berkarya, hingga akhirnya lagu-lagu terdahulu dipermak dan dirilis ulang.
Dari segi penyanyi pun juga demikian, kualitas suara tak lagi jadi
pertimbangan. Penyanyi dari pemain sinetron dengan suara pas-pasan dipaksa
untuk menyanyi, bahkan seorang Brigadir Polisi Satu (Briptu) yang membuat video
lipsync dipancing agar menjadi
seorang penyanyi dan hidup di dunia entertainment,
sampai-sampai harus melepas ke-briptu-an-nya. Namun, apa yang terjadi
selanjutnya? Tak lagi laku di pasaran. Hal ini karena musik Indonesia terpaksa
melakukan semuanya demi mengikuti tren dan agar laku di pasaran.
Lalu apa esensi
sesungguhnya yang ditawarkan pada 9 Maret 2012 kemarin? Di mana 9 Maret hari
yang telah ditetapkan delapan tahun lalu oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD RI) sebagai Hari Musik Nasional. Sungguh, Hari Musik Nasional ini
bermaksud mengingatkan kita agar lebih menghargai hasil karya musisi negeri
ini. Serupa dengan Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman
Indonesia (PAPPRI) yang mengusulkan hari nasional tersebut karena banyaknya pembajakan produk musik di Indonesia.
Selain itu, perlu
dimaknai pula bahwa pemusik di negeri ini bukan hanya mereka yang sering muncul
di layar kaca. Kita memiliki pemusik jalanan yang menjajakan musiknya di dalam
bus, kereta, di terminal, di stasiun, dari rumah ke rumah, toko ke toko, dan di
tempat umum lainnya. Sejatinya, setiap karya patut untuk dihargai.
Musik merupakan produk
budaya. Kemajuan musik suatu bangsa menunjukkan kemajuan bangsa tersebut. Namun
demikian, kegalauan yang terjadi adalah bagaimana bisa menghargai hasil karya
musisi negeri ini kalau karyanya monoton? Meski ada perbedaan, itu pun sedikit.
Kemudian, bagaimana menghargai para penyanyi saat ini jika keberadaannya mirip
jalangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar, singgah sementara kemudian
hilang. Produk asli Indonesia sudah patut untuk dibanggakan. Jika masih saja
menganggap bahwa “Barat” adalah yang paling modern dan budaya kita “primitif”, ya
sudah, mau apalagi? Untuk apa Indonesia masih tetap bertahan? Lama-lama Indonesia
berubah nama menjadi Indorika, Indorea, atau bahkan Indomie.
Ade
Rakhma Novita Sari
Mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Yogyakarta sekaligus pencinta musik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar