“Jika Anda mendapatkan downline, dari bintang
tiga, Anda akan naik ke bintang empat dan mendapatkan uang jutaan
rupiah per bulan. Tinggal duduk santai di rumah,
Anda sudah bisa menikmati uang hasil kerja Anda.”
Kerja yang tidak banyak pengorbanan, duduk santai di rumah dan menikmati uang jutaan
rupiah, sering dikenal dengan bisnis Multi Level Marketing (MLM). Jika
mendengar kata MLM, yang terbesit adalah menuju kesuksesan atau menghindar. Dari
pihak pro menyebut MLM adalah salah satu cara menuju sukses. Namun sebaliknya
dengan pihak kontra yang merasa gatal-gatal atau alergi jika mendengar seseorang berbicara tentang MLM, perut langsung mulas mendengar kata MLM.
Padahal MLM bukan penjahat atau penyakit. Jika perihal tersebut diketahui pihak
pro, pasti yang terjadi adalah pihak pro mengklaim pihak kontra merupakan “orang miskin dengan pemikiran yang bodoh”.
Meskipun seluruh ahli
ekonomi dunia sependapat bahwa direct selling seperti MLM adalah cara bisnis paling sempurna
karena jelas-jelas mengurangi
biaya promosi sehingga biaya promosi tersebut langsung diberikan kepada para independent
distributor atau pelaku MLM
tersebut, namun cara pelaku MLM konvensional (offline atau bukan MLM online) dalam merekrut anggota sudah di
luar kewajaran. Bukan lagi menjual produk, melainkan menjual mimpi. Mengobral
mimpi dengan nominal uang jutaan rupiah, milyaran rupiah, bahkan dari motor,
mobil hingga kapal pesiar.
Akan terbuai dengan mudah jika ditunjukkan contoh
pelaku bisnis MLM yang sukses, namun akan lebih baik jika menunjukkan pula pelaku
MLM yang mengalami kegagalan, karena di dalam bisnis pasti ada yang sukses dan ada
pula yang gagal. Bila perlu, perbandingan antara pelaku bisnis MLM yang dirasa
diuntungkan dengan kehadiran bisnis MLM dengan pihak yang dirasa dirugikan dari
bisnis MLM tersebut (pihak yang dirasa dirugikan, biasanya mengundurkan diri
bisnis tersebut) juga dijabarkan.
Bila ditanya apa tujuan pelaku MLM mengajak bergabung
di bisnis MLM, maka jawaban dari mereka nyaris sama yaitu mengajak untuk menuju
kesuksesan bersama-sama. Padahal, kesuksesan tidak bisa diukur dari nominal keuangan
saja.
Pelaku MLM menyebutkan bahwa bergabung dengan
bisnis MLM sangat mudah. Mendaftarkan diri, mencari teman atau downline baru, kemudian duduk santai dan
menikmati uang. Padahal, jika diperhitungkan lebih matang, bergabung
dengan bisnis MLM tidak semudah itu, jika memang iya sangat mudah, lalu kenapa di
Indonesia masih saja dilanda kemiskinan? Kenapa korupsi masih merajalela jika mendapatkan uang melalui bisnis MLM saja
mudah?
Mendaftarkan diri itu pun juga menggunakan modal (uang) yang
nominalnya juga tidak sedikit (biasanya ditukar dengan produk). Jika tidak
sanggup mendaftarkan diri karena terpentok biaya pendaftaran yang mahal, pelaku
MLM pun tidak berdiam diri, mereka akan membantu calon downline-nya untuk mendapatkan modal agar bergabung. Itulah
wujud kepedulian dari pelaku MLM. Namun dibalik itu, sebenarnya jika bertambah downline, maka bertambah pula pemasukan
keuangannya. Bantuan tersebut biasanya berwujud saran. Menyarankan agar berhutang
pada siapa saja yang dikenal, menggadaikan barang-barang apa saja yang
dipunyai. Bahkan, tidak tanggung-tanggung untuk menggadaikan
ijazah. Saking nekatnya, surat tanah
dan surat motor milik orang tua juga ikut digadaikan. Ini adalah cara yang
kotor, tidak tahu malu. Cara inilah yang menjadikan orang-orang merasa alergi
dengan cara pemikiran pelaku MLM yang kelewat percaya diri hingga tidak tahu
diri.
Bila hutang dapat dibayar, barang yang
digadaikan dapat ditebus, maka keadaan akan baik-baik saja, lalu bagaimana jika
tidak? Bergabung dengan bisnis MLM juga harus diawali dengan niat yang baik,
punya prospektif, kesungguhan dan tahu dasar-dasar dalam berbisnis. Bukan hanya
niatan ingin kaya dengan mudah, karena MLM bukan sebuah metode bisnis kaya
mendadak, dibutuhkan skill untuk melakukan penjualan dan pemasaran.
Pada dasarnya, setiap orang memiliki
keterbatasan dalam berbisnis. Setiap orang punya cara yang berbeda untuk
menggapai mimpi dan cita-citanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar