“Huh!!
Pengungsi macam apa mereka itu? Menyuruhku seenaknya. Memangnya aku ini
pembantu mereka?” Ika, aktivis kampus di Yogyakarta, seorang relawan, mulai mengeluh
dengan keadaannya sebagai relawan.
“
Jadi relawan kok nggak rela sih, Mbak?” tutur lelaki berpenampilan gembel yang
menggendong gitar sambil menghitung uang recehan.
Ika
kaget bukan kepalang, ia tersentak hingga jatuh ke tanah saat melihat penampilan
pemuda disampingnya.
Pemuda
itupun menolong Ika. Ia ulurkan tanganya, namun Ika menolak dan berdiri sendiri
tanpa mempedulikan pertolongan dari lelaki di depannya.
“Maaf
ya, sudah mengejutkan Mbak,” pemuda tadi menghitung uang recehnya kembali.
Ika
hanya diam memperhatikan lelaki gembel di depannya.
“Kenapa,
Mbak?” lagi-lagi pemuda tersebut mengejutkan Ika.
“Emm
.. nyanyikan satu lagu untukku,” pinta Ika basa-basi.
Pemuda
tadi mengernyitkan dahinya. Tidak panjang pikir, ia menaruh uang recehnya di saku
celana, meraih gitarnya dan mengalunkan lagu karyanya.
Acap
kali rintih memaki
Setiap
detik duka berpacu
Semakin
terang cerita tuan
Dari
mereka yang resah bertanya
Adilkah
keputusanMu?
Bingar
tangis karna azabMu
Setiap
detik tuding Ilahi
Jangan
salahkan kecewa kami
Bosan
dalam Irama takdirmu
Walau
ku tak terganggu
Bukankah
Kau Maha Tahu
Pengasih
penyayang
Namun
mengapa selalu saja itu hanya cerita?
heeiii
.. Tuhan, tolong buktikan
Amuk
lahar yang datang hanguskan bumi
Tinggalkan
arang penghuni desa pergi
Cemburu
batu hancurkan saudaraku
Ulurkan
tangan bantulah sesamamu*
“ Lagumu bagus,” Ika tersentuh dengan alunan
lagu dari pemuda tersebut.
“
Iya, makasih. Tapi aku tidak butuh pujian, aku butuh uang,” pengamen tadi
menegaskan.
“
Oh, iya,” Ika mencoba mencari uang dalam sakunya, namun tidak satupun ia
menemukan uang dalam sakunya. Ia mulai teringat bahwa dompetnya ada di dalam
tas.
Terlalu
lama menunggu Ika yang sedang mencari-cari uang dalam sakunya. Pengamen itu pun
pergi meninggalkan Ika sendiri di pos kampling pojok desa dekat dengan tempat
pengungsian korban merapi.
“
Hei tunggu, uangku ada di tas, aku ambil dulu,” teriak Ika.
“
Gratis,” sahut pengamen tadi.
Melihat
kepergian pemuda tersebut, Ika mulai bertanya-tanya, “ Siapa dia?”
Di
sudut pos kampling bekas yang diduduki pemuda tadi, Ika melihat ada selebaran
kertas koran. Ia meraih potongan koran tersebut.
“Sukses dari
ngamen di jalanan”
Esoknya,
di tempat pengungsian. Ketua koordinator
relawan meminta Ika untuk mendata pemasukan bantuan. Dalam perjalanan Ika ke
tempat pendataan bantuan, Ika melihat sosok pemuda yang tidak asing lagi
baginya. Pemuda itu adalah lelaki yang Ika temui kemarin di pos kampling, namun
dengan penampilan yang berbeda dari kemarin. Ia tampak lebih rapi dari
sebelumnya.
Ika
mendekati pemuda tersebut, “ Kamu?” Ika mencoba meyakinan dugaannya.
“
Eh, Mbak relawan?” pemuda tersebut memberi sambutan ramah dan menujukkan bahwa pemuda
tersebut benar-benar pemuda yang dijumpai Ika kemarin.
Ika
mengambil uang di saku celananya dan selembar kertas potongan koran, kemudian
ia menyodorkannya pada pemuda tersebut. Pemuda tersebut terkejut dengan sodoran
dari Ika. Ia menerima, kemudian beranjak pergi.
“
Hei, Kamu siapa?” Ika menyela bertanya sebelum pemuda tadi pergi.
“
Ridho, pengamen jalanan,” sahut pemuda tersebut sambil beranjak pergi.
Ika
mengernyitkan dahi kemudian beranjak pergi untuk melihat data pemasukan bantuan
untuk pengungsi.
No
|
Hari/Tanggal
|
Nama
|
Alamat
|
Pemasukan
|
45
|
Sabtu/
6 November 2010
|
Ridho
PJ
|
Cangkringan
|
2.009.850
|
“Dia
.. PJ .. Pengamen Jalanan??”
*dari
pengamen jalanan di Sunday Morning bundaran UGM, Yogyakarta
Depan
TV, 31 Januari 2011, 09:26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar