Aku
Ridho. Nama lengkapku Ridho Rama, bukan Ridho Rhoma. Wajahku lebih keren dari Ridho
Rhoma, nasibku juga tidak jauh berbeda dengan Ridho Rhoma. Dia pengamen
panggung, sedangkan aku pengamen jalanan. Dia anak dari Bang Haji, sedangkan aku
anak dari tukang judi.
Impian
terbesarku adalah kaya, sedangkan impianku saat ini adalah pergi ke Jakarta
untuk bertemu dengan Presiden. Aku ingin menyanyikan sebuah lagu, asli buatanku,
hanya ku persembahkan untuk Presiden. Teman-temanku bilang, aku gila. Mereka
bilang, impianku tidak begitu penting dan tidak layak dijadikan sebuah impian,
mereka lebih menyebut impianku dengan khayalan kosong. Tapi aku tidak peduli
dengan ocehan mereka, mereka bicara seperti itu karena mereka tidak tahu tentang
lagu apa yang ingin aku persembahkan untuk Presiden, yang mereka tahu hanyalah aku
selalu menyanyikan lagu-lagu yang tidak jelas maknanya.
“
Mendengar lagu dari pengamen jalanan saja, Presiden tidak akan mau, apalagi
harus bertemu dengan pengamen jalanan yang asli? Presiden hanya akan menemui
orang-orang berpangkat tinggi, bukan seorang pengamen jalanan.”
Adakah
yang salah dengan pengamen jalanan? Presiden manusia biasa, pengamen jalanan
juga manusia biasa. Aku rasa, Presiden bukan manusia seperti yang mereka duga,
Presidenku tidak pernah membeda-bedakan antara kaya miskin, cantik buruk rupa
maupun berpangkat atau tidak.
Jika
memang Presiden hanya akan menemui orang-orang berpangkat tinggi, maka
sebenarnya aku juga pejabat tinggi, aku menjabat sebagai calon pimpinan
pengamen jalanan di Sleman, Yogyakarta. Aku menjabat sebagai anak yang berbakti
pada orang tua, aku pahlawan bagi korban pencopetan, aku juga cinta tanah air. Jika
ada yang bilang,”cinta tanah air kok bikin rusuh jalanan kota di tanah air
Indonesia?”. Aku tak peduli. Biarkan cinta sendiri yang menerangkan makna
cintaku pada tanah air Indonesia.
“Tiap
hari ngamen terus, kapan kamu mau pergi sekolah?”
Ibu
selalu memberi pertanyaan itu. Seolah-olah ada dana untuk menyekolahkanku. Bertanya
“kapan mau pergi sekolah?” Sekolah yang mana pula yang harus aku datangi? Seharusnya
ibu tak memberi pertanyaan semacam itu, semestinya ibu bersyukur bahwa aku
tidak mau sekolah hanya karena ingin mengamen, cari uang. Mungkin jika aku mau
untuk bersekolah, pasti ibu akan pusing mecarikan dana unuk sekolahku. Uang hasil
penjualan kue saja, untuk Ayah berjudi. Mau pakai uang darimana lagi untuk
menyekolahkanku?
Presiden ..
Kau butuh koin?
Aku butuh engkau
Kau butuh naik gaji?
Aku butuh engkau
Kau butuh apa?
Bilang padaku, wahai Pemimpin
Aku disini menopang kerinduan tuk
jumpa denganmu
Menyampaikan satu
Satu hal ..tentang kepemimpinan
Semangat .. Semangat ..
Berjuang!!
Hiraukan mereka yang mencacimu
Masih ada aku
Pengamen jalanan
Yang menyambutmu sebagai pemimpin
Negara
Kau hebat
Sehebat ibuku mengadungku
Mengandung pemuda
Pemuda Indonesia
Memekik
Semangat, wahai Presidenku!!!!
Pantaskah
lagu itu kunyanyikan untuk pemimpin negaraku? Konyol kah? Lucu kah? Tidak
bermutu? Aku tidak peduli, besok pagi aku akan berangkat ke Jakarta bertemu
dengan Presiden. Mungkin, sekarang masih ada kesempatan bagi teman-temanku untuk
mencaciku sebelum aku berangkat ke Jakarta, tapi kita lihat saja nanti, media
massa akan dihebohkan dengan berita utama “Presiden
jumpa fans dengan pengamen jalanan.” Atau, “Kado dari Pengamen jalanan untuk Presiden.” Aku yakin judul berita
tersebut mampu mengalahkan berita terheboh perihal “Koin Peduli untuk Presiden.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar