Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Minggu, 18 September 2011

Penulis dari Biasa Menulis


Rasanya pengen nulis, namun.. tiap jari-jariku bermain di atas keyboard, kemudian mengalirkan semua apa yang ada dalam pikiranku, mengartikan semua lewat huruf per huruf, hingga tersusun sebuah kata, kalimat, paragraf, dan bacaan. Silakan membaca.
Sebelum beranjak jauh ke paragraf selanjutnya, coba terka apa yang hendak aku tuliskan saat ini.
Cinta kah?
Puisi kah?
Curhatan Geje?
Ato tugas kuliah?

Terka saja sesuka hatimu, aku hanya ingin bermain-main dengan jari-jariku yang sedang bercinta dengan keyboard. Begitu menikmati tiap sentuhan, dan tekanan yang ditimbulkan. Begitu merdu lirihnya, “ tuk tuk tuk”, dan bahkan terkadang terdengar seperti, “tik tik tik.”
Kawan,
Ini adalah kegiatan yang amat nikmat, mari ikuti aku. Mari kita bebaskan pikiran kita, tanpa menahannya, mari tuangkan semua yang ada lewat tulisan kecilmu. Hingga kita terbiasa menulis. Bukankah kau ingin jadi seorang penulis?
Jangan hanya sebagai penulis status facebook, tapi tuliskan apa saja yang kiranya bisa dibaca, lebih-lebih memberikan manfaat. Jika harus menuruti pikiranmu bahwa kamu sedang sibuk, dan tak sempat. Maka, saat itu pula kamu telah menyia-nyiakan sebuah proses. Padahal, seorang penulis membutuhkan proses sebelum menjadi seorang penulis yang handal bukan? Yah itulah namanya proses kebiasaan. Segala sesuatunya butuh keterbiasaan. Jika ingin menjadi penyanyi, yang dilakukan adalah menyanyi, jika ingin penulis, apa yang akan kau lakukan?
Lakukan saja sekarang, jika masih merasa belum ada waktu, buatlah jadwal tertentu, jadwal khusus untuk melampiaskan apa saja yang ada dalam pikiranmu. Biar ringan, berbekas, ada data tersimpan, dan segera beralih untuk berpikir ke hal yang lainnya lagi.
Baiklah, mari menulis. Mulai dari sekarang, cobalah tanpa ragu, semangat!!!
Karangmalang, 18 September 2011, 23:50
*saat merasa sepi dan suntuk, aku hanya ingin sekedar berbagi, daripada pikiranku kosong hingga aku melayang terbang tiada arah, oh menakutkan.

Buletin Rahsas: Kisah dalam Sastra


Buletin Rahsas
Ajang Pembelajaran Menulis Mata Kuliah ”Sejarah Sastra Indonesia” Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY
edisi I/1, Juni 2011

Sekilas Info

Mata kuliah ini diampu oleh Dr. Nurhadi, M.Hum, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar asal Pemalang ini menyele­saikan kuliah S3 di UGM, Yogyakarta dengan menulis disertasi yang mengangkat karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
____________


Penulisan esai tentang Sejarah Sastra Indonesia ini diikuti  oleh para mahasiswa PBSI kelas K, L, M dan N tahun ajaran 2010/2011 semester genap. Tulisan-tulisan ini sebagai bentuk bagian ujian akhir matakuliah.
____________



Seseorang akan dikenang dan dicatat oleh sejarah lewat tulisan-tulisannya. Pepatah yang mengatakan ”publish or perish” mengingat­kan kita bahwa jika mem­publika­si­­kan diri, kita akan eksis, dan jika tidak melakukannya, kita akan musnah ditelan zaman.




Tulisan ini merupakan karya sendiri, bukan jiplakan atau karya orang lain
Ade Rakhma Novita Sari
10201244080









Buletin Rahsas terbit setiap minggu pada hari Sabtu, mengangkat tulisan-tulisan tentang sejarah sastra Indonesia oleh peserta kuliah. Redaksi  edisi kali ini: Nurhadi, NIP 19700707 199903 1 003; HP: 081642­64193, e-mail: nurhadi2@yahoo.co.id.
Ya, Ibu kami mengingatkan bahwa selagi kami makan makanan yang pantas, bersih dan tidak busuk, di daerah-daerah yang lain barangkali masih banyak orang yang hanya memiliki jagung dan menir berulat seperti makanan kami dua hari yang lalu. Bahkan barangkali banyak orang yang sama sekali tidak mempunyai sesuatupun untuk pengisi perut.








Nh. Dini
(pengarang produktif)


Cover novel Langit dan Bumi Sahabat Kami










Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati.

Cover novel Langit dan Bumi Sahabat Kami





























Nh. Dini, seorang novelis yang berhasil memenangkan hadiah (untuk peserta Indonesia) lomba mengarang "Meilleure de langue Francaise" yang diselenggarakan oleh Le Monde dan radio France Internasional














"Sabar dan dermawanlah seperti bumi. Dia kau injak, kau ludahi. Namun tak hentinya memberimu makanan dan minuman."

Kisah dalam Sastra

Oleh Ade Rakhma Novita Sari

1.    Sekilas Isi
            Novel yang berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami, buah cipta Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang lebih dikenal dengan Nh. Dini, pertama kali diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya pada tahun 1979 dengan 139 halaman. Novel ini menceritakan tentang kesabaran dan ketabahan seorang Dini dan keluarganya dalam menghadapi lika-liku hidup.
            Ketika penjajahan Jepang berakhir dan digantikan serdadu Sekutu. Dalam kesulitan mendapatkan makanan di pasar, seringkali tentara Sekutu merampas harta benda penduduk, termasuk rumah keluarga Dini. Beruntung, ibunya lihai mengolah berbagai macam jenis makanan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan dapat dimakan, misalnya krokot dan kremah yang biasa digunakan sebagai makanan jangkrik, bonggol pisang,bayam tanah, jagung, gaplek, dll. Di masa sulit tersebut, orang tua Dini masih bisa membatu saudaranya Kang Marjo dan Yu Saijem juga Yu Kim mengungsi di rumahnya, demikian juga ayah Dini masih dapat memberikan kejutan manis kepada anak-anaknya.
            Keadaan bertambah sulit karena tidak ada listrik, ditambah musim kekeringan yang melanda. Hingga Dini sekeluarga harus mandi, mencuci di sungai yang jauh dari rumahnya. Keperihatinan Dini sekeluarga juga tetangga-tetangga terdekatnya berakhir ketika ayahnya berhasil menjual burung perkutut kesayangannya guna untuk membuat sumur baru. Seiring waktu, keadaan keluarga Dini semakin membaik ketika perbatasan kota dibuka, sehingga bisa terjadi proses barter antara petani yang membawa hasil ladang dan ternak dengan penduduk kota yang mempunyai pakaian dan barang-barang berharga. Mulai saat itulah, keluarga Dini bisa merasakan makanan yang nikmat kembali, berbagai kebahagiaan seperti kebahagiaannya memanen berbagai jenis hasil kebun, hingga kebahagiaan atas kehadiran anggota keluarga baru.
            Berbagai permasalahan datang bertubi-tubi, seperti halnya kisah pencidukan ayah Dini oleh serdadu Sekutu karena bekerjasama dengan para pemberontak. Ayahnya memang menolak bekerja pada pemerintah pendudukan dan memilih untuk membantu para pejuang gerilya. Di akhir buku ini digambarkan kondisi Ayahnya setelah diciduk oleh Sekutu, kondisi Heratih, serta suaminya, dan juga Maryam yang terpisah selama masa pendudukan Sekutu.
            Demikianlah kisah kesabaran yang terus dilakukan tanpa putus asa oleh Dini dan keluarganya, menghasilkan keberhasilan untuk hidup seperti sediakala. Masalah-masalah yang datang bertubi - tubi setelah Penjajahan Jepang berakhir, Belanda datang kembali untuk menjajah Indonesia. Akan tetapi, Dini dan keluarganya tidak begitu saja mudah terperangkap oleh siasat Belanda. Hidup memang harus penuh kesabaran dan ketabahan seperti yang dilakukan Dini dan keluarganya.

2.    Proses Menulis
            Berawal dari sebuah kisah atau pengalaman pribadi Nh. Dini, penulis buku Langit dan Bumi Sahabat Kami. Mengisahkan kembali peristiwa-peristiwa yang dialaminya saat ia berusia 10 tahun, pada masa di mana Semarang menjadi rebutan para penjajah, tidak ada kebebasan bagi penduduk, hidup dalam kekangan, kekurangan makanan, musim yang kering. Sungguh keadaan yang memprihatinkan.
            Dini mengenang masa-masa dimana dirinya dan keluarganya kesulitan kala mendapatkan makanan. Mengenang masa di mana keluarganya berusaha mengelabui serdadu Sekutu yang datang pada saat ayahnya berusaha menyembunyikan barang-barang berharga yang tersisa. Banyak mengingat petuah-petuah dari ibu dan bapaknya dalam berbagai situasi telah membentuk cara pandangnya di kemudian hari. Berkat keluarganyalah, Dini menyadari bakatnya sebagai penulis.
            Melihat sekitar Nh. Dini, yaitu dalam lingkungan keluarganya. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya, mulai dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa, dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
            Dini ditinggal wafat ayahnya saat masih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Hingga bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah, di mana saat itu dalam usia belia, Dini mampu berkarya. Tak heran jika akhirnya novel Langit dan Bumi Sahabat Kami begitu menyentuh pembaca dalam memaknai sebuah kisah pengalaman hidup Dini, karena pada dasarnya Dini mampu mengolah kisahnya menjadi lebih bermakna dan terasa.
            Mengingat ucapan Ibu Dini, "Sabar dan dermawanlah seperti bumi. Dia kau injak, kau ludahi. Namun tak hentinya memberimu makanan dan minuman." Bersahabat dengan bumi, hingga mungkin inilah alasan novel yang berkaitan dengan perjuangan hidup di bumi menjadikan inspirasi untuk judul novelnya, yaitu “Langit dan Bumi Sahabat Kami”.
            Sedang melihat historis perihal kepenulisan di Indonesia. Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculan karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi. Pada masa itu, berbagai karya eksperimental memperoleh lahan yang subur. Karya-karya eksperimental itu mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karya-karya konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit yang memperlihatkan semangat kebebasan yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Tak heran, pada tahun 1970-an di mana pada tahun tersebut merupakan ledakan tampilnya sejumlah penulis perempuan. Saat-saat itulah Nh. Dini menerbitkan berbagai ragam buku yang dirasa eksperimental dan kental akan kebebasan dalam berekspresi, seperti halnya dengan novelnya yang berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami.
3.    Keberadaan Buku
            Dibandingkan dengan kedua buku sebelumnya, yaitu Sebuah Lorong di Kotaku dan Ilalang di Belakang Rumah, buku ini tak hanya berkisar tentang diri Dini dan keluarga, melainkan juga memotret kondisi di sekelilingnya. Hal ini mungkin dikarenakan Dini sudah cukup besar, berusia sepuluh tahun.
            Novel ini ada kemiripan dengan Pearl of China yang ditulis oleh Anchee Min, di mana keduanya menceritakan kehidupan masyarakat yang dilanda penderitaan, kelaparan, kemiskinan, maupun kekeringan. Hanya berbeda tempat, di mana Langit dan Bumi Sahabat Kami menceritakan kondisi Semarang, Indonesia. Sedangkan Pearl of China menceritakan kondisi di daratan Cina. Perbedaan yang lainnya adalah Pearl of China sangat kental dengan peristiwa sejarah, sedangkan Langit dan Bumi Sahabat Kami adalah berbagai peristiwa yang dialami penulis, sebut saja pengungkapan pengalaman Nh. Dini semasa hidup di usia 10 tahun.
            Jika dibandingkan dengan penulis perempuan yang lain, seperti Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Pipiet Senja. Nh. Dini adalah angkatan terdahulu dibandingkan dengan mereka. Meskipun pada dasarnya mereka sama-sama sering mengungkapkan novelnya yang tersirat makna feminisme, namun karya-karya Nh. Dini lebih condong kepada penceritaan sebuah pengalaman yang mungkin, adalah pengalaman pribadi. Pada dasarnya, mereka masih dalam ruang lingkup yang sama dalam semangat dan kegigihan untuk berkarya.
4.    Mengenal Nh. Dini Lebih Dekat
            Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin  atau sering dikenal dengan Nh. Dini, dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali.
            Perempuan kelahiran Sekayu tersebut mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati.
            Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.
            Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, yaitu masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang.
            Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun, menurutnya teknik bukan tujuan, melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
            Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.
            Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah, dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.
            Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya.
Beberapa penghargaan yang pernah diraih oleh Nh. Dini adalah sebagai berikut, Nh. Dini memenangkan lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah (1955), Di Pondok Salju, memenangkan Hadiah Kedua Majalah Sastra (1963), Mengunjungi Jepang atas undangan The Japan Foundation (1987), Memenangkan hadiah pertama lomba mengarang cerita dalam bahasa Perancis, Le Monde dan Radio France Internationale (1988), Menerima Hadiah Seni Untuk Sastra dari Depertemen Pendidikan & Kebudayan (1989), Menerima penghargaan Bhakti Upapradana dari Pemprov Jawa Tengah (1991), Mengunjungi Australia atas undangan Flinders Univesity, Adelaide (1991), Mengunjungi Amerika Serikat atas undangan Organisasi lingkungan hidup Green Peace (1992), Diundang oleh penitia Warana’s Writers Week ke Brisbane, Australia (1993), Mendapat beasiswa selama 4 bulan untuk tinggal di Perancis dari pemerintah Perancis (1994), Diundang mengikuti Simposium Kebudayaan Kawasan Asia Pasifik di Perth, Australia (1997), Diundang pemerintah kota Toronto, Kanada untuk ikut sera dalam acara ‘Readings’ (1998),Mendapat beasiswa selama 3 bulan untuk tinggal di Perancis  dari pemerintah Perancis (1999), Mendapat Hadiah seni dari Dewan kesenian Jawa Tengah (2000), Menerima penghargaan SEA WRITERS Award (2003), Kanjeng Ratu Hemas, istri Sri Sultan Hamengku Buwono X membuatkan gedung Pondok Baca Nh. Dini di kawasan Yayasan Wredha Mulya, Sendowo, Yogyakarta (2005), Diundang Ke Korea Selatan menghadiri Festival Penghargaan se Afrika-Asia-Timur Tengah di Jeonju (2007), Menerima Hadiah Francophonie dari negara-negara yang menggunakan bahasa perncis sebagai bahas kedua (2008), Diundang menhadiri Ubud Writers and Readers Festival, Bali (2009).  
5.    Kata Mereka
            Novel ini mengandung banyak cara untuk tetap bersabar. Kita diajarkan untuk pandai dalam bersikap sabar seperti Dini dan keluarganya, hingga dapat membentuk sifat-sifat yang mendatangkan banyak manfaat bagi orang lain.
            Dalam buku berlatar belakang keluarga ini, Dini begitu pandai menceritakan kehidupan antar anggota keluarganya. Jarang sekali ditemukan karya penulis muda zaman sekarang yang bercerita tentang keluarga sedemikian kompleks seperti Nh. Dini, kebanyakan adalah lebih mengutamakan cerita percintaan antara lelaki dan perempuan.
            Novel tersebut juga memberi wawasan hikmah, meskipun alurnya mudah untuk di tebak. Sedang bahasa yang digunakan agak sulit dipahami, karena banyak mengandung kiasan - kiasan yang sulit diartikan. Namun demikian, nilai-nilai yang terkandung cukup banyak. Seperti nilai sosial, nilai moral dan nilai religius.
            Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya Nh. Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
Daftar Pustaka
Setiabudi, Irawan. Winda Rianti, Agung, Iyan, dan Bunga. 2011. “Langit dan Bumi Sahabat Kami” dalam http://www.goodreads.com/book/show/1722594.Langit_dan_Bumi_Sahabat_Kami. Diunduh pada 10 Juni 2011.
Milky. 2011.  “Pearl of China” dalam http://mymilkyway.blogdetik.com/2011/03/26/pearl-of-china/. Diunduh pada 10 Juni 2011.
Mahayana, Maman. 2010.Angkatan 70-an: Kembali ke Tradisi” dalam http://mahayana-mahadewa.com/2010/09/11/angkatan-70-an-kembali-ke-tradisi/#ixzz1PH7CcAGE. Diunduh pada 14 Juni 2011.



           



Karya-karya Nh. Dini
Karya Nh. Dini diantaranya adalah Dua Dunia (kumpulan cerita pendek, NV Nusantara, Bukittinggi, 1956), Hati yang Damai (novel, NV Nusantara Bukittinggi, 1961), Di Pondok Salju (1963), Pada Sebuah Kapal (novel, PT. Dunia Pustaka Jaya, kemudian diambil alih oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1972), Keberangkatan (novel, PT. Dunia Pustaka Jaya, kemudian diambil alih oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1977), Namaku Hiroko (novel, PT. Dunia Pustaka Jaya, kemudian diambil alih oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1977), Sebuah Lorong di Kotaku (cerita kenangan, PT. Dunia Pustaka Utama, kemudian diambil alih PT. Gramedia Pustaka Utama, 1978), Pada Ilalang di Belakang Rumah (cerita kenangan, PT. Dunia Pustaka Jaya, kemudian alih oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1979), Langit Dan Bumi Sahabat Kami (cerita kenangan, PT. Dunia Pustaka Jaya, kemudian diambil oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1979), Sekayu (cerita kenangan, PT. Dunia Pustaka, kemudian diambil oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1981), Pangeran dari Seberang  (biografi penyair Amir Hamzah, PT. Dian Rakyat, 1981), Kuncup Berseri (cerita kenangan, PT. Dunia Pustaka Jaya, kemudian diambil alih oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1982), Tuileries (kumpulan cerita pendek, PT. Sinar Harapan, 1982), Segi dan Garis (kumpulan cerita pendek, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1983), Orang-orang Tran (novel, PT. Pustaka Sinar Harapan, 1983) Sampar (novel terjemahan Albert Camus, La Paste, 1983), Pertemuan Dua Hati (novel, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1986), Jalan Bendungan (novel, PT. Djambatan, kemudian diambil alih oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989), Tirai Menurun (novel, Gramedia Pustaka Utama, 1993), Panggilan Dharma Seorang Bhikku (riwayat hidup Bhikku Girrakkito Mahatera, nirlaba, Yayasan Watugong Semarang dan Sangha Theravada, penerbitan eksklusif, tidak diperdagangkan, 1996), Tanah Baru, Tanah Air Kedua (novel, versi baru Orang-Orang Tran, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia/PT. Grasindo,1997), Hati Yang Damai (novel, PT. Grasindo, 1998),Cerita-Cerita Dari Perancis 1 & 2 (legenda Perancis, PT. Grasindo, 2000), Kemayoran (cerita kenangan, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), Jepun, Negerinya Hiroko (cerita kenangan, PT. Gramedia Pustaka Utama), La Barka (novel, PT. Grasindo, 2001), Monumen (kumpulan cerita pendek, PT. Grasindo, 2002),Dua Dunia (kumpulan cerita pendek, PT. Grasindo, 2002),Istri Konsul (kumpulan cerita pendek, PT. Grasindo, 2002), Dari Parangik ke Kampuchea (cerita kenangan, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003),Pencakar Langit (kumpulan cerita pendek, PT. Grasindo, 2003),Janda Muda (kumpulan cerita pendek, PT. Grasindo, 2003), 20.000 Mil di Bawah Lautan (novel terjemahan dari bahasa Perancis karya Jules Verne, Vinqt Mile Lieues sous Les Mers, Penerbit Enigma, Yogyakarta, 2004), Dari Fontenay ke Magallianes (cerita kenangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005),Sampar (novel terjemahan Albert Camus, La Paste, Edisi II Yayasan Obor Indonesia, 2006), La Grande Bourne (cerita kenangan, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), Argenteuil : Hidup Memisahkan Diri (cerita kenangan, PT. Gramedia Pusatak Utama, 2008), Tukang Kuda, Kapal La Providence (novel terjemahan Le Charretier de La Providence, Karya Georges Simenon, Kelompok Jakarta-Paris & Penerbit Kiblat Buku Utama, Bandung, 2008), Pondok Baca Kembali ke Semarang (novel, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), Amir Hamzah, Pangeran Dari Seberang (novel, Gaya Favorit Press, 2011)

ESAI UTS Sejarah Sastra


Nama   : Ade Rakhma Novita Sari
NIM     : 10201244080
Kelas   : N
a.       Sikap Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya
Polemik kebuyaan adalah bantahan terhadap pembangunan kebudayaan Indonesia dalam beberapa majalah dan harian Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita pada tahun 1935, 1936, dan 1939. Pada tahun 1948, Achdiyat K.Mihardja berhasil mengumpulkan dan menerbitkan artikel-aritkel tersebut dalam sebuah buku yang berjudul “Polemik Kebudayaan”. Buku itu memberikan kesan yang keliru, seolah perdebatan itu berlangsung secara terus-menerus selama empat tahun.
Achdiyat telah menjelaskan bahwa polemik yang pertama antara St.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Dr.Poerbatjaraka di dalam Pujangga Baru dan Suara Umum terjadi pada bulan Agustus sampai September 1938.
Polemik kedua antara St. TAkdir Alisjahbana, Dr.Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr.M.Amir dan Ki Hadjar Dewantara di dalam Pujangga Baru, Pewarta Deli, dan Wasita pada bulan Oktober 1935 sampai April 1936.
Tiga tahun kemudian baru terjadi polemik kebudayaan antara St.Takdir Alisjahbana, dan Dr.M.Amir di dalam Pujangga Baru dan Pawarta Deli pada bulan Juli 1939.
Polemik Kebudayaaan identik dengan St.Takdir Alisjahbana karena ide-ide kebudayaan yang dilontarkannya membumi pengaruhnya pada kehidupan kebudayaan dan kehidupan umum pada generasi di zaman revolusi dan dekade pertama zaman kemerdekaan. Gagasan serta retorik penyampaian Takdir di dalam Polemik Kebudayaan secara khusus dapat kita dengar gemanya pada generasi sastrawan Angkatan 45. Kenyataan ini bisa dilihat dari kesamaan asas-asas kebudayaan Angkatan 45 di dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang diumumumkan pada tahun 1950.
Jika Takdir pada tahun 1935 menyatakan bahwa “pekerjaan Indonesia muda bukanlah restaureeren Borobudur dan Prambanan”, maka di Surat Kepercayaan Gelanggang dikatakan ”kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada me-lap-lap kebudayaan lama lagi”. Hanya perbedaan penyampaian saja yang menyamarkan persamaan pendirian Angkan 45  dan Takdir.
Lebih jauh lagi, pengaruh Takdir telah menyentuh pengarang-pengarangnya secara pribadi, sehingga di dalam esai, artikel atau sajak-sajaknya tampak cintanya dan kelekatan jiwanya kepada dunia budaya Eropa daripada tanah airnya, Indonesia. Anjuran-anjuran Takdir supaya dalam membangun kebudayaan Indonesia harus belajar dari Barat supaya masyarakat menjadi dinamis seperti di Barat. Seperti dalam “Gelanggang” berkali-kali kita jumpai artikel yang membandingkan kehidupan umum dan budaya di tengah masyarakat Indonesia dengan keadaan di Barat.
Pikiran Takdir sebenarnya akrab dengan Sutan Syahrir, sikap budaya Syahrir itu diantaranya kita temukan di dalam catatan hariannya selama di penjara dan diasingkan oleh pemeritah kolonial Belanda di Boven Digoel dan Banda Neira, yang kemudian terbit sebagai Indonesische Overpeinzingen pada tahun 1945 dengan nama pena samara, yaitu Syahrazad.
Dilihat dari prespektif sejarah, maka dapat dipahami bahwa persamaan haluan dan suasana fikiran antara kedua tokoh St.Takdir A. dan Sutan Syahrir itu berpangkal dari sikap hidup dan pandangan budaya yang sama, yang akan menjadi ralling point bagi para pelajar, cerdik pandai, budayawan, seniman, dan politisi yang akan menciptakan suatu iklim serta pergaulan budaya yang menjiwai kegiatan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang pada suatu saat dipimpin oleh Syahrir. Selain itu, hampir semua seniman, sastrawan, budayawan yang tergolong dalam angkatan 45 dan sejiwa dengan angkatan itu, menurut iklim budayanya maupun simpati batinnya sangat dekat hubungannya dengan PSI.
Namun, pada tahun 1939 mulai terjadi perubahan sikap budaya pada St.Takdir A. Dia tidak lagi menggebu-gebu dalam menyampaikan argumentasinya. Sudah hilang kecenderungannya untuk mengemukakan pendapat dan penilaian. Sebaliknya, Takdir cenderung melihat segala sesuatu dalam totalitas, dengan semua unsur berkaitan dan menyatu. Bahkan Takdir secara implisit mengakui keterbatasan rasionalisme dan positifisme yang dicita-citakan dengan menerima unsur-unsur yang irrasional. Perubahan yang paling mencolok terdapat pada karangan-karangannya yang kemudian terhimpun dalam Indonesia Social ang Cultural Revolution, di mana Takdir mengungkapkan penilaiannya yang tinggi terhadap seni tradisioal Indonesia. Persoalan akhirnya adalah bagaimana mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru.
Komentar:
Sikap Takdir yang tampak selalu mengembar-gemborkan gagasannya yang bertolak belakang dengan beberapa sastrawan lainnya hingga timbul beberapa tahap polemik sampai ketiga kalinya. Di mana Takdir lebih mengistimewakan budaya Barat daripada budaya tanah airnya, yaitu Indonesia. Dari situ telah mendapatkan sebuah gambaran bahwa Takdir seolah-olah seperti penghianat yang tidak menghargai kebudayaan tanah bangsanya. Meskipun tujuan Takdir adalah demi kemajuan Indonesia, namun hal tersebut dirasa tetap menjadikannya kontra dengan gagasannya karena dengan mengikuti budaya barat, Indonesia akan kehilangan kebudayaan aslinya. Namun, di akhir cerita, Takdir menyarankan untuk mengintergrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru. Hal tersebut lebih bisa di tolerir bahwa gagasannya bisa diterima, karena pada dasarnya masih pada kebudayaan Indonesia itu sendiri.
b.      Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual
Sastra kontekstual muncul karena adanya perbedaan prespektif keindahan menurut setiap orang. Indah adalah memberi kesan nilai yang indrawi. Sastra yang baik adalah sastra yang berarti bagi penikmatnya. Sedang nilai apa yang berarti bagi manusia tidaklah sama di mana pun dan kapan pun, maka tidak akan ada nilai yang benar-benar universal, yang ada adalah nilai yang kontekstual.
Pada dunia kesusastraan saat ini ada kepercayaan bahwa mereka sedang menciptakan karya-karya sastra yang memiliki nilai universal. Kalau mereka tidak berhasil memenuhi nila-nilai keuniversalan, maka ada dua kemungkinan. Pertama, orang-orang yang tidak dapat menikmati karya-karya mereka dianggap sebagai orang bodoh. Kedua, karya-karya mereka belum bermutu, karenanya hanya baru dihargai di kalangan mereka sendiri. Padahal masyarakat terdiri dari berbagai kalangan. Maka perlu sekali apa yang disebut sastra kontekstual itu dikembangkan.
Dalam sastra jenis ini, para sastawan sadar benar bahwa dia menciptakan untuk konsumen tertentu, bukan untuk seluruh umat manusia. Dalam konsep sastra kontekstual ini, bukan saja dapat menyembuhkan penyakit rendah diri yang berkombinasi dengan sikap rendah hati, tetapi juga dapat lebih kreatif karena kita dapat lebih mengetahui kekuatan-kekuatan dan keterbatasan-keterbatasan kita.
Dengan sikap seperti ini, sastra akan lebih berkembang dan kreatif karena kaki kita kembali berpijak di bumi yang nyata, tidak melayang-layang di awan.
Komentar:
Terkadang sesuatu hal yang baru memang sulit untuk diterima secara langsung, dan segalanya butuh proses. Adapun sebuah keinginan meng-universalkan sebuah karya adalah keinginan yang tidak dianggap lelucon, hal tersebut wajar karena pada dasarnya seorang penulis ingin sekali karyanya diterima oleh seluruh masyarakat. Tapi kembali pada konsep sudut pandang dan pola pikir manusia yang berbeda-beda menjadikan seorang penulis akan menyadari bahwa kerelatifan dalam berpendapat itulah yang menjadikan sastra konstekstual menjadi jalan keluar bagi kelemahan sebuah karya yang tidak universal.
c.       Lembaga Kebudayaan Rakyat
            17 Agustus 1950, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan untuk kesejahteraan rakyat.
            Revolusi Agustus 1945 adalah pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan, peperangan, penindasan feodal. Keyakinan tercipta kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi hingga kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Hal tersebut menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air.
            Lekra bekerja khusus di bidang kebudayaan, terutama di bidang kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga-tenaga dari kalangan seniman, sarjana, dan pekerja budaya lainnya.
            Lekra tidak hanya menyambut sesuatu yang baru melainkan juga memberikan bantuan pada setiap yang baru maju pula. Lekra membantu perombakan sisa-sisa kebudayaan. Lekra menerima dengan kritis dan mempelajari dengan seksama terhadap peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, seperti halnya terhadap hasil-hasil ciptaan klasik maupun baru dari bangsa lain. Lekra juga meneruskan secara kreatif tradisi yang agung, menuju kepenciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah.
            Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun dalam hati, memahami gerak dan kenyataan suatu perkembangan untuk hari depan. Lekra bekerja untuk membantu pembentukan manusia baru yang memiliki kemampuan.
            Kegiatan Lekra menggunakan cara saling bantu, kritik, dan diskusi. Lekra berpendapat bahwa secara tegas berpihak kepada rakyat dan mengabdi kepada rakyat.
            Lekra bekerjasama dalam pengabdian ini dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari berbagai aliran dan keyakinan manapun.
            Komentar:
            Keberadaaan Lekra sangat membantu keberadaan kebudayaan masyarakat Indonesia. Adanya tujuan yang jelas atas pembentukan Lekra, sampai pada langkah-langkah yang jelas untuk meraih tujuan yang telah di rencanakan. Karena dirasa terlalu bertele-tele harus begini dan begitu karena saking rincinya Lekra menyusun sebuah program kerja, kemungkinan besar kreatifitas akan dirasa terkekang dan kurang bebas. Ya, sekalipun salah satu tujuan dari Lekra adalah meningkatkan perkembangan kebudayaan Indonesia secara kreatif, tapi tetap saja dirasa mengekang sikap kreatif itu sendiri.
d.      Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan
            Manifes kebudayaan dimulai sejak karyawan-karyawan kebudayaan nasional melaksanakan pendirian dan cita-cita kebudayaan nasionalnya.
            Meninjau perkembangan lahirnya manifes kebudayaan, terdapat dua hal yang melatar belakangi, yaitu latar belakang perkembangan kehidupan politik dan perkembangan kehidupan kebudayaan di dalam sektor-sektornya.
            Adapun latar belakang yang pertama adalah adanya kebudayaan nasional kita yang telah terhindar dari campurtangan Belanda, suatu bahaya lain yakni bahaya perpecahan nasional. Perpecahan itu berasal dari maraknya suasana liberalisme. Di mana partai-partai politik mengembangkan kekuasaan yang sebesar-besarnya. Hal tersebut mengakibatkan adanya persaingan bebas berlangsung sengit, hingga dominasi politik beserta akibat perpecahan menyusup pula ke sektor-sektor lain dari kebudayaan kita.
            Dekrit 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno merupakan isyarat untuk dihentikannya suasana liberalisme, dan di sinilah seluruh potensi nasional digerakkan hingga tidak lagi mengutamakan suatu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lainnya.
            Adapun latar belakang yang kedua adalah karena kurangnya wawasan yang baik tentang revolusi nasional kita, banyak karyawan-karyawan kebudayaan yang berpegang pada konsepsi dan jalan pikiran yang salah, hal tersebut terbukti dengan jatuhnya karyawan kebudayaan ke dalam subordinasi kaum politisi, hingga masuk ke dalam alam pikiran liberal.
            Untunglah alat komunikasi massa banyak membantu hubungan antara karyawan-karyawan kebudayaan, juga membantu hubungan mereka dengan masyarakat luas. Majalah pengetahuan umum, kesusasteraan, ilmu kedokteran serta ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya semakin aktif. Sekalipun masih ada majalah yang tidak terbit, pengarang yang berhenti menulis, timbulnya penerbit yang mengejar laba, hingga seniman yang jatuh ke tangan pemegang modal dan kedudukan. Namun, semuanya sama sekali tidak mengubah jalannya kebudayaan nasional.
            Kemudian untuk menuju ke arah suatu konsepsi, liberalisme diberhentikan oleh UUD’45. Dengan demikian, kreatifitas kaum karyawan kebudayaan nasional mendapat kesempatan untuk tumbuh pesat, dan tidak lagi dihalangi oleh dominasi salah satu partai politik. Kaum karyawan dalam perkembangan sejarah pemikiran di Indonesia, semakin lama semakin dekat pada suatu perumusan fikiran yang digali dari kegiatan kebudayaan mereka selama ini, perumusan itu adalah pancasila, yang dapat diterima karyawan kebudayaan nasional sebgai filsafat kebudayaan.
            Meskipun, ternyata konfrontasi rumusan filsafat tidak bisa menyesuaikan diri dengan konsepsi kebudayaan yang sudah ada, namun sejarah telah menghendakinya. Konsepsi-konsepsi kebudayaan di Indonesia tidak bisa lagi secara kreatif terhadap perkembangan menyesuaikan diri dan faktor-faktor objektif yang ada. Hal tersebut dikarenakan masih adanya sikap liberalisme dalam menghadapi revolusi nasonal hingga mengakibatkan timbulnya sektarisme. Juga dikarenakan masih adanya kecenderungan menolak institusi sebagai alat perjuangan kemanusiaan, hingga mengakibatkan timbulnya pelarian-pelarian ke luar negeri dan sifat-sifat anarko-individualistis.
            Kemudian pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan antara penulis dan seniman, yang kemudian berbuah sebagai suatu manifestasi kebudayan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional dari kaum karyawan kebudayaan Indonesia, yang dilahirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1963 dan bernama Maifes Kebudayaan. Hal tersebut dimaksudkan sebagai landasan idiil suatu organisasi sebagai alat perjuangan yang revolusioner, menunjukkan persatuan yang jelas antara karyawan kebudayaan dalam mengamankan kebudayaan nasional saat ini dan juga kemudian hari.
            Komentar:
            Adanya sikap tanggap dalam menghadapi beberapa permasalahan merupakan wujud perkembangan kebudayaan yang baik. Di mana kekurangan yang ada berusaha untuk di atasi. Pemberantasan Liberalisme oleh UUD’ 45 hingga terbentuknya Manifes Kebudayaan hasil rumusan yang dibuat dari pertemuan antar penulis dan senima akan bermanfaat untuk selanjutnya.
e.       Buku-Buku yang Dilarang
            Pada tanggal 30 November 1965, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan telah mengeluarkan intruksi yang berisi tentang pelarangan penggunaan buku-buku pelajaran yang dikarang oleh pengarang –pengarang yang ikut menandatangani “Manifes Kebudayaan” pada tahun 1963. Ini merupakan tindak lanjut dari usaha penumpasan gerakan “30 September” khususnya di bidang ideologi. Dalam instruksi tersebut dilampirkan daftar sementara buku-buku yang dilarang sejumlah 70 buah, khususnya buku-buku bahasa dan kesusastraan (kecuali tentang nyanyian).
            Selain itu, juga dilampirkan daftar sementara penulis-penulis Lekra PKI sejumlah 87 nama, diantaranya Jubaar Ajub, Bakri Siregar, Pramudya Ananta Toer, Utuy T.Sontani, dan sebagainya.
Buku  yang paling banyak dilarang adalah buku karangan Pramodya sejumlah 16 buah dan Utuy Sontani 11 buah. Selain itu banyak juga sastawan lain yang dilarang karya-karyanya untuk beredar, baik dalam bentuk buku maupun artikel.
                        Komentar:
                        Larangan yang telah dicanangkan seperti adanya tersebut di rasa terlalu memojokkan penulis yang bukan anggota PKI. Meskipun, hal tersebut dilakukan dalam rangka antisipasi. Namun, pendirian Lekra adalah untuk Indonesia. Begitu juga dengan Manifes Kebudayaan, di mana lembaga atau gerakan tersebut terbentuk hanya untuk perkembangan kebudayaan Indonesia. Tapi apabila dirasa adanya campurtangan dari PKI, maka hal tersebut ibarat “Ada udang dibalik batu”.