“Kupikir dia adalah perempuan
yang baik untuk ukuran seorang istri. Dia lebih memilih fokus dalam menjalani
kehidupan berumah tangga dengan cara menghindariku dan tidak melakukan
komunikasi denganku sekali pun aku tahu sebenarnya ia masih menyayangi dan
mencintaiku.”
Dan menurutmu, sosoknya seperti
Siti Nurbaya yang rela berkorban memperjuangkan sikap baktinya pada kedua orang
tuanya, seperti itu? Sial! Ini sudah kesekian kalinya engkau membanggakan
mantan kekasihmu di hadapanku. Aku muak meski aku tahu kisah cintamu dengannya
berakhir kala kekasihmu menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Aku tahu
dia begitu lembut, penyayang, perhatian, dan sebagainya, dan sebagainya. Aku
tahu kalian saling mencintai, namun takdir tidak mengizinkan kalian untuk
bersama lagi. Aku tahu dia wanita idamanmu, wanita yang kau agung-agungkan
menjadi istrimu, dan kupikir kau tahu bahwa aku muak dengan celotehmu yang
selalu dan selalu membanggakannya. Namun kau tahu, kini aku masih bertahan
denganmu.
Menjelang di hari ulang tahunmu,
seharian penuh aku mengemis pada orang yang lewat di hadapanku untuk memberi
ucapan selamat ulang tahun padamu. Nantinya akan kurekam semua dan kurangkai
dalam sebuah video agar bisa kau tonton setiap hari. Semalam suntuk aku merangkai
semuanya, mulai dari beberapa foto kita, ucapan selamat dari orang-orang, dan
beberapa kata cinta dariku. Selesai. Masih pukul 22.45 dan aku harus menunggu 1
jam lebih seperempat menit untuk meneleponmu.
Tepat pukul 00.00, aku
meneleponmu. Dua kali panggilan, kau tak menyahut. Telepon yang ketiga kau
mengangkatnya. “Selamat Ulang Tahun,” aku begitu bahagia kau menerima
teleponku. Tapi kau hanya bergumam,”Hmm..hmm..” begitu seterusnya. Menyebalkan.
Tapi, kumaklumi karena itu tengah malam, jam istirahatmu. Paginya kau
meneleponku dan mengatakan bahwa kau tak begitu peduli dengan hari ulang
tahunmu, terlebih ucapan ulang tahun yang harus diucapkan tepat pukul 00.00
yang bagimu itu tak perlu dilakukan. Baiklah! Kado yang kusiapkan untukmu
kusimpan dengan rapi karena kupikir kado ulang tahun pun juga tak akan bermakna
di matamu.
Peristiwa itu membuatku kecewa,
terlebih aku melihat kado ulang tahun dari mantan kekasihmu yang masih
tersimpan rapi dalam kamarmu. Mulai dari jam tangan pemberiannya, kotak jam
tangan itu, surat ucapan, foto-foto mesra kalian, dan bahkan kertas bungkusnya.
Cukup!
Semua kuanggap berlalu meski
semua ucapanmu saat itu mendarah daging dalam telingaku dan seringkali
membuatku terbakar api cemburu. Kini, kau terbaring lemah di hadapanku. Kau
sakit. Seringkali aku mendapatimu terbaring memandangi langit-langit, kosong.
Sebenarnya, apa yang kau pikirkan?
“Tidak, aku tidak memikirkan
apa-apa,” sambil tersenyum kau selalu menjawab seperti itu.
Senyummu itu yang mampu membuatku
bertahan. Seringkali api cemburu yang tersulut berbisik padaku agar aku
meninggalkanmu. Namun jika aku meninggalkanmu, aku akan kehilangan telaga yang
memadamkan segala kegundahanku. Nyaman. Aku sudah nyaman denganmu dan aku
memilih bertahan. Tentang masa lalumu, kupikir itu adalah proses dan aku yakin
aku mampu membuatmu untuk segera berpaling padaku. Fokus pada kesehatanmu saat
ini adalah pilihan yang baik untukku.
“Selama aku sakit, dia yang
merawatku di sini. Dia perempuan yang paling panik saat aku harus dioperasi.
Aku cukup bahagia ada dia yang menemaniku di sini. Dia perempuan yang
membuatku… “
Dia. Kau sedang berbicara tentang
“dia” pada kedua orang tuamu. Air mataku jatuh tak tertahan. Dia, dia, dan dia.
Dia yang sedang ia bicarakan adalah… aku. Mungkinkah cerpen berjudul Nur itu memang
benar? Seseorang akan jatuh cinta pada sosok yang telah mengobati lukanya.
Seperti Anang yang mulai mencintai Nur setelah Nur merawatnya yang terluka
karena tertimpa kecelakaan. Demikiankah aku?
“Bukan hanya saat ini saja kau
mengobati lukaku. Sudah sejak pertama kali bertemu, kau mengobatiku. Kau
merelakan hatimu, hari-harimu, dan bahkan api cemburu yang melandamu untuk
bertahan menemaniku.”
Aku tertunduk diam. Aku tak ingin
menangis di hadapanmu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, “Sedang lihat apa?
Sedari tadi kulihat kau sibuk dengan laptopmu.”
Aku meraih laptop dari tanganmu
dan sepertinya kau tahu aku terkejut. Kau sedang melihat video yang pernah
kurangkai sebagai kado ulang tahunmu, namun gagal untuk kuberikan.
“Maaf, aku mengambilnya
diam-diam,” jelasmu.
“Sejak kapan?”
Seperti biasa, kau memilih untuk
menjawab tanyaku dengan tersenyum.
“Sayang, terima kasih.”
Kau mengucapkan hal itu tiba-tiba
dan jujur aku tak suka karena aku harus menangis di hadapanmu. Penuh kejutan.
Dan inilah yang membuatku untuk bertahan denganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar