Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Minggu, 18 September 2011

ESAI UTS Sejarah Sastra


Nama   : Ade Rakhma Novita Sari
NIM     : 10201244080
Kelas   : N
a.       Sikap Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya
Polemik kebuyaan adalah bantahan terhadap pembangunan kebudayaan Indonesia dalam beberapa majalah dan harian Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita pada tahun 1935, 1936, dan 1939. Pada tahun 1948, Achdiyat K.Mihardja berhasil mengumpulkan dan menerbitkan artikel-aritkel tersebut dalam sebuah buku yang berjudul “Polemik Kebudayaan”. Buku itu memberikan kesan yang keliru, seolah perdebatan itu berlangsung secara terus-menerus selama empat tahun.
Achdiyat telah menjelaskan bahwa polemik yang pertama antara St.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Dr.Poerbatjaraka di dalam Pujangga Baru dan Suara Umum terjadi pada bulan Agustus sampai September 1938.
Polemik kedua antara St. TAkdir Alisjahbana, Dr.Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr.M.Amir dan Ki Hadjar Dewantara di dalam Pujangga Baru, Pewarta Deli, dan Wasita pada bulan Oktober 1935 sampai April 1936.
Tiga tahun kemudian baru terjadi polemik kebudayaan antara St.Takdir Alisjahbana, dan Dr.M.Amir di dalam Pujangga Baru dan Pawarta Deli pada bulan Juli 1939.
Polemik Kebudayaaan identik dengan St.Takdir Alisjahbana karena ide-ide kebudayaan yang dilontarkannya membumi pengaruhnya pada kehidupan kebudayaan dan kehidupan umum pada generasi di zaman revolusi dan dekade pertama zaman kemerdekaan. Gagasan serta retorik penyampaian Takdir di dalam Polemik Kebudayaan secara khusus dapat kita dengar gemanya pada generasi sastrawan Angkatan 45. Kenyataan ini bisa dilihat dari kesamaan asas-asas kebudayaan Angkatan 45 di dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang diumumumkan pada tahun 1950.
Jika Takdir pada tahun 1935 menyatakan bahwa “pekerjaan Indonesia muda bukanlah restaureeren Borobudur dan Prambanan”, maka di Surat Kepercayaan Gelanggang dikatakan ”kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada me-lap-lap kebudayaan lama lagi”. Hanya perbedaan penyampaian saja yang menyamarkan persamaan pendirian Angkan 45  dan Takdir.
Lebih jauh lagi, pengaruh Takdir telah menyentuh pengarang-pengarangnya secara pribadi, sehingga di dalam esai, artikel atau sajak-sajaknya tampak cintanya dan kelekatan jiwanya kepada dunia budaya Eropa daripada tanah airnya, Indonesia. Anjuran-anjuran Takdir supaya dalam membangun kebudayaan Indonesia harus belajar dari Barat supaya masyarakat menjadi dinamis seperti di Barat. Seperti dalam “Gelanggang” berkali-kali kita jumpai artikel yang membandingkan kehidupan umum dan budaya di tengah masyarakat Indonesia dengan keadaan di Barat.
Pikiran Takdir sebenarnya akrab dengan Sutan Syahrir, sikap budaya Syahrir itu diantaranya kita temukan di dalam catatan hariannya selama di penjara dan diasingkan oleh pemeritah kolonial Belanda di Boven Digoel dan Banda Neira, yang kemudian terbit sebagai Indonesische Overpeinzingen pada tahun 1945 dengan nama pena samara, yaitu Syahrazad.
Dilihat dari prespektif sejarah, maka dapat dipahami bahwa persamaan haluan dan suasana fikiran antara kedua tokoh St.Takdir A. dan Sutan Syahrir itu berpangkal dari sikap hidup dan pandangan budaya yang sama, yang akan menjadi ralling point bagi para pelajar, cerdik pandai, budayawan, seniman, dan politisi yang akan menciptakan suatu iklim serta pergaulan budaya yang menjiwai kegiatan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang pada suatu saat dipimpin oleh Syahrir. Selain itu, hampir semua seniman, sastrawan, budayawan yang tergolong dalam angkatan 45 dan sejiwa dengan angkatan itu, menurut iklim budayanya maupun simpati batinnya sangat dekat hubungannya dengan PSI.
Namun, pada tahun 1939 mulai terjadi perubahan sikap budaya pada St.Takdir A. Dia tidak lagi menggebu-gebu dalam menyampaikan argumentasinya. Sudah hilang kecenderungannya untuk mengemukakan pendapat dan penilaian. Sebaliknya, Takdir cenderung melihat segala sesuatu dalam totalitas, dengan semua unsur berkaitan dan menyatu. Bahkan Takdir secara implisit mengakui keterbatasan rasionalisme dan positifisme yang dicita-citakan dengan menerima unsur-unsur yang irrasional. Perubahan yang paling mencolok terdapat pada karangan-karangannya yang kemudian terhimpun dalam Indonesia Social ang Cultural Revolution, di mana Takdir mengungkapkan penilaiannya yang tinggi terhadap seni tradisioal Indonesia. Persoalan akhirnya adalah bagaimana mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru.
Komentar:
Sikap Takdir yang tampak selalu mengembar-gemborkan gagasannya yang bertolak belakang dengan beberapa sastrawan lainnya hingga timbul beberapa tahap polemik sampai ketiga kalinya. Di mana Takdir lebih mengistimewakan budaya Barat daripada budaya tanah airnya, yaitu Indonesia. Dari situ telah mendapatkan sebuah gambaran bahwa Takdir seolah-olah seperti penghianat yang tidak menghargai kebudayaan tanah bangsanya. Meskipun tujuan Takdir adalah demi kemajuan Indonesia, namun hal tersebut dirasa tetap menjadikannya kontra dengan gagasannya karena dengan mengikuti budaya barat, Indonesia akan kehilangan kebudayaan aslinya. Namun, di akhir cerita, Takdir menyarankan untuk mengintergrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru. Hal tersebut lebih bisa di tolerir bahwa gagasannya bisa diterima, karena pada dasarnya masih pada kebudayaan Indonesia itu sendiri.
b.      Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual
Sastra kontekstual muncul karena adanya perbedaan prespektif keindahan menurut setiap orang. Indah adalah memberi kesan nilai yang indrawi. Sastra yang baik adalah sastra yang berarti bagi penikmatnya. Sedang nilai apa yang berarti bagi manusia tidaklah sama di mana pun dan kapan pun, maka tidak akan ada nilai yang benar-benar universal, yang ada adalah nilai yang kontekstual.
Pada dunia kesusastraan saat ini ada kepercayaan bahwa mereka sedang menciptakan karya-karya sastra yang memiliki nilai universal. Kalau mereka tidak berhasil memenuhi nila-nilai keuniversalan, maka ada dua kemungkinan. Pertama, orang-orang yang tidak dapat menikmati karya-karya mereka dianggap sebagai orang bodoh. Kedua, karya-karya mereka belum bermutu, karenanya hanya baru dihargai di kalangan mereka sendiri. Padahal masyarakat terdiri dari berbagai kalangan. Maka perlu sekali apa yang disebut sastra kontekstual itu dikembangkan.
Dalam sastra jenis ini, para sastawan sadar benar bahwa dia menciptakan untuk konsumen tertentu, bukan untuk seluruh umat manusia. Dalam konsep sastra kontekstual ini, bukan saja dapat menyembuhkan penyakit rendah diri yang berkombinasi dengan sikap rendah hati, tetapi juga dapat lebih kreatif karena kita dapat lebih mengetahui kekuatan-kekuatan dan keterbatasan-keterbatasan kita.
Dengan sikap seperti ini, sastra akan lebih berkembang dan kreatif karena kaki kita kembali berpijak di bumi yang nyata, tidak melayang-layang di awan.
Komentar:
Terkadang sesuatu hal yang baru memang sulit untuk diterima secara langsung, dan segalanya butuh proses. Adapun sebuah keinginan meng-universalkan sebuah karya adalah keinginan yang tidak dianggap lelucon, hal tersebut wajar karena pada dasarnya seorang penulis ingin sekali karyanya diterima oleh seluruh masyarakat. Tapi kembali pada konsep sudut pandang dan pola pikir manusia yang berbeda-beda menjadikan seorang penulis akan menyadari bahwa kerelatifan dalam berpendapat itulah yang menjadikan sastra konstekstual menjadi jalan keluar bagi kelemahan sebuah karya yang tidak universal.
c.       Lembaga Kebudayaan Rakyat
            17 Agustus 1950, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan untuk kesejahteraan rakyat.
            Revolusi Agustus 1945 adalah pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan, peperangan, penindasan feodal. Keyakinan tercipta kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi hingga kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Hal tersebut menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air.
            Lekra bekerja khusus di bidang kebudayaan, terutama di bidang kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga-tenaga dari kalangan seniman, sarjana, dan pekerja budaya lainnya.
            Lekra tidak hanya menyambut sesuatu yang baru melainkan juga memberikan bantuan pada setiap yang baru maju pula. Lekra membantu perombakan sisa-sisa kebudayaan. Lekra menerima dengan kritis dan mempelajari dengan seksama terhadap peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, seperti halnya terhadap hasil-hasil ciptaan klasik maupun baru dari bangsa lain. Lekra juga meneruskan secara kreatif tradisi yang agung, menuju kepenciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah.
            Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun dalam hati, memahami gerak dan kenyataan suatu perkembangan untuk hari depan. Lekra bekerja untuk membantu pembentukan manusia baru yang memiliki kemampuan.
            Kegiatan Lekra menggunakan cara saling bantu, kritik, dan diskusi. Lekra berpendapat bahwa secara tegas berpihak kepada rakyat dan mengabdi kepada rakyat.
            Lekra bekerjasama dalam pengabdian ini dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari berbagai aliran dan keyakinan manapun.
            Komentar:
            Keberadaaan Lekra sangat membantu keberadaan kebudayaan masyarakat Indonesia. Adanya tujuan yang jelas atas pembentukan Lekra, sampai pada langkah-langkah yang jelas untuk meraih tujuan yang telah di rencanakan. Karena dirasa terlalu bertele-tele harus begini dan begitu karena saking rincinya Lekra menyusun sebuah program kerja, kemungkinan besar kreatifitas akan dirasa terkekang dan kurang bebas. Ya, sekalipun salah satu tujuan dari Lekra adalah meningkatkan perkembangan kebudayaan Indonesia secara kreatif, tapi tetap saja dirasa mengekang sikap kreatif itu sendiri.
d.      Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan
            Manifes kebudayaan dimulai sejak karyawan-karyawan kebudayaan nasional melaksanakan pendirian dan cita-cita kebudayaan nasionalnya.
            Meninjau perkembangan lahirnya manifes kebudayaan, terdapat dua hal yang melatar belakangi, yaitu latar belakang perkembangan kehidupan politik dan perkembangan kehidupan kebudayaan di dalam sektor-sektornya.
            Adapun latar belakang yang pertama adalah adanya kebudayaan nasional kita yang telah terhindar dari campurtangan Belanda, suatu bahaya lain yakni bahaya perpecahan nasional. Perpecahan itu berasal dari maraknya suasana liberalisme. Di mana partai-partai politik mengembangkan kekuasaan yang sebesar-besarnya. Hal tersebut mengakibatkan adanya persaingan bebas berlangsung sengit, hingga dominasi politik beserta akibat perpecahan menyusup pula ke sektor-sektor lain dari kebudayaan kita.
            Dekrit 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno merupakan isyarat untuk dihentikannya suasana liberalisme, dan di sinilah seluruh potensi nasional digerakkan hingga tidak lagi mengutamakan suatu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lainnya.
            Adapun latar belakang yang kedua adalah karena kurangnya wawasan yang baik tentang revolusi nasional kita, banyak karyawan-karyawan kebudayaan yang berpegang pada konsepsi dan jalan pikiran yang salah, hal tersebut terbukti dengan jatuhnya karyawan kebudayaan ke dalam subordinasi kaum politisi, hingga masuk ke dalam alam pikiran liberal.
            Untunglah alat komunikasi massa banyak membantu hubungan antara karyawan-karyawan kebudayaan, juga membantu hubungan mereka dengan masyarakat luas. Majalah pengetahuan umum, kesusasteraan, ilmu kedokteran serta ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya semakin aktif. Sekalipun masih ada majalah yang tidak terbit, pengarang yang berhenti menulis, timbulnya penerbit yang mengejar laba, hingga seniman yang jatuh ke tangan pemegang modal dan kedudukan. Namun, semuanya sama sekali tidak mengubah jalannya kebudayaan nasional.
            Kemudian untuk menuju ke arah suatu konsepsi, liberalisme diberhentikan oleh UUD’45. Dengan demikian, kreatifitas kaum karyawan kebudayaan nasional mendapat kesempatan untuk tumbuh pesat, dan tidak lagi dihalangi oleh dominasi salah satu partai politik. Kaum karyawan dalam perkembangan sejarah pemikiran di Indonesia, semakin lama semakin dekat pada suatu perumusan fikiran yang digali dari kegiatan kebudayaan mereka selama ini, perumusan itu adalah pancasila, yang dapat diterima karyawan kebudayaan nasional sebgai filsafat kebudayaan.
            Meskipun, ternyata konfrontasi rumusan filsafat tidak bisa menyesuaikan diri dengan konsepsi kebudayaan yang sudah ada, namun sejarah telah menghendakinya. Konsepsi-konsepsi kebudayaan di Indonesia tidak bisa lagi secara kreatif terhadap perkembangan menyesuaikan diri dan faktor-faktor objektif yang ada. Hal tersebut dikarenakan masih adanya sikap liberalisme dalam menghadapi revolusi nasonal hingga mengakibatkan timbulnya sektarisme. Juga dikarenakan masih adanya kecenderungan menolak institusi sebagai alat perjuangan kemanusiaan, hingga mengakibatkan timbulnya pelarian-pelarian ke luar negeri dan sifat-sifat anarko-individualistis.
            Kemudian pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan antara penulis dan seniman, yang kemudian berbuah sebagai suatu manifestasi kebudayan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional dari kaum karyawan kebudayaan Indonesia, yang dilahirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1963 dan bernama Maifes Kebudayaan. Hal tersebut dimaksudkan sebagai landasan idiil suatu organisasi sebagai alat perjuangan yang revolusioner, menunjukkan persatuan yang jelas antara karyawan kebudayaan dalam mengamankan kebudayaan nasional saat ini dan juga kemudian hari.
            Komentar:
            Adanya sikap tanggap dalam menghadapi beberapa permasalahan merupakan wujud perkembangan kebudayaan yang baik. Di mana kekurangan yang ada berusaha untuk di atasi. Pemberantasan Liberalisme oleh UUD’ 45 hingga terbentuknya Manifes Kebudayaan hasil rumusan yang dibuat dari pertemuan antar penulis dan senima akan bermanfaat untuk selanjutnya.
e.       Buku-Buku yang Dilarang
            Pada tanggal 30 November 1965, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan telah mengeluarkan intruksi yang berisi tentang pelarangan penggunaan buku-buku pelajaran yang dikarang oleh pengarang –pengarang yang ikut menandatangani “Manifes Kebudayaan” pada tahun 1963. Ini merupakan tindak lanjut dari usaha penumpasan gerakan “30 September” khususnya di bidang ideologi. Dalam instruksi tersebut dilampirkan daftar sementara buku-buku yang dilarang sejumlah 70 buah, khususnya buku-buku bahasa dan kesusastraan (kecuali tentang nyanyian).
            Selain itu, juga dilampirkan daftar sementara penulis-penulis Lekra PKI sejumlah 87 nama, diantaranya Jubaar Ajub, Bakri Siregar, Pramudya Ananta Toer, Utuy T.Sontani, dan sebagainya.
Buku  yang paling banyak dilarang adalah buku karangan Pramodya sejumlah 16 buah dan Utuy Sontani 11 buah. Selain itu banyak juga sastawan lain yang dilarang karya-karyanya untuk beredar, baik dalam bentuk buku maupun artikel.
                        Komentar:
                        Larangan yang telah dicanangkan seperti adanya tersebut di rasa terlalu memojokkan penulis yang bukan anggota PKI. Meskipun, hal tersebut dilakukan dalam rangka antisipasi. Namun, pendirian Lekra adalah untuk Indonesia. Begitu juga dengan Manifes Kebudayaan, di mana lembaga atau gerakan tersebut terbentuk hanya untuk perkembangan kebudayaan Indonesia. Tapi apabila dirasa adanya campurtangan dari PKI, maka hal tersebut ibarat “Ada udang dibalik batu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar