Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Jumat, 13 Juli 2012

Musik Masih Latah, Buang Saja

Berbicara soal musik, kini musik Korean-Pop (K-Pop) mulai menjamur di Indonesia. Boy atau girl band sudah bukan lagi sesuatu yang asing di Indonesia, sejak zaman Trio Libels, AB Three, sampai pada SMASH, Seven Icon. Berbeda sekali dengan boy atau girl band terdahulu, kini boy atau girl band tak punya harga jual untuk suara mereka, hanya menonjolkan tampang dan koreografi yang itu-itu saja, sehingga hanya mirip orang-orang senam berkedok menyanyi. Perempuan dengan dandanan seksi, centil ala Korea dan lelaki cantik mulai banyak bermunculan di layar kaca. Album mereka sudah mulai ke mana-mana dan bahkan audisi penyaringan bakat mulai ramai di program televisi. Ini bermula dari Jepang-Pop (J-Pop) yang melatahkan Korea, menjadi K-Pop, kemudian K-Pop melatahkan Indonesia. Sudah kehabisan akal kah untuk menciptakan hal yang baru? Masih banyak karya musik asli Indonesia yang bisa diapresiasi, kenapa harus latah?
Kini, K-Pop mulai mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia, terutama pemuda di Indonesia sebagai generasi bangsa. Jargon “Cinta Indonesia” pun hanya potongan kata sebagai label kaos yang diperjualbelikan. Musik keroncong, karya musik asli Indonesia mulai tak dikenali lagi. Entah mungkin karena keroncong tak lagi menarik atau tidak diminati masyarakat Indonesia atau sepertinya harus menunggu “tetangga” mengganyang keroncong, kemudian barulah Indonesia berkoar-koar tidak terima hasil budayanya diambil.
Jumlah penjualan Compact Disk (CD) maupun kaset mulai turun. Pihak penjualan pun menutup kerugian mereka dengan penjualan Ring Back Tone (RBT). Belum lagi pembajakan CD atau kaset yang merajalela, ini menunjukkan bahwa mutu musik Indonesia semakin terpuruk. Dari segi lagu, musisi sudah mati gaya, tak sanggup lagi berkarya, hingga akhirnya lagu-lagu terdahulu dipermak dan dirilis ulang. Dari segi penyanyi pun juga demikian, kualitas suara tak lagi jadi pertimbangan. Penyanyi dari pemain sinetron dengan suara pas-pasan dipaksa untuk menyanyi, bahkan seorang Brigadir Polisi Satu (Briptu) yang membuat video lipsync dipancing agar menjadi seorang penyanyi dan hidup di dunia entertainment, sampai-sampai harus melepas ke-briptu-an-nya. Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Tak lagi laku di pasaran. Hal ini karena musik Indonesia terpaksa melakukan semuanya demi mengikuti tren dan agar laku di pasaran.
Lalu apa esensi sesungguhnya yang ditawarkan pada 9 Maret 2012 kemarin? Di mana 9 Maret hari yang telah ditetapkan delapan tahun lalu oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai Hari Musik Nasional. Sungguh, Hari Musik Nasional ini bermaksud mengingatkan kita agar lebih menghargai hasil karya musisi negeri ini. Serupa dengan Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) yang mengusulkan hari nasional tersebut karena banyaknya pembajakan produk musik di Indonesia.
Selain itu, perlu dimaknai pula bahwa pemusik di negeri ini bukan hanya mereka yang sering muncul di layar kaca. Kita memiliki pemusik jalanan yang menjajakan musiknya di dalam bus, kereta, di terminal, di stasiun, dari rumah ke rumah, toko ke toko, dan di tempat umum lainnya. Sejatinya, setiap karya patut untuk dihargai.
Musik merupakan produk budaya. Kemajuan musik suatu bangsa menunjukkan kemajuan bangsa tersebut. Namun demikian, kegalauan yang terjadi adalah bagaimana bisa menghargai hasil karya musisi negeri ini kalau karyanya monoton? Meski ada perbedaan, itu pun sedikit. Kemudian, bagaimana menghargai para penyanyi saat ini jika keberadaannya mirip jalangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar, singgah sementara kemudian hilang. Produk asli Indonesia sudah patut untuk dibanggakan. Jika masih saja menganggap bahwa “Barat” adalah yang paling modern dan budaya kita “primitif”, ya sudah, mau apalagi? Untuk apa Indonesia masih tetap bertahan? Lama-lama Indonesia berubah nama menjadi Indorika, Indorea, atau bahkan Indomie.

Ade Rakhma Novita Sari
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta sekaligus pencinta musik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar