Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Kamis, 17 November 2011

Menjadi Seperti yang Kau Minta


Aku tahu ku tak kan bisa
Menjadi seperti yang kau minta
Namun selama nafas berhembus
Aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta

Aku tahu dia yang bisa
Menjadi seperti yang kau minta
Namun selama masih bernyawa
Aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta
-17 November 2011-

Minggu, 06 November 2011

Cara Mudah Membedakan Daging Kambing dengan Daging Sapi

Mumpung lagi musim daging kambing dan daging sapi, aku mau bagi-bagi tips, yaitu CARA MEMBEDAKAN DAGING KAMBING DENGAN DAGING SAPI.
Sulit membedakan keduanya selalu jadi keluhan ibu-ibu, anak-anak, atau manusia jenis apapun yang enggan daging kambing, sedang daging yang dibagi selalu dicampur. Jika diharuskan untuk mencium baunya, heemmm.. aku rasa banyak yang tak mau. Sedang sang suami, terkadang tak mau menuruti apa mau si istri, karena pikirnya daging sapi dan daging kambing itu sama saja, dan istri hanya bisa cemberut, mengeluh dalam hati, hingga mogok makan (keterangan ini berlaku pada siapa saja, tidak hanya pada seorang istri, he…).
Nah, dengan fenomena alam yang tak terhindarkan ini, aku hendak berbagi tips mudah cara membedakannya tanpa harus mencium baunya. Berikut cara-caranya:
Pertama, siapkan beberapa kumpulan daging kambing dan daging sapi yang tercampur. Mengapa demikian? Karena kalau daging kambing dan daging sapi sudah dibedakan atau tidak tercampur, tips ini tidak akan bermanfaat, betul tidak?hehe..
Kedua, siapkan dua tempat yang berbeda, misalnya tempat yang berwarna merah untuk daging kambing, dan warna biru untuk daging sapi. Mengapa demikian? Ini untuk memudahkan kerja selanjutnya, maksudnya: jika nanti sudah diketemukan daging kambing atau daging sapi, segera letakkan di tempat yang sudah ditentukan (agar tidak tercampur lagi). Kalau ketemu daging kambing, taruh ditempat warna merah, kalau ketemu daging sapi, taruh ditempat warna biru.haha..
Ketiga, ambil satu daging, kemudian letakkan daging itu pada pipi suami atau pada siapa saja yang punya ciri-ciri bawel setengah mati,he..). Jika sang suami atau sang korban berteriak “mbeeeeek…” itu menunjukkan daging yang Anda pegang adalah daging kambing. Segera letakkan daging tersebut pada tempat warna merah. Namun demikian, jika berteriak “ngooook…” itu menunjukkan daging sapi, segera letakkan pada tempat warna biru. Begitu seterusnya sampai daging kambing dan sapi mulai terpisahkan.
Semoga bermanfaat :p
Bumi Asri, 071111, 06:57

Ada Cerita di Hari Raya Idul Adha

Innalillahi wa innalillahi rajiun..
Telah berpulang ke Rahmatullah bagi kawanan kambing, sapi, kerbau, unta, dan mungkin hewan ternak yang lainnya. Kini telah tiba pada hari di mana kawanan kambing menuju singgasana terakhir.
Selamat datang hari raya idul adha, selamat datang kawan..
Pagi-pagi betul, telingaku sudah rusuh dengan teriakan bunda, sangat khas, dan ini yang selalu membuatku rindu.
“Vita… subuhan apa ndak? Bangun!”
Dengan kenikmatan yang kurasa sudah sampai puncak khayangan, aku menikmati teriakkan bunda, kemudian melanjutkan tidurku kembali.
“Ya Allah, ini besok pie kalau di rumah mertua?”
Aku menahan tawa dalam hati, selalu saja begitu. Kalimat andalannya selalu muncul, selalu bawa-bawa mertua. Aku masih menikmati lelapku dalam tidur, bunda tiada henti ngedumel sambil berjalan kesana kemari. Ditambah lagi dengan suara dengungan yang cukup mengganggu. Ilham berdendang, entah apa yang sedang ia dendangkan, sepertinya ia mulai menampakkan kebiasaannya di pondok. Kucoba jamah lebih dekat apa yang sedang ia dendangkan, kupikir ia sedang ngaji, atau baca kitab kuning, bahasanya semrawutan. Tapi setidaknya, suara parau itu semakin membuatku ayem, tentrem, dan makin tidur lebih dalam, lelap. Dari masjid pun aku juga mendengar gema takbir.
“Subuh?!”
Aku tersontak, aku belum menjamah subuh. Aku segera bangun, menuju kamar mandi, dan melakukan ini itu.
Sholat ied.
Usai sholat, kami sekeluarga mulai megerang kelaparan. Kala itu aku ngebet ikut abah beli sarapan, pikirku sekalian beli tisu, maklum musim hujan, umbelen.
Jalanan sepi, toko, warung, bahkan minimarket yang tak pernah absen dari dunia, pagi itu juga masih tutup. Aku gagal mendapatkan tisu kala itu. Menyusuri sepanjang jalan, di pojok jalan ada penjual pecel.
“Beli di situ saja ya? Ada sego pupu (nasi+paha ayam),”
Aku tertarik dengan tawaran itu. Setelah mengiyakan, kudapati banyak pembeli sedang antri. Memilih untuk antri di situ adalah pilihan yang (mungkin) tepat. Abah memutuskan untuk beli sarapan di sana, meski antri panjang, ya inilah usaha penuh perjuangan.
Sembari menunggu, abah mengambil tahu, aku pun turut serta. Kusapu semua isi meja itu, mana pupu? kok gak ada? katanya sego pupu?
“ooh berarti habis,” abah mulai menghiburku.
Ya sudahlah. Tahu juga enak.
Beberapa pembeli masih ada yang bertahan, sebagian ada yang pulang karena tak sanggup mengantri panjang. Ada bapak-bapak memesan mie-nya diperbanyak, penjual bilang kalau mie tinggal sedikit, lalu bagaimana nanti dengan yang lain? Pembeli itu menimpali,”lha anak’e njaluk mie eg.”
Hiyaa nah lho? Ayooh gelut.
Mengetahui tragedi tersebut, abah mulai memesan pada penjual untuk menyisakan mie, karena bunda sudah berpesan untuk tidak dibelikan pecel, dan abah berinisiatif untuk membelikan nasi mie saja.
Penjual mengangguk.
Bertahap begini dan begitu. Telah sampai melayani seorang wanita yang datang lebih dulu dari abah. Mie tinggal sedikit, tanpa memesan sebelumnya, dia minta mie. Penjual sedikit kegok karena mie yang ia sisakan tadi itu untuk abah yang sudah memesan lebih dulu. Aku melihat abah shock. Kemudian, suami dari wanita tadi datang dan menegaskan pada penjual bahwa istrinya datang lebih dulu dibanding abah. Abah pun hanya diam, raut mukanya seperti berbicara,”Yoweslah kono.”
Tapi, penjual masih mencoba menyisakan sedikit mie untuk abah.
Karena tinggal sedikit, abah memintaku untuk menghubungi bunda guna memberikan tawaran campur pecel saja karena mie tinggal sedikit. Aku sudah mencoba menlepon tapi tak tersambung juga, pikirku,”ah ya sudahlah, kalau lapar pasti dimakan juga, kalau protes, ya biarkan saja.”
Handphone (HP) abah berderit, ada telepon yang mengharuskan abah untuk segera pulang ke rumah guna melakukan proses penyembelihan. Belum juga telepon selesai, HP yang satunya lagi juga berdering.
Hiya nah lho.. nah lho.. bingung po ra weeen..
Aku mengambil alih HP yang satunya lagi, ternyata bunda. Belum juga aku mengucap salam, bunda sudah main semprot duluan,”beli nasi di mana to? Kok lama banget? Ditungguin orang banyak kok.” Belum juga aku menyahut, dengan sigap bunda ngedumel agar segera pulang ke rumah. Padahal, sudah jelas kalau kami sedang membelikan sarapan untuknya juga. Hmm..
Segera, kami beranjak pergi ke rumah. Di depan masjid sudah banyak orang bersiap-siap, begitu juga dengan anak-anak kecil yang siap menyaksikan tragedi pembunuhan hewan ternak. Saat lewat, semua anak-anak kecil bersorak-sorai,”pak kariyadi....” sambil dada dada..
Pak Kariyadi adalah nama abahku, hmm.. sudah macam artis saja.
“Aku kan memang artis,” jawab abah kala aku mulai keheranan dengan ulah anak-anak sekitar komplek.
Tanpa menyicip nasi yang sudah dibeli, abah segera berangkat ke masjid hendak melakukan prosesi penyembelihan. Satu, dua, tiga, empat, lima, entah ada berapa ekor kambing yang sudah disembelih abah. Saat kambing ke berapa aku lupa, tiba-tiba abah bertanya pada kawannya,”ini siapa?”
Pikirku, untuk apa abah menyakan nama si kambing, apa iya saat mereka disembelih, abah harus berkenalan dulu dengan si kambing? Tapi setelah kucari, jawabannya adalah, itu nama si penyumbang, harus diketahui sebagai doa atau ijab qabulnya.
Telah usai penyembelihan kambing, dan inilah momen yang sudah aku tunggu.. aku menunggu aksi abah kala menyembelih sapi, sehebat apa sih?
Semua kambing sudah dibabat habis, aku masih setia menunggu aksi abah selanjutnya. Aku menunggu bersama Dwika, kawanku. Belum lama, tiba-tiba alarm perutku mulai berdendang, tanda aku harus melakukan prosesi pengeluaran sisa makanan. Aku segera pamit pulang ke rumah untuk melepaskan beban dalam perutku. Setelah selesai, aku segera berangkat kembali ke masjid, untung saja dua sapi masih hidup, ini menunjukkan kalau aku masih ada kesempatan untuk melihat aksi abah.
Tidak lama kemudian, sapi mulai dituntun menuju singgasana pemotongan, wow! Bapak-bapak mulai berembuk bagaimana agar si sapi tergeletak dan mudah disembelih. Abah mengomandoni begini begitu, saking banyaknya berteori saja, aku lihat ada bapak-bapak yang menyumanggakan (mempersilakan) tali pada abah untuk melakukan sendiri atas komandoannya sendiri,haha.. kupikir tak ada yang berani menali kaki si sapi karena si sapi banyak ulah.
Sret sret sret, bruk! Seperti gempa ringan, sapi tlah roboh kemudian siap sembelih, ngeeek!
Sakaratul maut, si sapi ,mulai polah. Bapak-bapak yang berdiri di atas bambu pengikat sapi agar tak meronta kejang mulai berpegang pada batang pohon, dan aku melihat mereka seperti sedang berdisko, loncat loncat kegirangan, hihihi..
Satu sapi sudah selesai, mati. Sapi dibopong ketengah untuk dikuliti. Sebelumnya, kepalanya dilepas. Saat kepala sudah berpisah, tiba-tiba ada anak kecil yang duduk di atas badan mayat si sapi sambil berpose seperti model.
“weeez iki, ayo difoto-difoto,” ungkap salah satu bapak-bapak yang ada di sana.
Kemudian, bapak si anak mengajaknya turun dari badan mayat sapi sambil menegaskan,”di masukin surat kabar, bagus ni.”
Malaaaaaah mendukung? pie to pak pak?
Sapi kedua, aku melihat sapi kedua yang dituntun ke peraduan tidak banyak tingkah, sepetinya dia sudah pasrah. Membuatnya tergulai jatuh pun juga tidak serumit sapi yang pertama, kupikir dia sudah dewasa, pengertian lah ya, tahu diri kalau dia sudah ditakdirkan untuk dibunuh, dan dimakan.
Aku melihat matanya berkaca-kaca, seperti menangis, aku pun turut terharu. “Semangat!” batinku.
NGEEEEK….
Mati.
Selamat untuk abah, sudah jadi tersangka paling keren hari ini.
“tunjukkan fotoku pada teman-temanmu biar gak macem-macem sama kamu,” jelas abah dengan khas narsisnya.
(Fotonya nyusul yaaa.. ribet sih :p)
Dan ….
Selamat menikmati daging, selamat hari raya idul adha, Allahu akbar!
Bumi Asri, 061111, 20:56

Sabtu, 05 November 2011

Ada Cerita Menyambut Hari Raya Idul Adha

Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar
Laailaa ha illallahu Allahu akbar
Allahu akbar
Wa lillahilhamd

Selamat menyambut hari raya idul adha, kawan..
Malam ini takbiran di mana? Dengan siapa? He…
Senang rasanya jadi anak kosan yang ujung-ujungnya mudik kalau pas lebaran, meskipun gak ada libur barang seminggu atau sehari, tapi setidaknya masih ada cara untuk mendapatkan libur barang sehari saja dengan cara nego dosen, dan itu sangat berharga, maka manfaatkan!
Berangkat pagi-pagi dari kosan menuju stasiun lempuyangan, naik sepeda bersama mas Ain, anugerah terindah dari Tuhan untukku, so sweet to? Hwkwkwk…
Di tengah perjalanan, kami bertemu simbah sedang menggendong cucunya, dia tersenyum lebar  kali tinggi, raut mukanya seneng banget lihat mas Ain yang sedang mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga kala memboncengku. Aku menyadari kalau berat badanku jauh lebih berat dibandingkan mas Ain, tapi dia ngotot pengen bonceng, ya apa mau dikata? Aku juga rela-rela aja kalau diboncengin, xixixiiix…
“Mungkin dia tersenyum karena teringat masa mudanya,” ungkap mas Ain, hihi…
Aku pun turut bahagia, wahai simbah yang ada di sana saat itu,he…
Sesampai di stasiun lempuyangan, begini dan begitu sreeeeeet… dan aku telah sampai di Kediri. Di stasiun kediri aku dijemput Ilham, adikku. Tumben, biasanya kalau gak dijemput abah, ya dijemput ibu. Hari itu ibu sedang diklat di Surabaya, sedang abah sedang di kantor. Bagaimana bisa hari sabtu kok ngantor?
“Abah ada urusan, Mbak,” jawab Ilham.
“Urusan apa emange?” tanyaku.
“Jaga kambing,”
Subhanallah, Pegawai Negeri Sipil (PNS) lagi ngantor, kerjaannya jagain wedus, haha… buat kalian yang pengen jadi PNS, apa pendapat kalian?*nah lho?
“Dari kemarin, abah jadi penggembala kambing,” tegas Ilham
Ini sungguh so sweet… aku kagum dengan perjuangan abah. Mengingatnya sedang menggembala kambing, aku yakin dalam beberapa waktu idul adha ini abah akan berbau kambing, dan itu sudah jadi ciri khasnya.
Dengan motor shog** biru terbitan tahun jaman dulu kala, spion yang cacat, rem yang selalu berderit kencang saat diinjak, wow! aku melaju dengan Ilham mengarungi jalanan kota Kediri, rindu sekali rasanyaaaa…
Tak segera menuju rumah, aku mengajak Ilham untuk menikmati bakso-sudah ngidam dari Yogyakarta. Kalau sampai di Kediri, aku hendak memuaskan diri untuk menikmati bakso dan degan di pinggiran sawah, hmmm sedaaaap…
Kala aku menawari Ilham untuk makan bakso, jawabannya adalah,”Ayo, tapi aku gak punya uang.”
Pikirku, yaa derita loe :D
Sesampai di sana, kami makan, blum blim blam, selesai. Ilham menyodorkan uang 10rb padaku. Aku menahan tawaku. Mungkin ini akibat dari masa laluku yang pelit setengah mati jika harus mengeluarkan uang serupiah pun untuknya. Hingga sampai saat ini, ia ragu jika aku mau menraktirnya makan. Satu pelajaran yang biSA diambil adalah, inilah indahnya persaudaraan, saling berbagi, baik suka, maupun duka. Yah, meskipun nanti kalau uangku mulai seret, korbannya adalah orangtuaku,haha…
Sesampai di rumah, komentarku dari tahun ke tahun masih sama: Gak banyak berubah, masih dengan lebatnya pohon mangga, dan tonjolan buah mangga berserakan di beberapa tempat dalam rumah, seperti pasar buah mangga. Lantai pun berdebu, mau disapu sampai seribu kali pun, tetap saja terasa kotor, entah kenapa. Sepertinya harus dipel. Intinya tak banyak berubah, dan inilah yang terkadang membuatku rindu, terlebih masjid maulana depan rumahku, suasananya selalu membuatku rindu. Di mana suasana jamaah sholat begitu tentram, damai, dan aku selalu ingat jika sedang berjamaah di masjid, aku ingat betul begitu seriusnya aku selalu mengaduh dan meminta pada Tuhan bahwa aku ingin UANku lulus, meskipun akhirnya tryout kimiaku gak pernah lulus, dan berakhir aku lulus dengan nilai kimia yang tinggi.
Seiring kelulusanku, aku sertai doaku untuk bisa menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia, dan akhirnya tak diterima juga. Hingga aku ingin lolos SNMPTN diterima di Universitas Negeri Surakarta (UNS) jurusan psikologi (betapa indahnya aku yang dulu, ngebet banget pengen kuliah psikologi, saking terobsesinya dengan orang gila). Dan tak lupa lolos USM STAN, karena ingin dibanggakan kedua ortuku. Begitu semangatnya aku berkomat-kamit doa di masjid itu, hingga rutin jamaah lho, haha… dan ini adalah hal yang sering membutku rindu.
Makan malam tlah tiba, seperti biasa, tiada nasi atau pun lauk dalam suguhan meja makan (jelas saja, punya meja makan saja tidak). Dan ini masih jadi kebiasaan dari dulu, di mana tragedi kelaparan di malam hari akan membawa kami sekeluarga untuk kuliner di luar rumah. Berangkatlah aku, Ilham, dan abah menuju warung makan penyetan depan komplek perumahan Bumi Asri. Siapa sangka, motor merah bocor, haha…derita siapa coba? Akhirnya, abah menuntunnya untuk ditambal, dan fenomena pengumbalan (antar jemput orang yang berbeda-bolak-balik) pun terjadi. Sesampai di sana, makan, minum, selesai. Pulangnya? Rencananya hendak ngumbal lagi, tapi setelah kupikir-pikir kenapa gak boncengan tiga orang saja? Toh aku kan gak gendut-gendut amat, si Ilham pun juga gak kalah seksi, hwkwk…
Lagi-lagi melaju dengan si biru. Malam-malam, tanpa lampu yang bisa menyorot. Dengan modal klakson, abah melajukan motor dengan pencet klakson terus-terusan…
“tin tin tin tiiiin… tin tintiiin…,” begitulah kiranya nada klakson yang dibuatnya, untung saja tak ada tambahan suara brat-bret-brot atau sejenisnya.
“Abah ini apa apaan sih? Emange karnaval? Atau takbir keliling?” protesku.
Tapi apa yang terjadi, abah mulai bertakbir sembari membuat nada pengiring lewat klakson.
Aku dan ilham hanya bias beristigfar… -.-
Sesampai di rumah lagi, si kecil anak tetanggaku yang lucu dan imut-imut mulai muncul dihadapanku. Dengan gemas, aku langsung bermain dengannya. Kejar-kejaran kesana kemari, dia berlari. Dengan gaya mirip burung yang sedang belok, wiiiiiiiing… ia masuk dalam got yang banyak rerumputan di atasnya, aku terkejut, tapi aku sembunyikan kejutan itu, menghindari agar ia tak kaget atau menangis. Dia diam, dan aku segera mengangkatnya dari got, ia tersenyum senang. Dasar bocah! Haha…
Tapi kok dia gak basah ya? Rumput tebal itu melindunginya dari air got, dasar Nopan!!-.-aaa…
Selamat malam, selamat hari raya idul adha, kawan… J
Bumi Asri, 051111, 23:12

Kamis, 03 November 2011

Belum Terarah



Di depan rektorat, di bawah pohon paling utara, aku duduk di atas meja. Menghadap ke selatan, bersandar pada pohon, melirik air mancur di timur tempatku duduk. Aku sedikit tenang di sini. Bukan karena air mancur itu tidak menjulang tinggi. Namun, gemericik air itu lah yang membuatku tenang. Apalagi disertai semilir angin yang menyapu sekujur kulitku. Tempat ini memenuhi pandanganku dengan warna hijau. Aku sendiri di sini. Menikmati kesendirianku. Bukan karena ku tak punya teman, atau aku ditinggal teman-temanku pergi. Namun, ada kalanya aku butuh waktu untuk sendiri.
Tempat ini tidak sepi, di depanku ada segerombolan mahasiswa dari fakultas ilmu keolahragaan. Entah apa yang sedang mereka lakukan di tempat itu. Pandanganku hanya menangkap bahwa mereka sangat gagah sekalipun mereka tampak dekil.
Di sini, aku sedang tidak ingin merenung. Ini adalah kegiatanku untuk menenangkan diri. Aku ingin mencari sebuah ide untuk ku tulis. Entahlah kenapa aku ingin sekali membuat tulisan yang bertahap di setiap harinya? Tidak tersendat-sendat, terkadang menulis, terkadang tidak. Aku benar-benar menggemari kegiatan menulis dan membaca. Tapi kegemaran itu bukan berarti menyimpulkan bahwa aku ini orang yang cerdas. Aku menyadari, ini belum cukup.
Membaca materi vokoid dan kontoid, sudah cukup menjenuhkan untuk ditelan otakku. Aku putuskan untuk membaca buku yang ku pinjam dari perpustakaa kota Yogyakarta. Buku itu berjudul “ Menulis itu ibarat ngomong”. Dari cover dan kalimat di cover belakang, membuatku benar-benar penasaran ingin segera membacanya, bisa menguasai materi itu dan aku benar-benar mampu menulis ibarat ngomong.
Buku itu menjenuhkan, sangat menjenuhkan. Bahasanya terlalu bertele-tele, sulit dipahami dan . . . ah menjenuhkan. Tapi sedikit ku cuplik dan ku sadari akan makna tersirat dari buku itu adalah di mana jika aku ingin menulis, maka aku harus mengalirkan tulisanku seperti saat aku berbicara. Ya, ini benar-benar aku praktekkan saat ini. Tapi aku menolak jika aku menulis lancar karena isi buku itu. Aku hanya terpengaruh dengan judul buku dan kalimat di cover belakang. Kesimpulannya, aku telah tersentuh dengan judul buku atau sebut saja cover buku itu. Padahal, seperti halnya .. jangan pernah melihat seseorang itu dari covernya.
Ya, di mana kita tidak boleh terlalu dominan berpersepsi saat pertama kali mendapatkan stimulus. Tapi ku pikir, dengan persepsi lah aku mampu menulis. Hmm.. namun yang bikin shock lagi adalah saat dikatakan bahwa persepsi telah menghalangi suara hati. Aku perlu membuktikan hal tersebut, tapi entahlah bagaimana aku harus melakukannya?
Tulisanku sudah banyak, entahlah apa tujuan dari tulisanku ini. Mungkin jika di share akan sangat menjenuhkan untuk dibaca. Tapi aku tak peduli, yang penting aku nulis. Aku bisa menyampaikan gagasan-gagasan yang ada pada pikiranku, dengan begitu setidaknya aku sudah menulis untuk hari ini. Yaa, meskipun tulisan ini sangat absurd. Huuufht .. aku ingin menertawakanku sendiri, entah sampai mana aku menulis?
Lalu apa kesimpulan dari tulisanku ini?
Ya, pahami sendiri. Aku hanya bilang, menulislah, jangan menunda-nunda. Menulislah sekarang!
Badanku lemas, panas, demam, sepertinya sakit. Apakah ibunda merasakan dengan apa yang aku rasa? Ku yakin dia merasa. Baiklah, aku tidak ingin membuatnya jadi berperasaan terus karena aku sedang mencoba merasakan mereka. Ya, aku sedang mencoba praktek telepati, hihi....
Aku sudah cukup jenuh dengan kesibukan selama ini, dan saat ini aku hanya bisa pasrah. Tuhan, aku serahkan semua padaMu.
Kamis, 14 April 2011_12.02 (jam diragukan kebenarannya)_ at Singgasana

Lindungi Air dengan Stop Tebang Pohon


Wonogiri, CyberNews: Peta kekeringan di Kabupaten Wonogiri semakin meluas. Tidak saja melanda di tiga dari 25 wilayah kecamatan se Kabupaten Wonogiri, yakni Kecamatan Pracimantoro, Giritontro dan Paranggupito, tapi bertambah lima kecamatan lagi. Sehingga totalnya menjadi delapan wilayah kecamatan.”
“YOGYAKARTA--MICOM: Warga di kawasan Perbukitan Prambanan, Yogyakarta, dalam empat bulan terakhir ini mengalami kekurangan air bersih.”
Fakta mengungkapkan kekeringan mulai melanda di berbagai daerah. Padahal, air adalah hal pokok yang mutlak dibutuhkan manusia. Meski air di bumi sangat melimpah, namun jika keberadaannya disia-siakan, tidak ada pelestarian, maka tidak dapat dipungkiri akan ada kemungkinan mengalami kekeringan, kekurangan air. Tanpa air, kehidupan manusia tak dapat berlangsung. Lalu apa yang harus dilakukan agar keberadaan air tidak mengalami kekurangan air? Bukan perihal merawat air dengan menimba sebanyak-banyaknya, kemudian menimbunnya dalam tabung besar agar awet. Namun, dengan perbaikan perlindungan alam, maka sesungguhnya kita sudah ikut serta melestarikan keberadaan air. Perlindungan pada gunung adalah jalan paling tepat untuk melestarikan keberadaan air.
Allah telah memberikan bocoran pada manusia, tentang tempat di mana manusia dapat menemukan air melimpah. Allah berfirman:
Dan Kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan Kami beri minum kamu dengan air yang tawar?” (QS. Al-Mursalat [77]: 27)
Gunung adalah tempat penyimpanan air yang paling tepat. Mengapa demikian? Karena air melimpah dipengaruhi oleh-oleh beberapa hal, seperti curah hujan, resapan air dalam tanah, penghasilan air tanah, dan juga pohon yang mampu menyimpan air. Beberapa faktor tersebut dapat dijumpai pada pegunungan, di mana di gunung ada banyak pohon dan tanah yang keduanya dapat melakukan kinerjanya sebagai pengelola air. Maka, pelestarian gunung adalah jalan yang tepat sebagai langkah “basmi kekeringan”.
Manusia dan alam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, saling terkait, dan saling berpengaruh. Apabila manusia memperlakukan alam dengan baik, maka alam akan memberikan efek yang baik pada manusia. Demikian pula jika manusia merusak alam, maka alam akan memberikan dampak yang tidak bagi bagi manusia. Contohnya adalah, jika manusia merawat alam, seperti menanam pohon, maka pohon tersebut akan memberikan manfaatnya bagi manusia, baik buah, daun, maupun batangnya. Dan jika manusia merusak alam, seperti menebang pohon sembarangan, maka alam akan memberikan efek yang buruk pula, seperti bencana banjir, global warming, dan juga kekeringan, kekurangan air.
Bila terjadi bencana, pernahkah manusia berpikir “mengapa?”. Allah SWT berfirman:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar. (QS. Ar-Rum [30] : 41).
Jika ingin menghindari bencana, alangkah baik jika memulai berdamai dengan alam, mulai melestarikan, dan merawat alam. Bisa dimulai dengan langkah pelestarian pohon dan tanah yang ada pada gunung, sebut saja STOP TEBANG POHON. Sekecil apapun pohon tersebut, sesungguhnya pohon sangat memberikan pengaruh yang besar bagi manusia. Sekecil apapun program penebangan yang telah dilakukan, sebenarnya hal tersebut adalah tindakan merusak. Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik." (QS. Al-A’raf [7] : 56)
"Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah membuat kerusakan di muka bumi", mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (QS. Al-Baqarah [2] : 11).
Perbaikan untuk A, namun merusak B. Hal tersebut patut dihindari, karena pada hakikatnya, perbaikan bukan berarti merusak yang lain. Maka, perbaikan dimulai dari hal kecil, seperti perbaikan diri, dan pola pikir. Dengan kesadaran diri, sesungguhnya alam ini ciptaan Allah sekaligus hadiah bagi manusia, di mana manusia dapat mendapatkan keperluan-keperluan hidup dari alam. Allah SWT berfirman:
"Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakannya pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya." (QS. Al-Hijr [15] : 19-20).
Begitu sempurna Allah menciptakan segala sesuatunya. Begitu sayang Allah pada makhlukNya, sehingga Dia jadikan bumi- tempat tinggal manusia- sebagai lahan pemenuh keperluan hidup. Tidak jauh, ada pada hamparan tanah, laut, pepohonan dan gunung. Semua ada di hamparan bumi, di sekitar kita, yaitu lingkungan. Maka, melestarikan lingkungan meruapakan bentuk ungkapan rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah pada makhlukNya.

Peduli Presiden

Aku Ridho. Nama lengkapku Ridho Rama, bukan Ridho Rhoma. Wajahku lebih keren dari Ridho Rhoma, nasibku juga tidak jauh berbeda dengan Ridho Rhoma. Dia pengamen panggung, sedangkan aku pengamen jalanan. Dia anak dari Bang Haji, sedangkan aku anak dari tukang judi.
Impian terbesarku adalah kaya, sedangkan impianku saat ini adalah pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden. Aku ingin menyanyikan sebuah lagu, asli buatanku, hanya ku persembahkan untuk Presiden. Teman-temanku bilang, aku gila. Mereka bilang, impianku tidak begitu penting dan tidak layak dijadikan sebuah impian, mereka lebih menyebut impianku dengan khayalan kosong. Tapi aku tidak peduli dengan ocehan mereka, mereka bicara seperti itu karena mereka tidak tahu tentang lagu apa yang ingin aku persembahkan untuk Presiden, yang mereka tahu hanyalah aku selalu menyanyikan lagu-lagu yang tidak jelas maknanya.
“ Mendengar lagu dari pengamen jalanan saja, Presiden tidak akan mau, apalagi harus bertemu dengan pengamen jalanan yang asli? Presiden hanya akan menemui orang-orang berpangkat tinggi, bukan seorang pengamen jalanan.”
Adakah yang salah dengan pengamen jalanan? Presiden manusia biasa, pengamen jalanan juga manusia biasa. Aku rasa, Presiden bukan manusia seperti yang mereka duga, Presidenku tidak pernah membeda-bedakan antara kaya miskin, cantik buruk rupa maupun berpangkat atau tidak.
Jika memang Presiden hanya akan menemui orang-orang berpangkat tinggi, maka sebenarnya aku juga pejabat tinggi, aku menjabat sebagai calon pimpinan pengamen jalanan di Sleman, Yogyakarta. Aku menjabat sebagai anak yang berbakti pada orang tua, aku pahlawan bagi korban pencopetan, aku juga cinta tanah air. Jika ada yang bilang,”cinta tanah air kok bikin rusuh jalanan kota di tanah air Indonesia?”. Aku tak peduli. Biarkan cinta sendiri yang menerangkan makna cintaku pada tanah air Indonesia.
“Tiap hari ngamen terus, kapan kamu mau pergi sekolah?”
Ibu selalu memberi pertanyaan itu. Seolah-olah ada dana untuk menyekolahkanku. Bertanya “kapan mau pergi sekolah?” Sekolah yang mana pula yang harus aku datangi? Seharusnya ibu tak memberi pertanyaan semacam itu, semestinya ibu bersyukur bahwa aku tidak mau sekolah hanya karena ingin mengamen, cari uang. Mungkin jika aku mau untuk bersekolah, pasti ibu akan pusing mecarikan dana unuk sekolahku. Uang hasil penjualan kue saja, untuk Ayah berjudi. Mau pakai uang darimana lagi untuk menyekolahkanku?
Presiden ..
Kau butuh koin?
Aku butuh engkau
Kau butuh naik gaji?
Aku butuh engkau
Kau butuh apa?
Bilang padaku, wahai Pemimpin
Aku disini menopang kerinduan tuk jumpa denganmu
Menyampaikan satu
Satu hal ..tentang kepemimpinan
Semangat .. Semangat ..
Berjuang!!
Hiraukan mereka yang mencacimu
Masih ada aku
Pengamen jalanan
Yang menyambutmu sebagai pemimpin Negara
Kau hebat
Sehebat ibuku mengadungku
Mengandung pemuda
Pemuda Indonesia
Memekik
Semangat, wahai Presidenku!!!!
Pantaskah lagu itu kunyanyikan untuk pemimpin negaraku? Konyol kah? Lucu kah? Tidak bermutu? Aku tidak peduli, besok pagi aku akan berangkat ke Jakarta bertemu dengan Presiden. Mungkin, sekarang masih ada kesempatan bagi teman-temanku untuk mencaciku sebelum aku berangkat ke Jakarta, tapi kita lihat saja nanti, media massa akan dihebohkan dengan berita utama “Presiden jumpa fans dengan pengamen jalanan.” Atau, “Kado dari Pengamen jalanan untuk Presiden.” Aku yakin judul berita tersebut mampu mengalahkan berita terheboh perihal “Koin Peduli untuk Presiden.”

Ridho PJ

“Huh!! Pengungsi macam apa mereka itu? Menyuruhku seenaknya. Memangnya aku ini pembantu mereka?” Ika, aktivis kampus di Yogyakarta, seorang relawan, mulai mengeluh dengan keadaannya sebagai relawan.
“ Jadi relawan kok nggak rela sih, Mbak?” tutur lelaki berpenampilan gembel yang menggendong gitar sambil menghitung uang recehan.
Ika kaget bukan kepalang, ia tersentak hingga jatuh ke tanah saat melihat penampilan pemuda disampingnya.
Pemuda itupun menolong Ika. Ia ulurkan tanganya, namun Ika menolak dan berdiri sendiri tanpa mempedulikan pertolongan dari lelaki di depannya.
“Maaf ya, sudah mengejutkan Mbak,” pemuda tadi menghitung uang recehnya kembali.
Ika hanya diam memperhatikan lelaki gembel di depannya.
“Kenapa, Mbak?” lagi-lagi pemuda tersebut mengejutkan Ika.
“Emm .. nyanyikan satu lagu untukku,” pinta Ika basa-basi.
Pemuda tadi mengernyitkan dahinya. Tidak panjang pikir, ia menaruh uang recehnya di saku celana, meraih gitarnya dan mengalunkan lagu karyanya.

Acap kali rintih memaki
Setiap detik duka berpacu
Semakin terang cerita tuan
Dari mereka yang resah bertanya
Adilkah keputusanMu?
Bingar tangis karna azabMu
Setiap detik tuding Ilahi
Jangan salahkan kecewa kami
Bosan dalam Irama takdirmu
Walau ku tak terganggu
Bukankah Kau Maha Tahu
Pengasih penyayang
Namun mengapa selalu saja itu hanya cerita?
heeiii .. Tuhan, tolong buktikan
Amuk lahar yang datang hanguskan bumi
Tinggalkan arang penghuni desa pergi
Cemburu batu hancurkan saudaraku
Ulurkan tangan bantulah sesamamu*

 “ Lagumu bagus,” Ika tersentuh dengan alunan lagu dari pemuda tersebut.
“ Iya, makasih. Tapi aku tidak butuh pujian, aku butuh uang,” pengamen tadi menegaskan.
“ Oh, iya,” Ika mencoba mencari uang dalam sakunya, namun tidak satupun ia menemukan uang dalam sakunya. Ia mulai teringat bahwa dompetnya ada di dalam tas.
Terlalu lama menunggu Ika yang sedang mencari-cari uang dalam sakunya. Pengamen itu pun pergi meninggalkan Ika sendiri di pos kampling pojok desa dekat dengan tempat pengungsian korban merapi.
“ Hei tunggu, uangku ada di tas, aku ambil dulu,” teriak Ika.
“ Gratis,” sahut pengamen tadi.
Melihat kepergian pemuda tersebut, Ika mulai bertanya-tanya, “ Siapa dia?”
Di sudut pos kampling bekas yang diduduki pemuda tadi, Ika melihat ada selebaran kertas koran. Ia meraih potongan koran tersebut.
            “Sukses dari ngamen di jalanan”
Esoknya, di  tempat pengungsian. Ketua koordinator relawan meminta Ika untuk mendata pemasukan bantuan. Dalam perjalanan Ika ke tempat pendataan bantuan, Ika melihat sosok pemuda yang tidak asing lagi baginya. Pemuda itu adalah lelaki yang Ika temui kemarin di pos kampling, namun dengan penampilan yang berbeda dari kemarin. Ia tampak lebih rapi dari sebelumnya.
Ika mendekati pemuda tersebut, “ Kamu?” Ika mencoba meyakinan dugaannya.
“ Eh, Mbak relawan?” pemuda tersebut memberi sambutan ramah dan menujukkan bahwa pemuda tersebut benar-benar pemuda yang dijumpai Ika kemarin.
Ika mengambil uang di saku celananya dan selembar kertas potongan koran, kemudian ia menyodorkannya pada pemuda tersebut. Pemuda tersebut terkejut dengan sodoran dari Ika. Ia menerima, kemudian beranjak pergi.
“ Hei, Kamu siapa?” Ika menyela bertanya sebelum pemuda tadi pergi.
“ Ridho, pengamen jalanan,” sahut pemuda tersebut sambil beranjak pergi.
Ika mengernyitkan dahi kemudian beranjak pergi untuk melihat data pemasukan bantuan untuk pengungsi.
No
Hari/Tanggal
Nama
Alamat
Pemasukan
45
Sabtu/ 6 November 2010
Ridho PJ
Cangkringan
2.009.850

“Dia .. PJ .. Pengamen Jalanan??”

*dari pengamen jalanan di Sunday Morning bundaran UGM, Yogyakarta

Depan TV, 31 Januari 2011, 09:26