Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Sabtu, 20 September 2014

Banyak Orang Butuh Uang tapi Mereka Punya Cara Masing-masing untuk Mendapatkannya

Selamat ulang tahun untuk ibuku tercinta.

Kado yang sudah kusiapkan ingin sekali kuhantar ke rumah, tapi sayangnya di hari ulang tahunnya ibuku memilih untuk pergi ke rumah Mbah Mamak-ibu dari ibuku/nenekku. Baiklah, aku putuskan untuk ikut ke rumah mbah Mamak.

Di Terminal...

Tak seperti biasanya, kali ini aku yang menunggu ibuku di terminal. Biasanya, ibu menungguku berjam-jam di terminal. Ini pertanda bahwa aku sudah ada perubahan. Haha..

Aku duduk di kursi dekat WC umum sambil menikmati suasana terminal di pagi hari. Sedikit jenuh aku pun memainkan handphoneku sambil SMS ibuku untuk menanyakan sudah sampai mana dirinya.

Ya, ibuku berangkat dari Kediri, tiba di Yogyakarta tengah malam. Ibu tidur di rumah Pakde Said-kakak laki-laki dari ibuku/pakdeku. Paginya kami janjian untuk bertemu di terminal Giwangan.

Kembali ke suasana terminal...

Ada pak tua keluar dari WC umum tanpa baju. Ingat! Tanpa baju ya? Dia telanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Sambil menenteng tasnya, dia berjalan lirih di sampingku sambil berucap, “Nuwun sewu,” sambil menengadahkan tangannya. Aku bingung. “Nuwun sewu” itu tanda permisi atau dia minta uang?

Kebingunganku ini ditangkap oleh lelaki penunggu kotak WC umum. Lelaki itu berucap, “Kalau takut duduk sini aja, Mbak.” Lelaki itu menawarkan sisa kursinya untukku. Aku berpikir, “Hanya karena ada pak tua seperti ini, masa iya patut untuk ditakuti? Apanya yang ditakuti coba?” Aku pun menolak tawaran, “Mboten.”

Pak tua itu duduk di sampingku. Dia mengenakan bajunya. Aku masih bergulat dengan pikiranku,

“Tadi dia bilang “nuwun sewu” itu minta uang atau tanda permisi ya?” Akhirnya, aku putuskan untuk menyimpulkan itu tanda permisi.

Sejenak kemudian, pak tua itu mengeluarkan jam tangan. Jam tangan lelaki warna hitam dengan gelang warna abu. “Beli jam saya ini, Mbak,” ungkapnya. Pak tua itu menawarkan jam tangan miliknya. Dia beli dengan harga seratus ribu dan mencoba menawarkan padaku dengan harga yang sama. Aku tersenyum. Pak tua itu merayuku, katanya perempuan berkerudung oren sepertiku pantas untuk mengenakan jam itu. Aku masih tersenyum.

Pak tua itu bercerita tentang keluarganya di Cilacap. Aku tak begitu mendengar ceritanya. Hanya sepotong-potong yang benar-benar terdengar, yaitu dia punya dua cucu. Kemudian, dia menjual jam tangan itu untuk beli tiket kembali ke Cilacap. Aku tak begitu mendengarnya karena aku bergelayut dalam pikiranku: aku sudah terlalu sering bertemu dengan orang semacam ini. Mau diapakan orang-orang seperti ini?

Memang tidak dipungkiri, barangkali orang sepertinya melakukan itu karena butuh. Kadang, caranya saja yang memuakkan. Aku mulai berpikir untuk membelinya separuh harga. Belum juga kutawar, dia sudah menawar dengan separuh harga. Wah, cocok!

Tiba-tiba aku berpikir buruk bahwa jam tangan ini bukan miliknya. “Jangan-jangan ini jam curian?” Aih, rasanya jahat sekali ya berpikir demikian.

“Ini jam siapa, Pak?” tanyaku.

“Jam saya!” dia menjawab dengan nada tinggi.

“Bapak dari Cilacap? Terus di Yogyakarta ngapain?” tanyaku.

“Minta-minta. Saya ke Yogyakarta untuk minta-minta. Ya, daripada saya minta-minta dapetnya seribu, lima ratus, mending saya jualan jam saya ini saja biar cepet, biar bisa buat beli tiket. Lima puluh ribu saja, nanti saya mau nawar ke penjual tiket,” jawabnya panjang dan aku merasa jawabannya enggak nyambung.

“Sejak kapan di Yogya?” tanyaku.

“Baru kemarin nyampe. Udah setengah harian,” jawabnya.

“Lha, Bapak tidur di mana?” tanyaku.

Mulanya dia tak menjawab, hanya mengangkat tangannya.

Aku mngernyitkan dahi.

Barulah dia menjawab, “Di sini (menunjuk bangunan timurku). Saya tidur di atas. Daripada tidur di bawah? Di atas agak panas, tapi enggak banyak nyamuk.”

Bayanganku, dia tidur di loteng. Aku pun menengok bangunan yang ditunjuknya. Aku mengenal itu bangunan apa. Kuamati. Tak ada loteng di sana. Aku pun tersenyum.

Masih berpikir mau beli jam itu atau tidak karena aku ragu. Tiba-tiba saja aku terbayang-bayang dengan wajah bapak tua penjual stiker, penjual kerajinan tangan, penjual, ah!

Entah malaikat atau setan di pundakku berbisik, “Daripada beli dagangan orang seperti ini, mending beli dagangan bapak tua yang lain yang niat berjualan cari rezeki. Nanti pak tua ini jadi kecanduan, TUMAN!”

Argh! Aku mulai bingung. Di sisi lain aku tahu, pak tua ini sedang berbohong atas kondisinya. Di sisi lain aku merasa pak tua ini melakukan ini karena butuh.

Berbisik lagi, “Banyak orang butuh uang tapi mereka punya cara masing-masing untuk mendapatkannya. Orang seperti ini tak pantas mendapatkan penghargaan atas usahanya.”
Tapi dia butuh! Berontak akalku.

Masih berbisik, “Apa buktinya kalau dia butuh? Bisa saja dia ini orang berduit. Dan dia cari duit dengan cara seperti itu.”

Aku ra kuaaaatttt!!!!

“Allah beri aku petunjuk.”

Sejenak kemudian aku melihat ibuku dari dalam terminal melambaikan tangannya. Aku pun mengikuti kata hati, kemudian memutuskan untuk segera pergi.

“Saya sudah ditunggu ibu saya di dalam, saya masuk dulu nggih, Pak. Maaf, saya belum bisa beli jam Njenengan. Semoga rezeki Njenengan lancar,” ucapku sambil mengangkat tas dan mengembalikan jam tangannya.

“Aamiin. Terima kasih,” jawabnya.

Aku berlari kecil meninggalkan Pak Tua itu. Sambil berjalan, aku melihat bangunan yang sudah ditunjuk Pak Tua tadi.

“Hotel TGY (Terminal Giwangan Yogyakarta)”-aku lupa namanya, yang jelas ada tulisan “Hotel”.

Aku berjalan sambil mengamati Pak Tua tadi. Miris. Aku hanya bisa mendoakannya.

Aku yakin, di antara kalian yang baca tulisan ini, pasti pernah bertemu dengan aneka rupa orang seperti pak tua itu kemudian hati dan pikiran kalian bergelut. Oh, NO!
Miris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar