Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Selasa, 14 Oktober 2014

Menulis di Blog Dapet Duit: BENER!

Kalian sering denger nulis blog bisa menghasilkan duit enggak sih? Kalau aku sih pernah. Bahkan, itu jadi motivasiku untuk nulis: dapet duit. Udahlah, urusan duit mah, aku cepet fokusnya. Hehehe... Aku pernah cari tahu gimana caranya ngeblog dapet duit. Ribet sih, paypal paypal gitu. Biasa, kalo berhubungan dengan bahasa asing, aku seringkali gagal fokus. Apalagi kebanyakan sistem yang mengatur ini itu, alhasil aku gagal paham.

Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk "ya udah deh, yang penting nulis aja di blog, barangkali ada penerbit yang minat sama tulisanku." atau "yang penting aku ngeksis aja deh, biar keliatan kalo bisa nulis."

Ya, meskipun isi blogku ini kebanyakan ngasal dan edan.

Sampai pada akhirnya lagi aku masuk ke dunia media jurnalistik. Dikit-dikit aku paham gimana caranya dapet duit dari blogger atau web. Ternyata dari duit iklan. Semakin update tulisan, semakin banyak pengunjung, semakin punya daya tawar untuk para pemilik lapak.

Aku sempat ada ide, kalau blogku banyak pengunjung, aku mau tawarin ke siapa saja yang pengen ngiklan di blogku: bayar seikhlasnya. Huwahahaha...

Nyatanya, aku belum melakukan ide briliant itu.

Tapi yang namanya rezeki nih ya, enggak bakal ke mana. Ada perusahaan branded yang datang dengan sendirinya mengajakku kerjasama. Ya, perusahaan itu adalah zalora.co.id. Tiba-tiba nongol di inbox email dengan subject "Undangan Kerjasama dengan Zalora Indonesia". Awalnya aku menyepelekan itu. Biasanya hoax. Tapi, entah kenapa jari jemariku menuntunku untuk membukanya.

Isinya, "Hello Ade, Kami ingin bekerja sama dengan blog kamu http://cintamenulis-cintamenulis.blogspot.com/   untuk....."

Gile, aku seneng banget karena zalora tau blogku. Huwahaha.. Ih, Zalora kepoin blogku deh, ih ih ih ih.

Akhirnya, ada yang ngiklan juga. Kalian juga pengen ngiklan di blogku? Boleh boleh boleh.

Nah kan, ngeblog ada manfaatnya: dapet duit. Ini baru Zalora. Siapa tahu bakal ada perusahaan lain yang mau ngiklan lagi.

Oke, selamat menulis dan selamat intip zalora.co.id, barangkali ada sesuatu yang kamu minati. Yang aku tahu di Zalora itu: FREE ONGKIR!
Check this out!

Sabtu, 11 Oktober 2014

Antara Kerja dan Skripsi? Lakukan Keduanya: Kerjakan Skripsi!

Baru saja aku ambil keputusan untuk berhenti jualan lewat BBM dengan cara nonaktif dari BBM, eeeh godaan masih seringkali datang. Ada stok kain batik tulis yang beredar di kosanku secara cuma-cuma. Ini kesempatan untukku menjualnya. Aku terbesit untuk isi paket BBM, tapi setelah itu aku mengurungkan niat itu. Labil!

Aku menyusun ini itu untuk proses marketingku. Seneng banget kalau udah disuruh cari duit. Tapi ada yang berontak: Ingat SKRIPSI!

Dan aku tertekan -___-"

Aku tertekan karena konsep ideal yang kubuat sendiri. Aku bikin konsep ideal: fokus skripsi, enggak usah nyambi apapun, pokoke fokus skripsi.

Tapi aku belum bisa fokus, masih keslamur perkara duit, pontang-panting cari cara biar dapet duit, lama-lama aku enggak fokus. Aku menyimpulkan aku menyalahi konsep ideal yang kubuat sendiri. Aku merasa bersalah kemudian tertekan dengan ini semua. Tekanan ini bikin aku stres. Stres ini bikin aku menyalahkan kalau ini semua gara-gara skripsi.

Betapa gilanya aku kini menyalahkan skripsi si benda mati. Oh, NO!

Setelah dipikir-pikir, sepertinya pikiranku yang membatasi ini semua. Pikiranku yang menjadikan ini rumit. Sebenarnya sederhana, tapi cara pikirku rumit, ya jadinya rumit. Solusinya adalah berpikir sederhana. Tapi gimana?

(mikir dulu sambil minum jus mangga)
.............................................................
.........................................................
(setahun kemudian)
.................................................................
..............................................................

Aku mulai berpikir mengapa aku tak melakukan apa saja yang ingin aku lakukan? Aku pengen jualan, ya tinggal jualan aja. Aku pengen kredit HP, ya tinggal kredit aja. Aku pengen yang tinggal lakuin aja.

WOW!

Tapi aku jadi berpikir ulang, kalau seperti itu bisa saja aku hanya menuruti nafsuku. Aku coba search google tentang garap skripsi sambil kerja. Tulisan yang berhasil aku baca menyebutkan kalau akhirnya si penulis memutuskan untuk berhenti kerja dulu dan memilih fokus skripsi. Bwahahahaha...

Nah, aku? Usai berhenti kerja, fokus skripsi, bosen, pengen balik kerja lagi, bwahaha...

Godaan ini, ooooh ooooh ooooh... auwooo auwooo

Akhir cerita, mari fokus skripsi saja. Allah bersama mahasiswa tingkat akhir. Aku pasrahkan perkara keuanganku pada Allah Yang Maha Memberi Rezeki.

Selesai.

Aku cuma mau nulis gini aja. Barangkali ada mahasiswa tingkat akhir yang gundah gulana antara kerja dan skripsi, terus iseng buka google nemu artikelku: Baiklah, Kawan! Kita fokus skripsi aja yuk maariiii.

Kalian sebagai pembaca sekaligus sebagai saksi, motivasi aku untuk fokus skripsi yak?
Bwahahahaha... Yang mau ngasih uang saku sebagai bentuk motivasi juga boleh :D

Kamis, 09 Oktober 2014

Saat Ini Blogku Berjalan di Atas Kegelapan:Gagal Fokus

Pernahkah kamun merenungi nasib tulisanmu yang ada di blog? Aku baru saja merenunginya kemudian mengambil kesimpulan kalau isi blogku acak adut, istilah bekennya blog gado-gado. Lebih keren lagi, blog tak berpendirian. Ya, mau gimana lagi. Blog ini dibuat tidak berdasarkan tujuan yang jelas, cuma keisengan manusia yang pengen eksis lewat tulisan.

Kadang pengen bikin blogku ini jadi kumpulan tips-tips yang bermanfaat, tapi kepentok galau, nongol tulisan curhatan deh.

Kadang pengen bikin blog ini jadi kumpulan artikel berbobot, ilmiah, pendidikan gitu. Eh, kepentok semua tugas kuliah ke-upload. Ujung-ujungnya, kagak naha derita, nulis curhatan lagi.

Sampai pada akhirnya memutuskan untuk menjadikan blogku isi tulisan cerita pribadi, eeeh ada yang nyolot kalau aku gak punya buku diary-lah, pengen dimodusin lah, pengen apalah. Yang jelas nih, aku pengen tulisanu dibaca.

Sampai ada yang protes lho, "Kok blogmu isinya kangen-kangenan gitu sama Mas Ain sih?" Terus aku harus jawab apa dong? Antara malu dan seneng sih, ternyata ada yang mau nengok blogku. Bwahaha..

Nah, sampai di ujung sini, aku nulis apa sih sebenarnya? Ya, beginilah aku. Seringkali gagal fokus. Sama seperti halnya gagal fokus pada skripsi. Lagi serius garap skripsi nih ya, tiba-tiba terbesit ide kreatif untuk berbisnis. Aku langsung alih fokus berkhayal tentang konsep bisnis yang akan aku jalani. Habis itu lelah, terus menyadari kalau skripsiku udah ketinggalan jauh di belakang. Kemudian nangis daraaaaah.

Kalau udah ngomongin duit aja, yang lainnya kelewat, langsung gagal fokus. Sama seperti halnya blog ini nih: gagal fokus.

Ya, udah deh, Seiring berjalannya waktu, blog ini akan menemukan jalan yang benar, tahu diri, bisa menentukan arah dan tujuan.

Saat ini blogku berjalan di atas kegelapan, namun blogku hanyalah blog biasa yang tak sempurna. Titisan hidup blogku berlapis gundah yang kurasa semua tak kan ada habisnya sampai derita kegalauanku sembuh. Ngeeeek -____-"

Sabtu, 20 September 2014

Banyak Orang Butuh Uang tapi Mereka Punya Cara Masing-masing untuk Mendapatkannya

Selamat ulang tahun untuk ibuku tercinta.

Kado yang sudah kusiapkan ingin sekali kuhantar ke rumah, tapi sayangnya di hari ulang tahunnya ibuku memilih untuk pergi ke rumah Mbah Mamak-ibu dari ibuku/nenekku. Baiklah, aku putuskan untuk ikut ke rumah mbah Mamak.

Di Terminal...

Tak seperti biasanya, kali ini aku yang menunggu ibuku di terminal. Biasanya, ibu menungguku berjam-jam di terminal. Ini pertanda bahwa aku sudah ada perubahan. Haha..

Aku duduk di kursi dekat WC umum sambil menikmati suasana terminal di pagi hari. Sedikit jenuh aku pun memainkan handphoneku sambil SMS ibuku untuk menanyakan sudah sampai mana dirinya.

Ya, ibuku berangkat dari Kediri, tiba di Yogyakarta tengah malam. Ibu tidur di rumah Pakde Said-kakak laki-laki dari ibuku/pakdeku. Paginya kami janjian untuk bertemu di terminal Giwangan.

Kembali ke suasana terminal...

Ada pak tua keluar dari WC umum tanpa baju. Ingat! Tanpa baju ya? Dia telanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Sambil menenteng tasnya, dia berjalan lirih di sampingku sambil berucap, “Nuwun sewu,” sambil menengadahkan tangannya. Aku bingung. “Nuwun sewu” itu tanda permisi atau dia minta uang?

Kebingunganku ini ditangkap oleh lelaki penunggu kotak WC umum. Lelaki itu berucap, “Kalau takut duduk sini aja, Mbak.” Lelaki itu menawarkan sisa kursinya untukku. Aku berpikir, “Hanya karena ada pak tua seperti ini, masa iya patut untuk ditakuti? Apanya yang ditakuti coba?” Aku pun menolak tawaran, “Mboten.”

Pak tua itu duduk di sampingku. Dia mengenakan bajunya. Aku masih bergulat dengan pikiranku,

“Tadi dia bilang “nuwun sewu” itu minta uang atau tanda permisi ya?” Akhirnya, aku putuskan untuk menyimpulkan itu tanda permisi.

Sejenak kemudian, pak tua itu mengeluarkan jam tangan. Jam tangan lelaki warna hitam dengan gelang warna abu. “Beli jam saya ini, Mbak,” ungkapnya. Pak tua itu menawarkan jam tangan miliknya. Dia beli dengan harga seratus ribu dan mencoba menawarkan padaku dengan harga yang sama. Aku tersenyum. Pak tua itu merayuku, katanya perempuan berkerudung oren sepertiku pantas untuk mengenakan jam itu. Aku masih tersenyum.

Pak tua itu bercerita tentang keluarganya di Cilacap. Aku tak begitu mendengar ceritanya. Hanya sepotong-potong yang benar-benar terdengar, yaitu dia punya dua cucu. Kemudian, dia menjual jam tangan itu untuk beli tiket kembali ke Cilacap. Aku tak begitu mendengarnya karena aku bergelayut dalam pikiranku: aku sudah terlalu sering bertemu dengan orang semacam ini. Mau diapakan orang-orang seperti ini?

Memang tidak dipungkiri, barangkali orang sepertinya melakukan itu karena butuh. Kadang, caranya saja yang memuakkan. Aku mulai berpikir untuk membelinya separuh harga. Belum juga kutawar, dia sudah menawar dengan separuh harga. Wah, cocok!

Tiba-tiba aku berpikir buruk bahwa jam tangan ini bukan miliknya. “Jangan-jangan ini jam curian?” Aih, rasanya jahat sekali ya berpikir demikian.

“Ini jam siapa, Pak?” tanyaku.

“Jam saya!” dia menjawab dengan nada tinggi.

“Bapak dari Cilacap? Terus di Yogyakarta ngapain?” tanyaku.

“Minta-minta. Saya ke Yogyakarta untuk minta-minta. Ya, daripada saya minta-minta dapetnya seribu, lima ratus, mending saya jualan jam saya ini saja biar cepet, biar bisa buat beli tiket. Lima puluh ribu saja, nanti saya mau nawar ke penjual tiket,” jawabnya panjang dan aku merasa jawabannya enggak nyambung.

“Sejak kapan di Yogya?” tanyaku.

“Baru kemarin nyampe. Udah setengah harian,” jawabnya.

“Lha, Bapak tidur di mana?” tanyaku.

Mulanya dia tak menjawab, hanya mengangkat tangannya.

Aku mngernyitkan dahi.

Barulah dia menjawab, “Di sini (menunjuk bangunan timurku). Saya tidur di atas. Daripada tidur di bawah? Di atas agak panas, tapi enggak banyak nyamuk.”

Bayanganku, dia tidur di loteng. Aku pun menengok bangunan yang ditunjuknya. Aku mengenal itu bangunan apa. Kuamati. Tak ada loteng di sana. Aku pun tersenyum.

Masih berpikir mau beli jam itu atau tidak karena aku ragu. Tiba-tiba saja aku terbayang-bayang dengan wajah bapak tua penjual stiker, penjual kerajinan tangan, penjual, ah!

Entah malaikat atau setan di pundakku berbisik, “Daripada beli dagangan orang seperti ini, mending beli dagangan bapak tua yang lain yang niat berjualan cari rezeki. Nanti pak tua ini jadi kecanduan, TUMAN!”

Argh! Aku mulai bingung. Di sisi lain aku tahu, pak tua ini sedang berbohong atas kondisinya. Di sisi lain aku merasa pak tua ini melakukan ini karena butuh.

Berbisik lagi, “Banyak orang butuh uang tapi mereka punya cara masing-masing untuk mendapatkannya. Orang seperti ini tak pantas mendapatkan penghargaan atas usahanya.”
Tapi dia butuh! Berontak akalku.

Masih berbisik, “Apa buktinya kalau dia butuh? Bisa saja dia ini orang berduit. Dan dia cari duit dengan cara seperti itu.”

Aku ra kuaaaatttt!!!!

“Allah beri aku petunjuk.”

Sejenak kemudian aku melihat ibuku dari dalam terminal melambaikan tangannya. Aku pun mengikuti kata hati, kemudian memutuskan untuk segera pergi.

“Saya sudah ditunggu ibu saya di dalam, saya masuk dulu nggih, Pak. Maaf, saya belum bisa beli jam Njenengan. Semoga rezeki Njenengan lancar,” ucapku sambil mengangkat tas dan mengembalikan jam tangannya.

“Aamiin. Terima kasih,” jawabnya.

Aku berlari kecil meninggalkan Pak Tua itu. Sambil berjalan, aku melihat bangunan yang sudah ditunjuk Pak Tua tadi.

“Hotel TGY (Terminal Giwangan Yogyakarta)”-aku lupa namanya, yang jelas ada tulisan “Hotel”.

Aku berjalan sambil mengamati Pak Tua tadi. Miris. Aku hanya bisa mendoakannya.

Aku yakin, di antara kalian yang baca tulisan ini, pasti pernah bertemu dengan aneka rupa orang seperti pak tua itu kemudian hati dan pikiran kalian bergelut. Oh, NO!
Miris.

Minggu, 07 September 2014

Lagi Sentimen!

Entahlah ini mau dibilang sebuah keberhasilan atau bukan. Beberapa hari ini aku mampu bikin pola tidur maksimal pukul 3 pagi. Dan kini, aku memecahkan pola itu: aku belum juga tidur lebih dari pukul 3. Entahlah, sepertinya ini bukan kabar baik. Karena, sebelumnya aku bikin pola tidur pukul 22 dan bangun pukul 4. Eh, lha ini, udah mau pukjul 4 aku masih melek.
Udah berasa kayak kelelawar tau enggak sih? Malam melek, paginya tidur.

"Sibuk lemburan ya, De? Sering lemburan kok tapi skripsimu enggak kelar2 juga."

Hellloooooow! Memangnya lembur selalu identik dengan skripsi, tugas kuliah? Rasanya hidup jadi sempit banget kalau yang kalian omongin itu kuliah, kuliah, skripsi, lulus, dan wisuda. Hidup jadi monoton, tau enggak?

Udah deh, aku lagi sentimen kalau ngomongin skripsi.
Bwahahahahahahaha.....

Kumat Nulis Enggak Jelas

Lama sudah tak menulis di blog. Ya, biasalah sok-sokan sibuk skripsi tapi enggak kelar-kelar juga. Banyak yang bilang karena gue gagal fokus.
Eh, "gue"? sejak kapan?
Tapi emang kosakata "gue" asik juga untuk tulisan ngepop ya?
Enggak lah, ntar aku dikira sok-sokan. Jaim dikit.

Tiba-tiba saja aku pengen memantau perkembangan pengunjung blogku. Tak kusangka sudah puluh ribuan orang mengunjungi lamanku. Seandainya saja ada aplikasi yang bisa mengetahui siapa yang paling sering buka blogku. Aaaaah aku yakin! Aku yakin itu adalah diriku sendiri. -__-" Sedih ya?

Aku mencoba melihat daftar postinganku, sekalian ngecek, tulisan mana yang paling sering dikunjungi.
Mengejutkan! Ternyata yang paling banyak dikunjungi adalah tulisan tugas kuliahku. Huahaaaa..
Bener-bener deh!

Kalau kata Janti, dia enggak bakalan posting tugas kuliahnya karena enggak mau nanti banyak yang plagiat. Kalau menurutku, postingan tugas kuliah itu bikin banyak orang mengunjungi blog kita, huwahaaaaai <----- orang-orang pragmatik!

Tapi, ada yang mengejutkan juga nih. Ada juga tulisan yang bukan tugas kuliah tapi dilihat lebih dari 500 kali. Tulisan itu berjudul: Tips Supaya Makin disayang Pacar.
Hahahaha...

Kenapa aku ketawa?
Enggak menyangka aja kalau ternyata banyak yang pengen tau tips supaya makin disayang pacar. Masih mending lho pengennya makin disayang. Apa jadinya kalau enggak pernah disayang? Haish! Emangnya bentuk kasih sayang itu kayak apa sih?

Aku beneran enggak bisa bayangin kalau ada yang ngebet banget pengen makin disayang pacarnya, terus ngetik di google dengan kata kunci "Tips disayang pacar". Kemudian, blogku yang muncul. Ketika dibaca, dia bakal ngowoh karena isinya... Hahahaha...
Baca sendiri aja deh!

*Btw, mendingan lu gak usah nulis blog deh, De! Toh tulisanmu enggak mutu kayak gini!*

Kalau ada yang bilang kayak gitu!
Daripada aku enggak nulis, mending lu aja yang gak usah baca tulisanku.
End!

Sori, Guys! Tulisan ini emang gak penting buat lu lu semua. Tapi, sangat penting buat keberlangsungan hidup blogku! Yang penting numpang ngeksis dulu lah yaw~~~


Selasa, 05 Agustus 2014

Memetik Buah Penantian

Dalam penantian, rasanya lama sekali. Tapi, ketika apa yang dinanti itu datang: “Rasanya, ini terlalu cepat.” Begitulah kehidupan. Enggan menanti, tapi tak siap jika sudah tiba. Seperti halnya: lamaran. Aku sudah menantikan ini segera. Bahkan, aku ingin segera akad nikah. Aku menantikan itu dengan penuh harap. Ketika penantian itu datang. Aku dag-dig-dug-duer rasanya. Aku juga merasa kenapa rasanya cepat sekali apa yang kunantikan telah tiba ya? Inilah kuasa Allah: di luar kuasa kita.

Besok mas Ain dan keluarganya akan datang. Iya, besok! Perasaan baru kemarin aku merasa geram karena tidak ada tanda-tanda mas Ain akan berkunjung ke rumahku atau sekedar menelepon ibuku untuk bilang bahwa ia serius menjalin hubungan denganku. Entahlah.

Sepertinya baru kemarin aku merasa iri pada kawanku yang sudah dilamar karena ia harus berangkat ke daerta terpencil untuk mengajar. Iya, rasanya baru kemarin aku merasa iri: aku ingin juga seperti itu. Sampai aku bertanya pada hati kecilku, apa iya aku harus ikut SM3T, baru akan dipinang? Atau harus dalam keadaan genting ada lelaki lain yang ingin memintaku, barulah aku dipinang. Pertanyaan gila itu baru terpikirkan kemarin kemarin ini kok.

Sama seperti halnya kita yang merasa: “Perasaan baru kemarin aku jadi mahasiswa baru, sekarang sudah harus dituntut segera lulus dari kampus ini.”

Semua berjalan tanpa kurasa karena aku bisa menikmatinya. Tapi, tunggu! Menikmati? Bukankah selama masa penantian itu aku pun juga merasa jengkel. Ya, itu bumbu-bumbu ketidaksabaran.

Oh, iya! Bisa jadi aku menikmati masa kejengkelan itu pula.

Pada intinya, syukur alhamdulillah. Hari yang aku nantikan akan segera datang: besok!
Semoga lancar. Aamiin.

*Deg-degan menanti hari esok, aku jadi panik. Mengalihkan rasa panik, seharian kuhabiskan untuk menulis. Kenapa enggak garap skripsi? Aku juga panik dengan skripsi. Hahaha...*

Skripsi Oh Skripsi

Setiap buka laptop, aku langsung menuju folder E-Ayo Lulus-Modul, kemudian membuka file Draft Modul Memahami Teks Eksplanasi Kompleks. Ya, lembar dokumen itu selalu menghiasi laptopku ketika terbuka. Harapanku, aku akan terbiasa untuk langsung membuka lembar dokumen itu, biar bisa ingat, dan biar segera kusentuh untuk kuselesaikan. Tapi, yang namanya bunya, ya sebagai hiasan. Aku masih belum bisa membiasakan untuk benar-benar menyentuhnya kemudian menyelesaikannya dengan tuntas. Aku selalu teralihkan untuk melakukan hal lain, termasuk membuat tulisan ini.
Skripsi oh skripsi. Rasanya seperti belenggu. Aku ingin segera mengakhiri ini semua. Pernah ada saran dari seorang sahabatku, Ayu namanya. Dia memberi saran untuk lebih fokus dengan menghentikan kebiasaan seperti membuka facebook atau twitter. Pantas, dulu dia pernah menonaktifkan facebooknya. Barangkali itu salah satu caranya untuk segera menyelesaikan skripsinya. Apa iya aku juga harus seperti itu? Aku pernah menolak itu. Aku bilang aku jarang facebookan. Aku lebih sering bbman untuk jualan dan twitteran. Ayu bilang, matikan hpmu. Tapi, SMS pun juga banyak untukku. “Ya, sudah jauhi HP,” saran Ayu. Saran itu kuterima tapi belum secara utuh kuterima semua. Aku memutuskan untuk berhenti jualan. Aku hapus grup jualanku dan ya, aku fokus untuk skripsiku.
Ternyata benar, sepertinya facebook cukup memengaruhiku. Aku masih berkutat di facebook yang sebenarnya tidak memberikan keuntungan untukku. Apa iya aku harus menonaktifkan? Halah malah galau.
Ooh skripsi. Ooh skripsi. Aku pengen cepet ngelarin skripsi, tapi akunya enggak segera untuk menyelesaikannya. Fiuuuh. Ternyata skripsi menjenuhkan ya.
-_____-“
Baru saja aku hendak mengambil keputusan untuk menonaktifkan facebook, aku jadi ingat kalau saat ini aku jadi bandar arisan yang harus stay online untuk memberikan kabar seputar arisan. Ehiks... Masa iya aku mengaktifkan facebook sebulan sekali untuk urusan arisan saja?
Ya, Tuhan kenapa rasanya garap skripsi ribet banget ya? Hahaha.. Sudahlah, mengalir saja dan mari nikmati proses. Aku tetap berusaha dan kekuatan Allah menyertaiku. Aamiin.
Semangat garap skripsi biar bisa di-ACC untuk akad nikah. Hihihi...

Senin, 04 Agustus 2014

Yang Dinanti Akan Berkunjung: Ini Kehendak dan KuasaNya

Kalau kamu serius atas hubungan ini, bilang pada kedua orang tuaku. Tunjukkan padaku bahwa kamu serius padaku. Tunjukkan bahwa hubungan ini tidak untuk main-main. Lakukan ini sebelum kamu berangkat ke Tangerang. Jangan cemen! Jangan membuatku merasa menjadi seorang perempuan yang tak berharga,” ancaman semacam itu pernah terbesit dalam pikiran liarku usai salat Asar. Tiba-tiba saja aku terbesit untuk melakukan ancaman itu. Tapi, tenang.. belum kulakukan ancaman itu.

Sambil menangis aku mencoba berpikir, kalau aku melakukan itu kemudian jawaban yang muncul tidak sesuai kemauanku, apa yang harus aku lakukan? Apa aku akan meninggalkannya?

Lalu, kalau jawaban yang muncul sesuai dengan kemauanku, apa yang harus aku lakukan?

Aku berpikir ulang, untuk apa aku mengancamnya seperti itu? Kalau dia bilang pada orang tuaku karena ancamanku, tentu sebenarnya dia melakukannya karena takut pada ancamanku, bukan dari keberaniannya. Itu menunjukkan kalau sebenarnya dia tidak berani.

Aku pun mengurungkan niatku untuk mengancamnya. Kalau dia memang serius dan berani, tanpa harus kutuntut, aku yakin dia pasti akan datang menemui kedua orang tuaku.

Mulanya aku sudah memancing dengan ajakan, “Ayo main ke Purworejo! Atau mau main ke Kediri? Atau mau main di keduanya?”

Tapi tak kunjung ada jawaban, aku mengatakan, “Atau tidak main di keduanya?”

Dia hanya menjawab, “Hehe...”

Jawabannya bikin HIH!

“Jujur, aku berharap dia berkunjung ke rumahku setelah lebaran ini. Ya, meskipun belum ada tanda-tanda kalau dia akan berkunjung, tapi entahlah,” keluhku pada Ayu, sahabatku, melalui SMS.
Berharap pada manusia memang rentan kecewa. Alangkah lebih baik bila menempatkan harapan pada Sang Pemenuh Harapan. Ya, aku serahkan semua pada Sang Pemenuh Harapan. Jika memang lelaki itu adalah yang terbaik bagiku, maka kumohonkan dengan sungguh agar diberikan kelancaran untuk menuju sebuah pernikahan yang diridoi dengan jalan yang baik. Al-Fatihah... Aamiin.

Sampai di penghujung sore, usai salat Magrib, lantunan doaku masih sama dengan sebelumnya: tentang pengharapan pernikahan.

Subhanallah. Allah menjawab kerisauanku begitu cepat. Memang, jika Allah menghendaki, maka jadilah. Hari itu juga, usai salat magrib, usai kulantunkan Juz Amma, aku mendapat satu panggilan telepon: “InsyaAllah setelah tanggal 5 Agustus, Mas mau sowan ke Kediri bersama keluarga.”
Bulu kudukku berdiri: merinding.

Ini semua kuasaNya. Tanpa harus menggebu untuk mengancam, yang bisa jadi malah bikin dia sakit hati, ternyata Allah punya cara lain yang jauh lebih mudah dalam mengatur ini semua sedemikian rupa. Aku berharap ini adalah pertanda baik dan pertanda jalan sudah dimudahkan. Semoga barokah.

“InsyaAllah tanggal 6, bagaimana?” tanyanya.

Setelah kutanyakan pada ibuku, lebih baik ke Purworejo saja, biar lebih dekat. Lewat telepon pun tak apa. Ibuku memperbolehkannya. “Ibuku sudah percaya engkau dan keluargamu,” kataku.

“Bapakku menghendaki untuk bertemu,” katanya.

Kalau ke Purworejo, itu berarti sebelum tanggal 3 karena kami harus kembali ke Kediri sebelum tanggal 4. Padahal, dia mengabarkanku di tanggal 1. Itu berarti diminta untuk ke Purworejo tanggal 2: Besok!

“Sudah kutanyakan pada Om, tapi dia tidak bisa. Bisanya tetap tanggal 6. Gimana?”
Kutanyakan lagi pada ibuku. “Tanggal 6 itu jam kerja, tidak enak kalau harus cuti karena baru saja libur panjang,” jawab Ibu.

“Baiklah, bertemu kalau orang tuamu sudah pulang kerja ya? Tapi tetap tanggal 6, enggak apa kan?”
Akhirnya, diputuskan tanggal 6 Agustus 2014.

Tiba-tiba aku teringat pada obrolanku dengan mas Ain tentang tanggal cantik: 6-8-14. Yang pengen tau cerita tentang tanggal cantik, silakan buka tulisan dengan judul “Menikah Tanggal Berapa, Ya?” atau buka link ini: http://cintamenulis-cintamenulis.blogspot.com/2014/08/menikah-tanggal-berapa-ya.html

“Serius? Katamu enggak ada tanda-tanda mau berkunjung?” tanya Ayu melalui telepon setelah kukabari tentang hal ini.

“Iya, bener. Enggak ada tanda-tanda mas Ain akan berkunjung ke rumahku. Apalagi tanda-tanda berkunjung bersama keluarganya, enggak ada tanda-tanda itu. Semua terjadi begitu saja,” jawabku.

Iya, semua terjadi begitu saja. Aku hanya berharap dalam hati, yakin pada kuasaNya, dan Allah menghendaki maka terjadilah. So, jangan pernah meragukan kuasa Allah ;-)

Aku selalu meyakini bahwa semua yang terjadi ini adalah atas kehendak dan kuasaNya. Aku juga yakin ini pertanda baik untuk hubungan kami selanjutnya. Semoga Allah meridoi. Aamiin.

Mohon doa, semoga lancar dan bisa segera menyempurnakan separuh din kami.

Seperti halnya kawanku yang menanti pernikahan, dia menulis H-7, H-6. H-5, dan seterusnya. Aku pun juga ingin menuliskannya: H-2, bismillah.

Senin, 07 Juli 2014

Menikah Tanggal Berapa, Ya?

Pagi hari, 7 Juli 2014. Tanggal yang unik: 070714: tanggal 7 bulan 7 tahun 2014: karena 7 + 7 = 14.

Rasa-rasanya tahun ini (2014) sudah habis tanggal cantiknya. Kalau tahun kemarin, ada 11 Desember 2013 (111213). Kalau tahun ini? Mana mungkin 121314? Karena tidak ada bulan ketigabelas, ya sekalipun ada gaji ketigabelas sih.

“Tanggal cantik sudah habis nih, kita akan menikah tanggal berapa dong?” tanyaku tiba-tiba pada mas Ain melalui telepon.

“Tanggal cantik?” tanya mas Ain seperti  baru pertama kali mendengar istilah tanggal cantik.

“Iya, tanggal cantik. Seperti halnya 20-12-2012, atau 11-12-13, atau 1-4-14, tapi udah kelewat. Kalau tahun ini sudah habis tanggal cantiknya. Ya, seperti halnya hari ini, 7-7-14.” aku menjelaskan.

Mas Ain hanya diam.

“Yiaaah sudah kelewat, enggak mungkin kita menikah hari ini, padahal tanggal cantik sudah habis,” keluhku.

Mas Ain masih betah dengan diamnya.

“Mas,” aku mencoba memanggilnya, memastikan dia masih mendengarku di seberang sana.

“Dalem,” sahutnya.

Mendapat sahutannya, aku kembali tenang dan mencoba berpikir keras.

“Kalau bulan Agustus, kira-kira ada tanggal cantik enggak, ya?” tanyaku mencoba memecah keheningan.

Mas Ain lagi-lagi hanya diam.

“Oh, iya. Tanggal 6! Jadinya 6-8-14,” celetukku saat itu.

“Cantiknya di mana?” tanya mas Ain.

“6 + 8 = 14 kan? Aha! Berarti masih ada kesempatan juga di bulan-bulan selanjutnya dong ya? 5-9-14, 4-10-14,” jawabku penuh suka cita.

“Halah, semua tanggal juga cantik kalau mau dihubung-hubungkan dengan banyak hal. Bergantung bagaimana kita memandangnya,” jawab mas Ain.

Aku pun terdiam. Benar: cantik itu relatif.

Mau tanggal berapapun, aku yakin ketika akad nikah terjadi, itu adalah hari terindah, dan menjadi tanggal cantik tersendiri bagi sang mempelai. (Aiiiih aku menantikan tanggal itu)

Bukan perkara tanggalnya, tapi perkara harus disegerakan. Untuk apa menunda-nunda pernikahan? Haha.. jangan sampai menunda pernikahan hanya karena menunggu tanggal cantik karena semua tanggal juga cantik, bergantung bagaimana kita memandangnya.

Oh iya, ternyata tanggal cantik untuk pernikahan unik untuk diperbincangkan, seperti temuan di link berikut: https://www.facebook.com/miuLan.Hijab/posts/494686233980133

Sabtu, 28 Juni 2014

Ramadan Terakhir di Masa Lajang: Why Not?

“Kegiatan apa yang bisa aku lakukan di rumah, Bu?” tanyaku usai salat magrib.
“Banyak. Tadarusan, kegiatan remaja masjid, kalau sore ngajar TPA. Nanti menjelang magrib jualan jus. Wah menyenangkan itu,” ungkap Ibu.
“Iya, ya. Banyak kegiatan menyenangkan di rumah sebenarnya. Aku ingin mengabdi di masyarakat sini. Barangkali ini ramadan terakhirku di masa lajang,” ucapku.
“Apa itu lajang?” tanya Ibu dengan polos.
“Single,” jawabku.
“Halah,” ibu menahan tawanya.
“Lho iya to, siapa tahu ini adalah Ramadan terakhirku di masa lajang. Ramadan tahun depan kan aku sudah bersuami,” ungkapku penuh keyakinan.
“Pede banget,” ketus ibu masih dengan menahan tawa.

Sudah kedua kalinya aku punya keyakinan bahwa “Ini adalah Ramadan terakhirku di masa lajang”. Aku pernah meyakini ini di Ramadan tahun 2013 kemarin. Berdasarkan perhitunganku, aku akan menikah setelah wisuda. Aku memprediksi akan lulus bulan Mei 2014 (sebelum Ramadan tiba). Aku mengira-ngira, berarti saat Ramadan tahun 2014 tiba, aku sudah dalam keadaan bersuami. Tapi ternyata takdir berkehendak lain. Sampai Ramadan sudah tiba pun aku belum lulus dan belum menikah. Hihihi
Keyakinanku tentang hal ini tidak pudar. Tahun ini aku masih meyakini hal yang sama kalau Ramadan tahun ini adalah Ramadan terakhir di masa lajangku. Ramadan tahun depan aku sudah bersuami. Yeaaaach!
“Kok ibu malah ketawa? Mbok anaknya didoain gitu lho. Rida orang tua itu rida Allah lho, Bu. Doa dari ibu cepet manjurnya,” pintaku.
“Haduh duh, apakah kamu sedikitpun tidak ingin bekerja lebih dulu?” tanya ibu.
“Lha memangnya kalau nikah enggak bisa kerja po? Prioritas, Bu. Menyempurnakan separuh agama menjadi prioritas enggak salah kan?” sahutku.

Kebanyakan orang berpikir-terutama orang tua, seorang anak itu sekolah, kuliah, lulus, kerja, baru nikah, punya anak, dan seterusnya. Rutinitas yang membosankan. Banyak kan yang kuliah langsung kerja enggak lulus-lulus (tapi pada akhirnya lulus juga kok, hehe). Ada juga yang nikah dulu baru kuliah. Bahkan, ada yang punya anak dulu baru nikah-naudzubillah. Ya, begitulah pola orang yang menentang kelaziman. Tapi tiga contoh yang aku sebutkan terkadang juga dilazimi beberapa orang kan? Huuu
Banyak orang menganggap mapan dulu baru nikah. Tapi bagiku, nikah dulu baru gampang mapan. Entahlah pikiran itu terdoktrin dari mana. Yang jelas, aku sudah kebal pada omongan orang, “Hidup itu harus memandang realitas, tetap harus diperhitungkan ini itunya,” syalalalala dan seterusnya. Sudah bosen sama yang begituan. Akal pikiran manusia susah nyampek untuk memperhitungkan urusan dunia. Yang dihitung masalah keuntungan dan keuntungan, tapi realitasnya lupa bersyukur, jadinya ya merasa kurang terus, merasa enggak untung-untung juga. Salah siapa dong? Mau dikasih kekayaan bejibun, kalau enggak bersyukur dan masih merasa kurang, ya udah, tetep bilangnya belum mapan, masih miskin. Mapan masih mengalami perdebatan maksud, pemirsa. Coba kamu jelaskan apa itu mapan! Kecukupan untuk memenuhi kebutuhan kah? Baiklah, kalau sudah merasa cukup, berarti sudah mapan ya? Oke deh, cukup! Horeeee aku sudah mapan ayo nikaaaaah, hehehe
“Kemapanan apalagi yang harus aku cari? Allah sudah menjanjikan akan melapangkan rezeki orang yang menikah,” ucapku.
“Ya, setidaknya kamu punya pegangan dulu sebelum menikah,” saran Ibu.
“Pegangan yang mana lagi? Aku sudah berpegang pada janji Allah,” tegasku dengan senyuman termanis.
Ibu hanya terdiam dalam senyumnya yang sumringah.

Kalau ada yang bilang, “Lihat si Fulan, perekonomiannya malah makin buruk setelah dia menikah.” Berarti yang ngomong kayak gitu, dia tidak percaya pada janji Allah. Lagipula, janji Allah juga banyak, lho! Buruk di mata kita, belum tentu buruk di mata Allah kan? Kita tidak akan pernah tahu di balik keburukan yang menimpa si Fulan itu ada berkah yang lain. Kalau perekonomian Fulan buruk, terus mau apa? Kalau bagimu buruk, belum tentu bagi Fulan buruk. Bisa jadi Fulan dalam keadaan bahagia tapi kamu tidak mengetahui itu. Wong kui sawang sinawang.
“Ya, sudah. Kalau kamu mau nikah sekarang, segeralah. Mana yang mau melamar? Ibu persilakan,” ungkap ibu.
Aku pun diam.
SKAK MAK! Ngeyel pengen cepet nikah, giliran dipersilakan malah diem. Hahahaha...
Mohon doa aja deh semoga diberi kemudahan untuk segera menikah. Hehehe.. dan segera lulus tentunya. Kudoakan pula untuk siapapun kamu yang membaca tulisanku yang ingin segera menikah ataupun lulus, semoga bisa segera ya. Semoga kita bisa berjalan menuju kebaikan lewat jalan yang baik dengan cara yang baik pula.
eaaaaaaaaaak >.<

Salam syukur!

Jumat, 27 Juni 2014

Pencapain yang Tak Kusangka: Blogku!

“Ih, seneng ya.. udah wisuda. Skripsiku kok belum kelar juga ya?”
“Duh, enak betul jadi dia, udah jadi senior manager, dapet bonus 7 juta per bulan. Aku masih stagnan enggak dapet bonus juga.”
“Seneng kali ya, wisuda udah ditemani suami. Aku udah jungkir balik minta didoain sana sini biar segera bisa nikah, belum juga nikah-nikah.”
“Wah, ternyata bukumu sudah terbit di mana-mana. Keren ya? Aku udah ngirim ke penerbit aja ditolak.”
“Toko onlinemu udah mulai banyak pembeli ya? Toko onlineku masih sepi aja.”
Lihat aja ke atas terus biar frustasi. Hahaha..
Ya, begitulah. Kita lebih sering memandang hasil dan jarang ingin tahu prosesnya. Kita ingin mendapatkan hal yang serupa, tapi enggan untuk melalui proses yang sama. Bukankah setiap hasil itu ada setelah melalui proses? Nah!
Wong kui sawang sinawang. Apa yang dilihat hanyalah yang tampak, belum bisa melihat di “dalamnya”. (Jangan mikir aneh-aneh kalau ada kata yang di tanda kutip!)
Semua butuh proses. Ada yang prosesnya lama, ada juga yang cepat. Kebanyakan dari kita pengennya yang cepet, sampe-sampe berani ambil jalan pintas biar makin cepet.
Blog ini kubuat setelah aku ingin mencoba aktif menulis. (tiba-tiba ngomongin blog). Kubuat setelah mengamati blog orang lain yang bebas menulis dan banyak followers, banyak komentar. Aku ingin seperti itu. Awal kubuat, aku merasa blogku masih sepi. Aku masih harus mengemis ke sana ke mari agar ada yang buka blogku untuk membaca tulisanku (yang sedikit enggak mutu), bahkan aku mengemis agar berkomentar atau menjadi followers-ku.
Tiap hari aku pantau blogku, sudah ada berapa orang yang melihat, tulisan mana yang dapat komentar, tulisan mana yang paling banyak dilihat, tulisan mana yang disukai, dan sebagainya. Perubahan angka yang aku pantau sekalipun itu hanya berubah satu angka, aku senang sekali bukan kepalang.
Lama-lama, waktu menyitaku fokusku sehingga tidak memperhatikan nasib blogku. Paling sesekali tiba-tiba aku termotivasi lagi untuk aktif menulis di blog. Tapi kemudian enggak lagi. Ya, naik turun gitu.
Sampai tiba di hari ini, aku cukup terheran jumlah followers-ku sudah ada 22. Sudah 11 ribuan kali blogku dilihat. Beberapa tulisanku sudah ada komentar. Semua di luar dugaanku. Dulu, aku sudah nyaris frustasi karena blogku sepertinya tidak ada yang membaca. Sampai-sampai aku ingin bikin blog baru lagi, niatnya ingin suasana blog baru yang akan lebih diseriusi. Tapi, nyatanya blog yang kubuat atas dasar nafsu semata juga enggak keurus. Cuma blog ini yang masih sering kutengok. Hehehe
Beginilah sebuah proses. Aku bikin blog ini sejak tahun 2011. Sekarang blogku sudah tampak lebih hidup di tahun 2014. Inilah proses. 3 tahunan lah ya aku berproses untuk blog tercintaku ini. Mengurus setengah hati selama 3 tahun saja sudah cukup 22 followers, apalagi kalau kuurus? Hehe.. entahlah. Angka 22 bagiku sudah banyak untuk ukuran sebuah blog.
Banyak hal yang sebenarnya kita dapatkan. Bisa jadi apa yang kita punya juga diinginkan orang lain. Sudah selayaknya kita mensyukuri apa yang kita punya kan? Apapun itu. Masing-masing orang pasti punya “sesuatu” yang diinginkan orang lain. Sesekali lihatlah ke atas, sesekali lihat ke bawah, dan sering-seringlah memandang diri untuk selalu melakukan koreksi dan perbaikan.
Kita tidak akan merasa cukup kalau kita tidak bersyukur.
Salam syukur!

Rabu, 25 Juni 2014

Surat Ketiga

Kepada: Yu Tengkleng
 
Assalamu’alaikum wr.wb.
 
Suratmu sudah kubaca setelah kau kabarkan, “Sudah kubalas suratmu.”
 
Kau menuliskannya saat aku di Kediri. Namun, kubaca suratmu saat aku tiba di Yogyakarta. Kini, aku mencoba membalas suratmu ketika aku di Kediri. Ya, sekarang aku sedang di Kediri. Aku yakin kau akan membaca suratku di Yogyakarta. Aku tahu kau begitu setia pada Yogyakarta.
 
Semoga kedatangan suratku bisa menjadi jeda atas kejenuhanmu pada skripsi. Tunggu! Kau jenuh sudah sebulan yang lalu. Masihkah kejenuhan itu melandamu sampai saat ini? Kukira tidak. Ayo semangat! Hehehe...
 
Kau jadi wisuda Agustus? Aku pesimis kalau harus menyusulmu wisuda bulan Agustus, Ndul. Tapi, aku ingin wisuda bareng kamu. Aku tahu kau tak akan mengorbankan ritual wisudamu hanya untuk menantiku, kecuali jika Allah yang menghendaki. Hahaha.. aku tidak mendoakanmu untuk mundur wisuda, lho! Semoga kau selalu dilipahkan kebaikan dan kebahagiaan.
 
Maaf ya aku terlampau lama membalas suratmu. Sama seperti halnya aku terlampau lama tak kunjung memegang skripsiku kembali. Butuh waktu lama untuk menata hati menyentuhnya. Hehehe.. Tapi membalas suratmu jauh lebih menggoda untuk kusentuh lebih dulu dibanding skripsiku ternyata, he..
 
Ndul, relakah engkau jika dalam situasi seperti ini kita masih membahas Senja dan Fajar? Aku bertanya seperti ini karena sepertinya kau sudah berhasil alih fokus. Apalagi tampak jelas pada ketegasanmu padaku agar aku tidak membalas sapaan sang Senja. Aku tahu mimik wajahmu saat membaca SMS kami, kau menggambarkan ketidaksukaan yang amat dalam. Kau tahu? Aku merasa begitu lancang mencampuri urusan kalian berdua dan bahkan seolah-olah aku berada di posisi sok mahatahu atas perasaanmu. Sampai akhirnya kuputuskan sendiri untuk tak ikut campur lagi terlalu jauh. Kemudian disusul ketegasanmu untuk tak lagi membalas sapaan sang Senja. Makin mantap pula kesungguhanku. Apa yang ada dalam pikiranmu kala itu?
 
Oh iya Ndul, satu yang perlu kau ingat. Kau tak bisa menikmati senja dan fajar dalam waktu bersamaan. Mereka datang pada waktu yang sudah ditentukan.
 
Senja menunjukkan pergantian siang menjadi malam.
Fajar menunjukkan pergantian malam menjadi siang.
 
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.” (10: 6)
 
sebagian siang, sebagian malam
Sungguh indah betul perumpamaan yang kau pilihkan untuk kedua manusia itu dengan hal yang rupawan: senja dan fajar. Yakinlah, ada tanda kekuasaan Allah di balik rasa cintamu pada senja dan fajar.
 
Tiba-tiba aku terbesit untuk menamai anak perempuanku dengan Senja, anak laki-lakiku dengan Fajar. Bagus ya, Ndul? Kau mau juga menamai anakmu dengan nama Senja dan Fajar? Kamu versi Arabnya aja ya, aku yang versi Indonesia. Hehe...
 
Oh iya, sebentar lagi Ramadan. Akan lebih sering menantikan fajar dan senja nih. Tapi pasti lebih menantikan senja, haha.. Tak hanya itu, aku juga menantikan bahwa Ramadan tahun ini adalah Ramadan terakhir di masa lajangku. Semoga tahun depan dipertemukan lagi dengan Ramadan udah bareng suami, anak, keluarga, saudara, kerabat, kamu tentunya, dan semuanya. Aamiin. Hehehe.. Apa yang kau nantikan, Ndul?
 
Bicara soal kerabat dan keluarga, bagaimana kabar bapak dan mamamu? Jangan sampai lepas kabar dari mereka ya, Ndul.
 
Menjelang Ramadan, aku buka dengan lembaran penuh maaf dariku ya, Ndul. Maaf kalau ada kesalahanku dalam berucap dan bertindak kepadamu, serta pernah berburuk sangka padamu. Maafkan aku.
 
Sudah dulu ya. Salam rindu dariku 
 
Wassalamu’alaikum wr. wb.
 
Rabu, 25 Juni 2014
Ade Rakhma Novita Sari

Senin, 28 April 2014

Surat Kedua

Kepada: Yu Tengkleng

Assalamu’alaikum wr. wb.
 
Seperti halnya menanti surat yang diantar pak pos, aku pun menanti SMSmu dan bilang kalau kau sudah membalas suratku. Setelah kuamati, sepertinya kau balas suratku di blog baru. Di mana nian blogmu yang biasanya? Rasanya, aku pernah kepo tulisan tentang ulang tahunmu di blog apa aku lupa.
 
Aku sudah menanti balasan suratmu, tapi aku malah tak kunjung membalas suratmu. Maaf, ya? Hehehe
 
Kalau bahas tentang pertemuan dan bahkan perpisahan, rasanya memang Tuhan selalu punya cara-cara mengejutkan dan mengagumkan, kemudian kita bergumam, “Kok bisa, ya?” Sama seperti halnya kau yang mencoba merayuku tentang pesona pertama pandangan pertamamu padaku. Aku juga bergumam, “Kok bisa terpesona?” Ah, tapi aku tahu kau memang mudah terpesona, Dul, terutama terpesona pada perempuan. Kalau ada yang cantik lewat, matamu melongo. Kalau ada yang seksi lewat, mulutmu itu menganga, ngeces, keluar air liurnya, hahaha... Pokoknya aku merasa paling paham dengan gelagatmu kalau ada yang cantik atau pun seksi. Kalau ada yang begituan lewat, aku lebih memilih untuk pindah fokus melihat gelagat dan bentuk wajahmu, aku menunggu sampai kau mengalihkan fokus untuk menatapku. Kemudian, kita saling bertatap muka dan tertawa bersama. Ya, tanpa harus dijelaskan dengan kata-kata, kita sudah paham. Duh, Dek...
 
Aku sudah menduga bahwa kau akan merasa cemburu. Karena aku juga pernah merasakan hal itu. Aku pernah cemburu dengan Faiq yang sudah mulai dekat dengan lelakinya. Aku pernah cemburu dengan Faiq yang lebih memilih bercerita dengan kawan yang lainnya. Aku merasakan kecemburuanmu, Dul.
 
Perlu kamu tahu, ketika aku mulai benar-benar dekat dengan mas Ain, aku tidak menceritakan padamu. Entahlah, muncul rasa segan untuk menceritakan hal itu. Kalau ditanya kenapa segan, aku juga tidak tahu. Padahal, kalau diingat-ingat, dulu yang seringkali membalas SMS mas Ain itu kamu, Dul. Kamu paling seneng gombalin mas Ain lewat SMS atas namaku. Aku sudah menceritakan hal ini pada mas Ain. Dia bergumam, “Oh... jadi ternyata selama ini yang balas SMSku si Ayu?” Langsung kujawab, “Iya, terus kenapa? Sana jadian sama Ayu.” Mas Ain cuma tertawa ngakak. Entahlah, aku juga enggak tahu kenapa akhirnya aku dan Mas Ain bisa bertahan sampai sejauh ini. Padahal, kau tahu sendiri dulu bagaimana ketika aku mengalami fase males dengan dia, merasa bahwa aku ini hanya pelampiasan. Dan, ah kau dari Slawi, Tegal. Kupikir itu juga bumbu atas kemuakanku padamu. Misal, kita janjian jam segini dan kamu telat lama banget, aku semakin nggrundel kalau ingat kamu ini dari Tegal, hahaha... Kasihan banget sih kamu :-p
 
Jadi ingat, waktu latihan drama, semua peserta diminta untuk marah-marah. Saat aku ditunjuk, kamu jadi tumbal di tengah. Kamu menjarakku dengan, “Aku dari Tegal, lho!” -___-“
 
Saat itu, aku lebih memilih untuk tidak sanggup karena aku takut menangis. Mungkin, bisa saja bukan karena kau dari Tegal, tapi juga tentang kenapa kau semakin menjauh, dan lain sebagainya.
 
Tapi, semua kisah selalu ada hikmahnya. Setidaknya, masing-masing dari kita juga mencoba mencari aroma kehidupan yang lain. Enggak aku aku teruuuus, enggak kamu kamu muluuuu, dan seterusnya....
 
Meski terlihat jauh, toh sebenarnya kita masih ada celah waktu untuk bersama kan ya? Ah, udah ah, jangan lebay. Hahaha...
 
Cuma, bedanya sekarang ini, kita memang jadi jarang berbagi. Kalau dulu, dikit-dikit cerita.
Dul, lama-lama aku bingung harus ngomong apa lagi. Ayolah, kau bercerita. Ah, iya, bagaimana kisah asmaramu sekarang ini? Aku sengaja tidak akan menanyakan tentang skripsimu karena itu hanya akan membuatku pedih, hahaha...
 
Wassalamu’alaikum wr. wb.
 
4 x 4 = 16
Sempat tidak sempat harus dibalas.
 
Senin, 28 April 2014
Ade Rakhma Novita Sari

Senin, 21 April 2014

Surat Pertama

Kepada: Yu Tengkleng

Assalamu’alaikum wr. wb.
Halo, Ayu. Apa kabar? Duh, format tulisanku sudah semacam surat undangan saja.
Malam ini aku sangat sedih sekali, tapi kalau ditanya sedih kenapa, aku tak dapat menjawabnya karena entah mengapa aku tak mengerti kenapa. Mungkin, karena aku merasa kesepian. Bukan berarti aku tak punya kawan. Aku punya banyak kawan, bahkan banyak sekali. Aku punya banyak kawan untuk berbagi canda, tapi tidak untuk berbagi duka. Bagiku, mencari kawan untuk tertawa bersama itu gampang, tapi tidak untuk kawan menangis bersama.
Dulu, waktu SMA, aku punya kawan, namanya Faiq Mufidah. Faiq nama panggilannya, tapi aku lebih sering memanggilnya “Tatak”. Tatak itu berasal dari kata “Kakak”. Karena diucapkan anak sealay aku waktu itu, “kakak” pun menjadi “tatak”. Semakin bertambah usia, tingkat alayku meningkat hingga akhirnya “Tatak” berganti panggilan menjadi “Tutuk”. Ya, itu karena ulah anak alay sepertiku. Semua kata kuubah menjadi serba “u”. Konyolnya... kau tau sendirilah siapa panggilan sayang untuk calon suamiku (sudah ngomongin calon suami kok rasanya terlalu berat ya? Biar deh!). Cayank jadi cuyunk. Hahahaha... Semoga ketika kami menikah nanti dan ia menjadi ayah, aku tidak mengubah “ayah” menjadi .... kau lanjutkan sendiri saja.
Kita kembali ke Tatak. Jangan Tatak lah ya? Faiq saja. Faiq ini tercatat dalam buku harianku sebagai sosok kawan yang sangat berarti. Kami pernah jatuh bersama, mencoba berdiri, menahan tangis, dan sedih. Ya, kami melalui itu semua bersama. Sosoknya begitu dalam di relung hatiku karena dia adalah sahabat yang bisa menemaniku di kala duka. Kau tahu? Kawan yang membekas di hati itu ya kawan yang seperti itu. Malam ini hatiku sedih, hatiku gundah, hatiku resah, tapi tenang... enggak galau kok. Aku harus mengalihkan kesedihanku ini pada hal yang lain. Berbagi adalah pilihan yang tepat. Aku ingin menghubungi si abang nan jauh di Tangerang, aku yakin dia sedang sibuk. Mau menghubungi ibu, takut kalau-kalau bikin panik. Aku mencari nomor yang bisa dihubungi dalam daftar kontak handphone-ku, aku menemukan namamu: “NJ_Ayu Tengkleng”. Kukirim pesan hingga sampailah pada kesepakatan surat pertama ini untukmu. Dulu, aku pikir tidak ada sahabat yang bisa seperti Faiq kalau aku sudah di Yogyakarta dan masuk dunia kampus. Tapi, ternyata tidak, ada Yu Tengkleng. Ibuku pernah bilang kan kalau dirimu seperti Faiq, ingat?
Mungkin, kau akan bertanya kenapa aku tidak menghubungi Faiq saja. Dunia kampus memisahkan kami. Aku kehilangan komunikasi intens sejak masuk dunia kampus. Kami komunikasi hanya seperlunya saja. Tapi tenang, baru kemarin aku habiskan waktu seharian bersamanya. Banyak cerita baru darinya. Faiq masih saja inspiratif bagiku. Aku menyesal kehilangan komunikasi dengannya saat itu. Aku tak ingin menyesal kedua kalinya karena kupikir kita berdua hampir kehilangan komunikasi. Aku tak ingin kita menjalin komunikasi menunggu kalau ada perlunya, kalau lagi sedih-sedih saja (dumeh iso diajak susah), hahaha...
Sudahlah begitu saja. Surat ini kuhantarkan sebagai pembuka, sebagai penyapa untukmu wahai, Yu Tengkleng. Kabar apa yang ingin kau bagi denganku? Berbagilah...
Wassalamu’alaikum wr. wb.
4 x 4 = 16
Sempat tidak sempat, harus dibalas.
                                                                                                                                 Senin, 21 April 2014
                                                                                                                          Ade Rakhma Novita Sari

Selasa, 25 Maret 2014

Marsinah Dibiarkan Mati, Lalu Satinah?

"Kepada anakku, Nur, dan semua keluarga saya yang di kampung halaman. Terima kasih aku sudah bisa terina suratmu, sudah aku baca dan aku bahagia, dan aku senang pandang fotomu. Mudah-mudahan aku bisa ketemu"

Itu adalah tulisan Satinah untuk anaknya, Nur Afriana, yang aku kutip dari koran Tribun nomor 1068/tahun 3, Rabu Wage, 26 Maret 2014.

Satinah adalah TKW di Arab Saudi. Dia akan dihukum mati karena dia terbukti membunuh majikan dan mengambil uang 119 juta milik majikannya.

Satinah akan dibebaskan jika membayar diyat 25 Miliar.

Pertama, ternyata seorang pembunuh bisa dimaafkan dengan uang. Ternyata nyawa seseorang bisa dibeli dengan uang.

Kedua, tebusan 25 Miliar belum bisa dipenuhi, Indonesia tidak ada uang tebusan sebesar itu. Yakin, ini udah mirip pemerasan saja. Bisa-bisa, kematian seseorang yang dibunuh bisa menjadi pemasukan negara yang luar biasa.

Ketiga, karena bantuan Indonesia belum mencukupi jumlah diyat, Nur sebagai anaknya berinisiatif untuk meminta bantuan banyak orang. Lalu, kenapa kita harus menyelamatkan seorang pembunuh?

Keempat, Satinah membunuh karena dia dianiya majikannya. Satinah membunuh karena membela diri. Ini yang harus dipertimbangkan kenapa akhirnya Satinah perlu dibela, setidaknya bukan dihukum mati begitu saja.

Kelima, berita Satinah hanya ada di kolom-kolom kecil yang nyempil. Berbeda dengan pesawat yang hilang itu. Isu Satinah dialihkan pada pesawat hilang dan kampanye.

Keenam, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri ayo unjuk gigi sebelum Satinah mati.

Ketujuh, jangan tunggu Satinah mati baru bersuara. Telat!

Kedelapan, marak sekali kasus penyiksaan TKW.

Apa yang kau cari di luar sana sampai harus meninggalkan tanah kelahiranmu?
Apa di tanah kelahiranmu ini belum bisa memberimu keteduhan di pagi, siang, dan malam?
Apa di tanah kelahiranmu ini belum bisa memberi sesuap nasi?
Apa di tanah kelahiranmu ini begitu kejam pada pendidikan anakmu?
Atau apa?

#SAVESATINAH

Dia Ingin Didengar

Kipas angin sudah berputar kencang seperti semula. Kipas berputar seolah-olah tak ada yang bermasalah. Selalu seperti itu, kadang bermasalah, kadang tidak. Bila malam ini kipas angin itu berputar seperti biasa, maka tak seperti halnya dengan suasana hati dia.

Tiba-tiba malam itu dia menangis. Tak ada alasan lain selain keinginan hati untuk melinangkan air mata. Dia ingin melepas semua kekeringan hatinya lewat air mata.

Dia merasa hari-harinya kosong. Dia ingin merasakan jatuh cinta agar hidupnya berwarna. Tapi, nyatanya seorang kekasih belum cukup untuk memberinya warna.

Dia tidak akan mempersalahkan waktu ataupun jarak. Dia hanya merasa sendiri. Kekasihnya tak cukup waktu untuk menemaninya. Maklum, dia belum cukup dewasa untuk mengerti.

Selama ini, dia hanya berteman imajinasi. Ketika dia butuh kekasihnya, dia bisa menghadirkan lewat imajinasi. Ketika gundah melanda, dia obati dengan imajinasinya.

Dia orang yang punya harapan tinggi pada dunia. Semakin sering berharap, maka semakin sering kecewa pula. Dia mengobati kekecewaannya dengan imajinasinya. Ya, dia nyaman dengan imajinasinya. Kekasih yang tak pernah hadir dalam relung hatinyaa yang sepi, bisa tergantikan dengan sebuah pikiran liar yang dia beri nama imajinasi.

Dia merasa sedang berjalan jauh bersama imajinasinya tanpa peduli dunia.
Malam ini, dia masih memendam kekecewaan yang mendalam. Dia begitu benci pada keadaannya saat ini.

Dia butuh kawan untuk didengar.

"Bukan hanya mempersingkat waktu, melainkan juga mendapatkan esensinya, " ucapnya.

Kipas itu pun berputar, perlahan berhenti. Dia memutar baling-baling kipas dengan tangannya. Kipas kembali berputar. Kipas itu bunyi. Bunyinya mengusik telinga seolah-olah kipas itu ingin mati. Dia hanya berharap bahwa kipas itu akan terus berputar di kala dibutuhkan.
Dia pun kembali menulis. Dia sudah menemukan kembali bagaimana dia bisa produktif untuk menulis dan bagaimana dia bisa bercerita mengalir apa adanya. Itu dia dapatkan karena dia mencoba membuka masa lalu.

Hari itu dia melewati hari-harinya di kamar. Dari pagi, siang, sore, malam, sampai pagi lagi. Kini ia punya kamar tak lagi sekedar hanya untuk numpang tidur, mandi, atau istirahat, tapi kamar itu kini sudah jadi tempat paling sering dia singgahi. Bahkan, dia kerja dalam kamarnya. Kerja apalagi kalau bukan menulis.

Bila ditanya kapan deadline tulisannya, dia bilang, "Setiap hari adalah deadline."

Bukan perkara dia banyak kerjaan sehingga akhirnya setiap hari adalah deadline. Karena dia sudah melewati batas waktu, maka hari-hari berikutnya adalah deadline.

Dia sudah terbiasa untuk melanggar deadline. Dia sudah sering stres karena deadline. Dia nyaris putus asa karena deadline. Tapi, ia tak pernah kapok untuk berurusan dengan deadline karena lewat deadline, dia bisa menghidupi kehidupannya.

Kurang satu judul dan beberapa tulisan yang butuh disunting. Dia ingin sekali segera menyelesaikan tanggungannya. Dia ingin dengan tenang melangkah untuk mengerjakan tugas akhirnya. Dia sudah di bawah tekanan karena beberapa kawannya sudah akan menggelar pesta kelulusan. Kawan-kawannya sudah menulis 1 skripsi, dia masih berkutat dengan 1 buku, 2 buku, 3 buku, 4 buku bahkan. Entahlah, sebenarnya dia tekanan batin juga. Itu adalah pilihannya dan dia tetap melalui itu semua dengan senang ahti, meski sebenarnya terkadang dia cukup merintih.

Kekasihnya sudah menanti kelulusannya, katanya sih mau dinikahi. Ibunya pun juga menantikan kelulusannya, katanya ibunya takut kalau dia menikah tapi belum lulus.

Dia masih saja menjalani semua dengan biasa saja. Dia yakin bisa menyelesaikan semuanya.

"Bukan hanya mempersingkat waktu, melainkan juga mendapatkan esensinya, " ucapnya.

Rabu, 05 Februari 2014

Sedekah atau Denda 1 Juta?

Akhir-akhir ini aku sering menyusuri jalanan Yogyakarta, mulai dari kota, Jl. Magelang, Maguwo, Sleman, Depok, dan lain sebagainya. Jalanan Yogyakarta makin hari makin macet. Belum lagi lampu apill yang banyaknya minta ampun. Sialnya, sering dapet merah.

Yang paling miris saat menyusuri jalanan adalah pengemis di mana-mana. Aku yakin kalian pernah melihatnya. Aku melihat ada anak kecil sedang mengelap motor di belakangku. Aku memperhatikannya lewat kaca spion. Batinku, "Bakal dikasih enggak, ya?" Aku berpikir seperti itu karena kalau dilihat dari mimik wajah pengedara sebenarnya tak ingin motornya dilap atau tak ada niatan untuk memberi. Tapi tampak dari raut wajahnya kalau ia tak tega menolak si anak kecil itu.

Lampu hijau, aku pun melaju, dan aku menemui anak kecil berpakaian lusuh sedang memegang gitar kecil (aku lupa namanya). Cuma bisa menghela nafas panjang. Yah, hampir semua jalanan deh, pengemis ada di mana-mana. Mulai dari anak-anak, perempuan dengan bayinya, ibu dan anaknya, simbah-simbah, waria, orang cacat, sampai orang sehat bugar pun juga ada.

Miris.

Apa orang-orang di negeriku banyak sekali orang miskin?
Apa orang-orang di negeriku sudah tak dapat lagi berpikir?

Entahlah. Antara iba dan benci. Iba karena kondisi mereka. Benci karena mereka terlalu menyerah pada kehidupan. Seolah-olah tidak ada jalan lain selain meminta.

Apa jadinya kalau Peraturan Daerah (Perda) ikut campur dalam hal ini? Ya, Rancangan Perda (Raperda) Yogyakarta akan memberi denda 1 juta rupiah bagi orang yang memberi santunan untuk pengemis. Bahkan, pengamen juga termasuk dalam kategori pengemis. Raperda ini akan disahkan pertengahan Februari nanti.

Mulanya, ketika aku melihat ada tulisan di jalan untuk tidak memberi santunan pada pengemis, aku merasa benci, "Hakku dong mau ngasih apa enggak." Saat itu aku tak peduli, selagi aku ingin memberi, ya, aku beri.

Sampai pada sebuah peringatan kalau lebih baik memberi santunan pada sebuah lembaga, yang terpikirkan olehku adalah, "Yakin, uang santunan itu akan disalurkan?". Saat itu aku berpikir demikian karena berita korupsi ada di mana-mana. Bahkan, untuk makan uang santunan pun aku pikir koruptor masih doyan. Saat itu, aku masih kekeh untuk, "Yang mau ngasih duit ke pengemis, kasih aja, coy!"

Sampai pada akhirnya, berita mulai menunjukkan bahwa penghasilan pengemis selama sebulan bisa jutaan rupiah, rumahnya mewah, dan lain sebagainya. Ini cukup menggiurkan. Bahkan, aku pernah dengar ada yang memilih untuk tidak bekerja dan memilih mengemis. Ada pula yang sebenarnya mampu, tapi cari uang tambahan lewat mengemis. Tapi, setelah dihitung-hitung, penghasilan menjadi pengemis memang luar biasa.

Dalam waktu 1 jam, kemungkinan mendapatkan 15 orang pemberi, ambil paling sedikit Rp500, sudah mendapat Rp7500. Kalau 8 jam, Rp60.000. Kalau sebulan, Rp1.800.000. Ya, lumayan hampir UMR lah ya? Itu baru penghitungan kasar dan ambil paling sedikit. Orang yang memberi pun belum tentu dapat penghasilan yang sama, lho. Di Tribun, penghasilan pengemis malah terhitung bisa mencapai Rp200.000 per hari. Kalau sebulan? Rp6.000.000. Wow!

Enggak usah jadi karyawan pabrik rokok, jadi PNS, atau berdagang, coy! Ngemis aje... cepet kaya. Kenapa? Enggak mau? Enggak mau karena malu atau apa? Dapet duit enem juta meeeen.

Enggak usah nyindir gitu deh. Lu iri? Hak mereka dong mau dapet duit banyak atau enggak selama mengemis, namanya juga usaha. Kan mereka juga usaha untuk dapetin duit.

Kalau berpikir seperti itu, apa jadinya kalau seluruh rakyat Indonesia memilih untuk jadi pengemis?

Ada peminta, ada pemberi. Kalau semua jadi peminta, ya, tidak ada pemberi. Itu enggak mungkin. Ya, paling enggak, tidak semua jadi peminta.

Ah, sudahlah. Pengemis di mana-mana itu perlu ditangani. Penanganan itu akan susah kalau manusia masih punya nurani untuk memberi. Tapi, masa iya memberantas pengemis dengan cara membatasi nurani kebaikan tiap-tiap orang? Nanti apa jadinya kalau semua orang tak lagi punya nurani kebaikan? -___-"

Raperda punya jawaban, "Denda 1 Juta bagi pemberi santunan."

Aku sepakat saja sih, asal para pengemis yang benar-benar pengemis itu terurus. Kalau pun ada santunan yang disalurkan lewat lembaga, ya, yang bener juga, jangan dikorupsi!

Gimana? Sudah siap menolak memberi santunan pada pengemis?

Sepertinya susah. Apa jadinya kalau orang yang memberi santunan didenda 1 juta rupiah? Yang ada pemberi santunan jadi miskin, kemudian dia mengemis. Yah, muter lagi deh.

Tapi tunggu, bukankah orang yang bersedekah itu dilipatkan 10 kali lipat?

Kamu sedekah Rp500. 10 kali lipatnya itu Rp5000. Uang segitu belum bisa bayar denda 1 juta.

Selamat berpikir!

Kamis, 30 Januari 2014

Smackdown dan Masa Laluku

Dari judulnya, jangan dikira kalau aku ini bintang smackdown, lho!

Malam ini sudah malam yang kesekian kalinya aku ikut lembur buku. Ada satu tulisan yang bawa-bawa smackdown, rasanya aku langsung berada pada dunia beberapa tahun yang lalu, tahun 2006 apa ya?

Aku ingat zaman-zaman SMP aku sangat menggilai smackdown. Smackdown tayang pas bulan Ramadhan, aku ingat banget selalu lemburan nonton smackdown dalam keadaan masjid sedang ada tadarusan. Lalu, Abah pulang sambil mengingatkanku untuk segera tidur agar bisa bangun saur, kalau enggak gitu karena besok sekolah, dan lain sebagainya. Aku seringkali jengkel bukan main kalau sudah dibegitukan.

Aku ingat aku sangat menggilai D-Generation X. Ada Shawn Michael dan Triple H. Aku lebih menggemari Shawn Michael dibanding Triple H karena Shawn Michael badannya tak terlalu gemuk, selain itu dia lebih sopan. Shawn jarang pakai sempak doang. Kalau Triple H paling sering tuh. Tak hanya itu, aku menilai Triple H itu curang karena dia seringkali bawa palu dan kursi, kalau Shawn itu kan mainnya sesuai aturan gitu.

Saking menggilainya, aku beli poster beberapa tokoh smackdown idolaku. Selain DX, aku juga suka John Cena. Dia ganteng, pakaiannya selalu sopan, dan sering menang. Hehe.. Suatu ketika ibu pernah bilang kalau ada poster mereka di kamarku, malaikat akan takut untuk menjengukku. Akhirnya, aku putuskan untuk beli poster ayat kursi. Kemudian aku tempel di tengah-tengah poster mereka. Aku bilang pada ibu kalau dengan adanya poster ayat kursi itu malaikat masih mau mengunjungiku. Ibuku rasanya sudah menyerah.


Sampai suatu ketika banyak berita muncul kalau anak-anak mulai meniru adegan smackdown, aku dituduh Abah main smackdown di sekolah. Ya, waktu itu aku pulang karena kacamataku pecah. Abah menuduhku karena aku bermain smackdown kacamataku jadi pecah. Wah, parah! Siswa MTs, pakai rok span dan berkerudung, masa iya smackdown? Aku enggak bisa bayangin deh kaya apa itu rupaku?

Nah, sampai-sampai akhirnya tayangan smackdown tidak boleh tayang, aku menangis sedih merasa kehilangan. Aku tulis rasa kehilanganku itu dan aku tempel pada mading sekolah. Yang melewati mading cukup tertarik mampir membaca tulisanku. Saat itu aku senang bukan kepalang. Coba saja tulisanku waktu itu masih ada bangkainya, seperti apa ya?

Tayangan smackdown sudah tak ada, tapi poster mereka masih menemani malam-malamku. Hingga suatu ketika aku pernah mimpi buruk, tidak nyaman karena wajah ngeri mereka seolah-olah menatapku tajam, lama-lama aku ketakutan sendiri dan aku putuskan untuk mencopot poster itu. Perlahan-lahan aku pun mulai move on, aku melupakan smackdown seiring berjalannya waktu.

Sekarang, aku diingatkan lagi oleh sebuah tulisan kawanku. Wow! Baru saja aku cari tayangan smackdown di youtube. Hmm.. aku berasa mengenang masa lalu. Aku masih saja suka seperti dulu. Aku jadi teringat pada nama-nama mereka, Undertacker, Spirit Squad, Big Show, apalagi ya? Banyak deh. Menyenangkan.

Sampai pada suatu ketika kawanku begitu aneh melihat ulahku, dia melontarkan kalau smackdown itu palsu. Langsung aku cari tahu info itu dan ternyata benar. Aku menyaksikan tayangan yang menunjukkan itu palsu,aku ngekek sejadi-jadinya karena ada adegan yang menjedotkan diri sendiri, belom dijedotin udah jedot duluan. Ya, kalau penasaran cari sendiri deh. Hahaha

Meski aku baru tahu sekarang kalau smackdown itu script, tapi aku tetap salut. Mereka keren lho bisa berakting seperti itu. Kalau film action lain kan ada "cut". Kalau smackdown? Kepukul beneran, sakit beneran, ya, bisa jadi. Kalau sakit beneran, ya, tetep lanjut. Bahkan, untuk menciptakan darah, di antara mereka harus menyobek bagia dahi mereka. Ada pula yang menggunakan darah palsu sih. Ah, tapi tetep keren menurutku. Bahkan, ada yang benar-benar mati saat beraksi. Dia adalah Owen Heart. Entahlah, aku masih penasaran atas kematiannya itu, kenapa akhirnya dia bisa keluar script dan mati.

Intinya, aku senang. Besok kalau ada kesempatan lagi aku mau download ah, dan aku bisa nonton sepuasnya. Nyam nyaaaam...

Kamu suka smackdown juga? Sana nonton dan mari kita berdiskusi.

Rabu, 29 Januari 2014

Deadline Oh Deathline

Penyesalan itu selalu datang di akhir.
Lalu, akankah kau mencoba berharap agar penyesalan datang lebih awal? Kalau iya, untuk apa?
Aku lebih berharap agar penyesalan itu tak pernah hadir dalam kehidupan.
Aku sudah terlalu sering menyesal, tapi tak kunjung kapok juga.
Soal apa? Cinta? NO!
Urusan cinta, aku cukup waspada. Sekalinya menyakitkan aku akan sangat berhati-hati.
Tapi tidak pada deadline. 
Ya, aku seringkali membuat deadline tapi kemudian mengingkarinya.
Aku begitu menghargai deadline, sayangnya aku tidak menaatinya, hanya sekedar menghargai saja. Melihat-lihat tanggal deadline, membayang-bayang bak kekasih pujaan hati, rasanya begitu bahagia karena aku punya deadline. Saking menikmati itu, aku tak kunjung jua mengerjakannya.
Hingga ketika deadline itu sudah mendekat, aku seringkali panik bukan kepalang.
Stres.
Tak kukerjakan, curhat gak jelas seperti ini.
Mengeluh jatuhnya.
Baiklah, aku punya deadline menulis.
Tapi, argh...
Selamat tidur saja.

Minggu, 26 Januari 2014

Bully Aku

Terlalu perfeksionis itu tidak baik.

Melakukan banyak hal dan menuntut untuk sempurna itu juga tidak baik, bikin tertekan, dan akhirnya malah enggak mulai-mulai. Sama seperti halnya dengan blog ini. Karena dituntut kesempurnaan, akhirnya malah enggak update tulisan. So What?

Serius! Bukannya aku banyak alasan enggak bisa nulis. Tapi memang, orang-orang di sekitarku sangat perfeksionis, Men. Sangar dikit, norak dikit, uuuh aku bakal di-bully habis-habisan. Nah, ini media nyebarnya gampang banget apalagi banyak stalker. Hm, udah berasa ngetop aja nih aku.

Ya, sudahlah. Ngetik apa saja, sesukaku, yang penting blogku terlihat hidup.
Kalau ingin menghidupkan kembali blog ini, harusnya aku lebih niat lagi dalam menulis donk ya?
Ah, tapi terlalu ribet, yang penting ikhlas. Biar nyampah kayak gini yang penting aku sudah menunjukkan motivasi menulisku. Haha..

Sebenarnya aku terinspirasi dengan kawanku Margareta Fernandoza, panggilannya Ratih. Ah, sepertinya aku salah tulis nama lengkapnya. Dia seringkali banyak tanya tentang blog dan aku risih bukan kepalang. Risih sekalian iri karena sepertinya dia akan aktif di blog. Dan aku enggak mau kalah.

Demi Blog, pasti tulisan geje seperti ini bisa jadi di-bully. Ah, ya sudahlah, mau sok baik pun juga tetep di-bully.

Kalau mau menghidupkan blogku ini, wah.. sepertinya blog ini lama-lama akan jadi diary. Hehe....
Setelah memindah diary ke twitter, aku mau pindah diary ke blog saja ah, biar makin di-bully. Loh?