Nama : Ade Rakhma Novita Sari
NIM : 10201244080
Kelas : N
a.
Sikap Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya
Polemik kebuyaan adalah bantahan terhadap pembangunan kebudayaan
Indonesia dalam beberapa majalah dan harian Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta
Deli dan Wasita pada tahun 1935, 1936, dan 1939. Pada tahun 1948, Achdiyat
K.Mihardja berhasil mengumpulkan dan menerbitkan artikel-aritkel tersebut dalam
sebuah buku yang berjudul “Polemik Kebudayaan”. Buku itu memberikan kesan yang
keliru, seolah perdebatan itu berlangsung secara terus-menerus selama empat
tahun.
Achdiyat telah menjelaskan bahwa polemik yang pertama antara
St.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Dr.Poerbatjaraka di dalam Pujangga Baru
dan Suara Umum terjadi pada bulan Agustus sampai September 1938.
Polemik kedua antara St. TAkdir Alisjahbana, Dr.Sutomo,
Tjindarbumi, Adinegoro, Dr.M.Amir dan Ki Hadjar Dewantara di dalam Pujangga
Baru, Pewarta Deli, dan Wasita pada bulan Oktober 1935 sampai April 1936.
Tiga tahun kemudian baru terjadi polemik kebudayaan antara
St.Takdir Alisjahbana, dan Dr.M.Amir di dalam Pujangga Baru dan Pawarta Deli
pada bulan Juli 1939.
Polemik Kebudayaaan identik dengan St.Takdir Alisjahbana karena
ide-ide kebudayaan yang dilontarkannya membumi pengaruhnya pada kehidupan
kebudayaan dan kehidupan umum pada generasi di zaman revolusi dan dekade
pertama zaman kemerdekaan. Gagasan serta retorik penyampaian Takdir di dalam
Polemik Kebudayaan secara khusus dapat kita dengar gemanya pada generasi
sastrawan Angkatan 45. Kenyataan ini bisa dilihat dari kesamaan asas-asas
kebudayaan Angkatan 45 di dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang diumumumkan
pada tahun 1950.
Jika Takdir pada tahun 1935 menyatakan bahwa “pekerjaan Indonesia
muda bukanlah restaureeren Borobudur
dan Prambanan”, maka di Surat Kepercayaan Gelanggang dikatakan ”kalau kami
berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada me-lap-lap
kebudayaan lama lagi”. Hanya perbedaan penyampaian saja yang menyamarkan
persamaan pendirian Angkan 45 dan
Takdir.
Lebih jauh lagi, pengaruh Takdir telah menyentuh
pengarang-pengarangnya secara pribadi, sehingga di dalam esai, artikel atau
sajak-sajaknya tampak cintanya dan kelekatan jiwanya kepada dunia budaya Eropa
daripada tanah airnya, Indonesia. Anjuran-anjuran Takdir supaya dalam membangun
kebudayaan Indonesia harus belajar dari Barat supaya masyarakat menjadi dinamis
seperti di Barat. Seperti dalam “Gelanggang” berkali-kali kita jumpai artikel
yang membandingkan kehidupan umum dan budaya di tengah masyarakat Indonesia
dengan keadaan di Barat.
Pikiran Takdir sebenarnya akrab dengan Sutan Syahrir, sikap budaya
Syahrir itu diantaranya kita temukan di dalam catatan hariannya selama di
penjara dan diasingkan oleh pemeritah kolonial Belanda di Boven Digoel dan
Banda Neira, yang kemudian terbit sebagai Indonesische Overpeinzingen pada
tahun 1945 dengan nama pena samara, yaitu Syahrazad.
Dilihat dari prespektif sejarah, maka dapat dipahami bahwa
persamaan haluan dan suasana fikiran antara kedua tokoh St.Takdir A. dan Sutan
Syahrir itu berpangkal dari sikap hidup dan pandangan budaya yang sama, yang
akan menjadi ralling point bagi para
pelajar, cerdik pandai, budayawan, seniman, dan politisi yang akan menciptakan
suatu iklim serta pergaulan budaya yang menjiwai kegiatan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) yang pada suatu saat dipimpin oleh Syahrir. Selain itu, hampir
semua seniman, sastrawan, budayawan yang tergolong dalam angkatan 45 dan sejiwa
dengan angkatan itu, menurut iklim budayanya maupun simpati batinnya sangat
dekat hubungannya dengan PSI.
Namun, pada tahun 1939 mulai terjadi perubahan sikap budaya pada
St.Takdir A. Dia tidak lagi menggebu-gebu dalam menyampaikan argumentasinya.
Sudah hilang kecenderungannya untuk mengemukakan pendapat dan penilaian.
Sebaliknya, Takdir cenderung melihat segala sesuatu dalam totalitas, dengan
semua unsur berkaitan dan menyatu. Bahkan Takdir secara implisit mengakui
keterbatasan rasionalisme dan positifisme yang dicita-citakan dengan menerima
unsur-unsur yang irrasional. Perubahan yang paling mencolok terdapat pada
karangan-karangannya yang kemudian terhimpun dalam Indonesia Social ang
Cultural Revolution, di mana Takdir mengungkapkan penilaiannya yang tinggi
terhadap seni tradisioal Indonesia. Persoalan akhirnya adalah bagaimana
mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru.
Komentar:
Sikap Takdir yang tampak selalu mengembar-gemborkan gagasannya yang
bertolak belakang dengan beberapa sastrawan lainnya hingga timbul beberapa
tahap polemik sampai ketiga kalinya. Di mana Takdir lebih mengistimewakan
budaya Barat daripada budaya tanah airnya, yaitu Indonesia. Dari situ telah
mendapatkan sebuah gambaran bahwa Takdir seolah-olah seperti penghianat yang
tidak menghargai kebudayaan tanah bangsanya. Meskipun tujuan Takdir adalah demi
kemajuan Indonesia, namun hal tersebut dirasa tetap menjadikannya kontra dengan
gagasannya karena dengan mengikuti budaya barat, Indonesia akan kehilangan
kebudayaan aslinya. Namun, di akhir cerita, Takdir menyarankan untuk
mengintergrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru. Hal
tersebut lebih bisa di tolerir bahwa gagasannya bisa diterima, karena pada
dasarnya masih pada kebudayaan Indonesia itu sendiri.
b.
Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual
Sastra kontekstual muncul karena adanya perbedaan prespektif
keindahan menurut setiap orang. Indah adalah memberi kesan nilai yang indrawi.
Sastra yang baik adalah sastra yang berarti bagi penikmatnya. Sedang nilai apa
yang berarti bagi manusia tidaklah sama di mana pun dan kapan pun, maka tidak
akan ada nilai yang benar-benar universal, yang ada adalah nilai yang
kontekstual.
Pada dunia kesusastraan saat ini ada kepercayaan bahwa mereka
sedang menciptakan karya-karya sastra yang memiliki nilai universal. Kalau
mereka tidak berhasil memenuhi nila-nilai keuniversalan, maka ada dua
kemungkinan. Pertama, orang-orang yang tidak dapat menikmati karya-karya mereka
dianggap sebagai orang bodoh. Kedua, karya-karya mereka belum bermutu,
karenanya hanya baru dihargai di kalangan mereka sendiri. Padahal masyarakat
terdiri dari berbagai kalangan. Maka perlu sekali apa yang disebut sastra
kontekstual itu dikembangkan.
Dalam sastra jenis ini, para sastawan sadar benar bahwa dia
menciptakan untuk konsumen tertentu, bukan untuk seluruh umat manusia. Dalam
konsep sastra kontekstual ini, bukan saja dapat menyembuhkan penyakit rendah
diri yang berkombinasi dengan sikap rendah hati, tetapi juga dapat lebih
kreatif karena kita dapat lebih mengetahui kekuatan-kekuatan dan
keterbatasan-keterbatasan kita.
Dengan sikap seperti ini, sastra akan lebih berkembang dan kreatif
karena kaki kita kembali berpijak di bumi yang nyata, tidak melayang-layang di
awan.
Komentar:
Terkadang sesuatu hal yang baru memang sulit untuk diterima secara
langsung, dan segalanya butuh proses. Adapun sebuah keinginan meng-universalkan
sebuah karya adalah keinginan yang tidak dianggap lelucon, hal tersebut wajar
karena pada dasarnya seorang penulis ingin sekali karyanya diterima oleh
seluruh masyarakat. Tapi kembali pada konsep sudut pandang dan pola pikir
manusia yang berbeda-beda menjadikan seorang penulis akan menyadari bahwa
kerelatifan dalam berpendapat itulah yang menjadikan sastra konstekstual
menjadi jalan keluar bagi kelemahan sebuah karya yang tidak universal.
c.
Lembaga Kebudayaan Rakyat
17 Agustus 1950, Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan di tengah-tengah proses perkembangan
kebudayaan untuk kesejahteraan rakyat.
Revolusi Agustus 1945 adalah
pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan, peperangan, penindasan
feodal. Keyakinan tercipta kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi hingga
kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Hal tersebut menyebabkan Lekra bekerja
membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air.
Lekra bekerja khusus di
bidang kebudayaan, terutama di bidang kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun
tenaga-tenaga dari kalangan seniman, sarjana, dan pekerja budaya lainnya.
Lekra tidak hanya
menyambut sesuatu yang baru melainkan juga memberikan bantuan pada setiap yang
baru maju pula. Lekra membantu perombakan sisa-sisa kebudayaan. Lekra menerima
dengan kritis dan mempelajari dengan seksama terhadap peninggalan-peninggalan
nenek moyang kita, seperti halnya terhadap hasil-hasil ciptaan klasik maupun
baru dari bangsa lain. Lekra juga meneruskan secara kreatif tradisi yang agung,
menuju kepenciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah.
Lekra menganjurkan untuk
mempelajari dan memahami pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun
dalam hati, memahami gerak dan kenyataan suatu perkembangan untuk hari depan.
Lekra bekerja untuk membantu pembentukan manusia baru yang memiliki kemampuan.
Kegiatan Lekra menggunakan
cara saling bantu, kritik, dan diskusi. Lekra berpendapat bahwa secara tegas
berpihak kepada rakyat dan mengabdi kepada rakyat.
Lekra bekerjasama dalam
pengabdian ini dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari berbagai
aliran dan keyakinan manapun.
Komentar:
Keberadaaan Lekra sangat
membantu keberadaan kebudayaan masyarakat Indonesia. Adanya tujuan yang jelas
atas pembentukan Lekra, sampai pada langkah-langkah yang jelas untuk meraih
tujuan yang telah di rencanakan. Karena dirasa terlalu bertele-tele harus begini
dan begitu karena saking rincinya Lekra menyusun sebuah program kerja,
kemungkinan besar kreatifitas akan dirasa terkekang dan kurang bebas. Ya,
sekalipun salah satu tujuan dari Lekra adalah meningkatkan perkembangan
kebudayaan Indonesia secara kreatif, tapi tetap saja dirasa mengekang sikap
kreatif itu sendiri.
d.
Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan
Manifes kebudayaan dimulai
sejak karyawan-karyawan kebudayaan nasional melaksanakan pendirian dan
cita-cita kebudayaan nasionalnya.
Meninjau perkembangan
lahirnya manifes kebudayaan, terdapat dua hal yang melatar belakangi, yaitu
latar belakang perkembangan kehidupan politik dan perkembangan kehidupan
kebudayaan di dalam sektor-sektornya.
Adapun latar belakang yang
pertama adalah adanya kebudayaan nasional kita yang telah terhindar dari
campurtangan Belanda, suatu bahaya lain yakni bahaya perpecahan nasional.
Perpecahan itu berasal dari maraknya suasana liberalisme. Di mana partai-partai
politik mengembangkan kekuasaan yang sebesar-besarnya. Hal tersebut
mengakibatkan adanya persaingan bebas berlangsung sengit, hingga dominasi
politik beserta akibat perpecahan menyusup pula ke sektor-sektor lain dari
kebudayaan kita.
Dekrit 5 Juli 1959 oleh
presiden Soekarno merupakan isyarat untuk dihentikannya suasana liberalisme,
dan di sinilah seluruh potensi nasional digerakkan hingga tidak lagi
mengutamakan suatu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lainnya.
Adapun latar belakang yang
kedua adalah karena kurangnya wawasan yang baik tentang revolusi nasional kita,
banyak karyawan-karyawan kebudayaan yang berpegang pada konsepsi dan jalan
pikiran yang salah, hal tersebut terbukti dengan jatuhnya karyawan kebudayaan
ke dalam subordinasi kaum politisi, hingga masuk ke dalam alam pikiran liberal.
Untunglah alat komunikasi
massa banyak membantu hubungan antara karyawan-karyawan kebudayaan, juga
membantu hubungan mereka dengan masyarakat luas. Majalah pengetahuan umum,
kesusasteraan, ilmu kedokteran serta ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya
semakin aktif. Sekalipun masih ada majalah yang tidak terbit, pengarang yang
berhenti menulis, timbulnya penerbit yang mengejar laba, hingga seniman yang
jatuh ke tangan pemegang modal dan kedudukan. Namun, semuanya sama sekali tidak
mengubah jalannya kebudayaan nasional.
Kemudian untuk menuju ke
arah suatu konsepsi, liberalisme diberhentikan oleh UUD’45. Dengan demikian,
kreatifitas kaum karyawan kebudayaan nasional mendapat kesempatan untuk tumbuh pesat,
dan tidak lagi dihalangi oleh dominasi salah satu partai politik. Kaum karyawan
dalam perkembangan sejarah pemikiran di Indonesia, semakin lama semakin dekat
pada suatu perumusan fikiran yang digali dari kegiatan kebudayaan mereka selama
ini, perumusan itu adalah pancasila, yang dapat diterima karyawan kebudayaan
nasional sebgai filsafat kebudayaan.
Meskipun, ternyata konfrontasi
rumusan filsafat tidak bisa menyesuaikan diri dengan konsepsi kebudayaan yang
sudah ada, namun sejarah telah menghendakinya. Konsepsi-konsepsi kebudayaan di
Indonesia tidak bisa lagi secara kreatif terhadap perkembangan menyesuaikan
diri dan faktor-faktor objektif yang ada. Hal tersebut dikarenakan masih adanya
sikap liberalisme dalam menghadapi revolusi nasonal hingga mengakibatkan
timbulnya sektarisme. Juga dikarenakan masih adanya kecenderungan menolak
institusi sebagai alat perjuangan kemanusiaan, hingga mengakibatkan timbulnya
pelarian-pelarian ke luar negeri dan sifat-sifat anarko-individualistis.
Kemudian pada awal Agustus
1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan antara penulis dan seniman,
yang kemudian berbuah sebagai suatu manifestasi kebudayan yang menyatakan
pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional dari kaum karyawan kebudayaan
Indonesia, yang dilahirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1963 dan bernama Maifes
Kebudayaan. Hal tersebut dimaksudkan sebagai landasan idiil suatu organisasi
sebagai alat perjuangan yang revolusioner, menunjukkan persatuan yang jelas
antara karyawan kebudayaan dalam mengamankan kebudayaan nasional saat ini dan
juga kemudian hari.
Komentar:
Adanya sikap tanggap dalam
menghadapi beberapa permasalahan merupakan wujud perkembangan kebudayaan yang
baik. Di mana kekurangan yang ada berusaha untuk di atasi. Pemberantasan
Liberalisme oleh UUD’ 45 hingga terbentuknya Manifes Kebudayaan hasil rumusan
yang dibuat dari pertemuan antar penulis dan senima akan bermanfaat untuk
selanjutnya.
e.
Buku-Buku yang Dilarang
Pada tanggal 30 November
1965, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan telah mengeluarkan intruksi yang berisi
tentang pelarangan penggunaan buku-buku pelajaran yang dikarang oleh pengarang
–pengarang yang ikut menandatangani “Manifes Kebudayaan” pada tahun 1963. Ini
merupakan tindak lanjut dari usaha penumpasan gerakan “30 September” khususnya
di bidang ideologi. Dalam instruksi tersebut dilampirkan daftar sementara
buku-buku yang dilarang sejumlah 70 buah, khususnya buku-buku bahasa dan
kesusastraan (kecuali tentang nyanyian).
Selain itu, juga
dilampirkan daftar sementara penulis-penulis Lekra PKI sejumlah 87 nama,
diantaranya Jubaar Ajub, Bakri Siregar, Pramudya Ananta Toer, Utuy T.Sontani,
dan sebagainya.
Buku yang paling banyak dilarang
adalah buku karangan Pramodya sejumlah 16 buah dan Utuy Sontani 11 buah. Selain itu banyak
juga sastawan lain yang dilarang karya-karyanya untuk beredar, baik dalam
bentuk buku maupun artikel.
Komentar:
Larangan yang telah dicanangkan seperti adanya tersebut
di rasa terlalu memojokkan penulis yang bukan anggota PKI. Meskipun, hal
tersebut dilakukan dalam rangka antisipasi. Namun, pendirian Lekra adalah untuk
Indonesia. Begitu juga dengan Manifes Kebudayaan, di mana lembaga atau gerakan tersebut
terbentuk hanya untuk perkembangan kebudayaan Indonesia. Tapi apabila dirasa
adanya campurtangan dari PKI, maka hal tersebut ibarat “Ada udang dibalik
batu”.