Innalillahi wa innalillahi rajiun..
Telah berpulang ke Rahmatullah
bagi kawanan kambing, sapi, kerbau, unta, dan mungkin hewan ternak yang
lainnya. Kini telah tiba pada hari di mana kawanan kambing menuju singgasana
terakhir.
Selamat datang hari raya idul
adha, selamat datang kawan..
Pagi-pagi betul, telingaku sudah
rusuh dengan teriakan bunda, sangat khas, dan ini yang selalu membuatku rindu.
“Vita… subuhan apa ndak? Bangun!”
Dengan kenikmatan yang kurasa
sudah sampai puncak khayangan, aku menikmati teriakkan bunda, kemudian melanjutkan
tidurku kembali.
“Ya Allah, ini besok pie kalau di rumah mertua?”
Aku menahan tawa dalam hati,
selalu saja begitu. Kalimat andalannya selalu muncul, selalu bawa-bawa mertua. Aku
masih menikmati lelapku dalam tidur, bunda tiada henti ngedumel sambil berjalan
kesana kemari. Ditambah lagi dengan suara dengungan yang cukup mengganggu.
Ilham berdendang, entah apa yang sedang ia dendangkan, sepertinya ia mulai
menampakkan kebiasaannya di pondok. Kucoba jamah lebih dekat apa yang sedang ia
dendangkan, kupikir ia sedang ngaji, atau baca kitab kuning, bahasanya
semrawutan. Tapi setidaknya, suara parau itu semakin membuatku ayem, tentrem,
dan makin tidur lebih dalam, lelap. Dari masjid pun aku juga mendengar gema
takbir.
“Subuh?!”
Aku tersontak, aku belum menjamah
subuh. Aku segera bangun, menuju kamar mandi, dan melakukan ini itu.
Sholat ied.
Usai sholat, kami sekeluarga
mulai megerang kelaparan. Kala itu aku ngebet ikut abah beli sarapan, pikirku
sekalian beli tisu, maklum musim hujan, umbelen.
Jalanan sepi, toko, warung, bahkan
minimarket yang tak pernah absen dari dunia, pagi itu juga masih tutup. Aku
gagal mendapatkan tisu kala itu. Menyusuri sepanjang jalan, di pojok jalan ada
penjual pecel.
“Beli di situ saja ya? Ada sego
pupu (nasi+paha ayam),”
Aku tertarik dengan tawaran itu.
Setelah mengiyakan, kudapati banyak pembeli sedang antri. Memilih untuk antri
di situ adalah pilihan yang (mungkin) tepat. Abah memutuskan untuk beli sarapan
di sana, meski antri panjang, ya inilah usaha penuh perjuangan.
Sembari menunggu, abah mengambil
tahu, aku pun turut serta. Kusapu semua isi meja itu, mana pupu? kok gak ada? katanya
sego pupu?
“ooh berarti habis,” abah mulai
menghiburku.
Ya sudahlah. Tahu juga enak.
Beberapa pembeli masih ada yang
bertahan, sebagian ada yang pulang karena tak sanggup mengantri panjang. Ada bapak-bapak
memesan mie-nya diperbanyak, penjual bilang kalau mie tinggal sedikit, lalu
bagaimana nanti dengan yang lain? Pembeli itu menimpali,”lha anak’e njaluk mie
eg.”
Hiyaa nah lho? Ayooh gelut.
Mengetahui tragedi tersebut, abah
mulai memesan pada penjual untuk menyisakan mie, karena bunda sudah berpesan untuk
tidak dibelikan pecel, dan abah berinisiatif untuk membelikan nasi mie saja.
Penjual mengangguk.
Bertahap begini dan begitu. Telah
sampai melayani seorang wanita yang datang lebih dulu dari abah. Mie tinggal
sedikit, tanpa memesan sebelumnya, dia minta mie. Penjual sedikit kegok karena
mie yang ia sisakan tadi itu untuk abah yang sudah memesan lebih dulu. Aku melihat
abah shock. Kemudian, suami dari wanita
tadi datang dan menegaskan pada penjual bahwa istrinya datang lebih dulu dibanding
abah. Abah pun hanya diam, raut mukanya seperti berbicara,”Yoweslah kono.”
Tapi, penjual masih mencoba
menyisakan sedikit mie untuk abah.
Karena tinggal sedikit, abah
memintaku untuk menghubungi bunda guna memberikan tawaran campur pecel saja
karena mie tinggal sedikit. Aku sudah mencoba menlepon tapi tak tersambung
juga, pikirku,”ah ya sudahlah, kalau lapar pasti dimakan juga, kalau protes, ya
biarkan saja.”
Handphone (HP) abah berderit, ada telepon yang mengharuskan abah untuk
segera pulang ke rumah guna melakukan proses penyembelihan. Belum juga telepon
selesai, HP yang satunya lagi juga berdering.
Hiya nah lho.. nah lho.. bingung
po ra weeen..
Aku mengambil alih HP yang
satunya lagi, ternyata bunda. Belum juga aku mengucap salam, bunda sudah main
semprot duluan,”beli nasi di mana to? Kok lama banget? Ditungguin orang banyak
kok.” Belum juga aku menyahut, dengan sigap bunda ngedumel agar segera pulang
ke rumah. Padahal, sudah jelas kalau kami sedang membelikan sarapan untuknya
juga. Hmm..
Segera, kami beranjak pergi ke
rumah. Di depan masjid sudah banyak orang bersiap-siap, begitu juga dengan
anak-anak kecil yang siap menyaksikan tragedi pembunuhan hewan ternak. Saat lewat,
semua anak-anak kecil bersorak-sorai,”pak kariyadi....” sambil dada dada..
Pak Kariyadi adalah nama abahku,
hmm.. sudah macam artis saja.
“Aku kan memang artis,” jawab
abah kala aku mulai keheranan dengan ulah anak-anak sekitar komplek.
Tanpa menyicip nasi yang sudah
dibeli, abah segera berangkat ke masjid hendak melakukan prosesi penyembelihan.
Satu, dua, tiga, empat, lima, entah ada berapa ekor kambing yang sudah
disembelih abah. Saat kambing ke berapa aku lupa, tiba-tiba abah bertanya pada
kawannya,”ini siapa?”
Pikirku, untuk apa abah menyakan
nama si kambing, apa iya saat mereka disembelih, abah harus berkenalan dulu
dengan si kambing? Tapi setelah kucari, jawabannya adalah, itu nama si penyumbang,
harus diketahui sebagai doa atau ijab qabulnya.
Telah usai penyembelihan kambing,
dan inilah momen yang sudah aku tunggu.. aku menunggu aksi abah kala
menyembelih sapi, sehebat apa sih?
Semua kambing sudah dibabat
habis, aku masih setia menunggu aksi abah selanjutnya. Aku menunggu bersama
Dwika, kawanku. Belum lama, tiba-tiba alarm perutku mulai berdendang, tanda aku
harus melakukan prosesi pengeluaran sisa makanan. Aku segera pamit pulang ke
rumah untuk melepaskan beban dalam perutku. Setelah selesai, aku segera
berangkat kembali ke masjid, untung saja dua sapi masih hidup, ini menunjukkan
kalau aku masih ada kesempatan untuk melihat aksi abah.
Tidak lama kemudian, sapi mulai
dituntun menuju singgasana pemotongan, wow! Bapak-bapak mulai berembuk bagaimana
agar si sapi tergeletak dan mudah disembelih. Abah mengomandoni begini begitu,
saking banyaknya berteori saja, aku lihat ada bapak-bapak yang menyumanggakan (mempersilakan)
tali pada abah untuk melakukan sendiri atas komandoannya sendiri,haha.. kupikir
tak ada yang berani menali kaki si sapi karena si sapi banyak ulah.
Sret sret sret, bruk! Seperti gempa
ringan, sapi tlah roboh kemudian siap sembelih, ngeeek!
Sakaratul maut, si sapi ,mulai
polah. Bapak-bapak yang berdiri di atas bambu pengikat sapi agar tak meronta
kejang mulai berpegang pada batang pohon, dan aku melihat mereka seperti sedang
berdisko, loncat loncat kegirangan, hihihi..
Satu sapi sudah selesai, mati. Sapi
dibopong ketengah untuk dikuliti. Sebelumnya, kepalanya dilepas. Saat kepala
sudah berpisah, tiba-tiba ada anak kecil yang duduk di atas badan mayat si sapi
sambil berpose seperti model.
“weeez iki, ayo difoto-difoto,”
ungkap salah satu bapak-bapak yang ada di sana.
Kemudian, bapak si anak
mengajaknya turun dari badan mayat sapi sambil menegaskan,”di masukin surat
kabar, bagus ni.”
Malaaaaaah mendukung? pie to pak
pak?
Sapi kedua, aku melihat sapi
kedua yang dituntun ke peraduan tidak banyak tingkah, sepetinya dia sudah
pasrah. Membuatnya tergulai jatuh pun juga tidak serumit sapi yang pertama,
kupikir dia sudah dewasa, pengertian lah ya, tahu diri kalau dia sudah
ditakdirkan untuk dibunuh, dan dimakan.
Aku melihat matanya berkaca-kaca,
seperti menangis, aku pun turut terharu. “Semangat!” batinku.
NGEEEEK….
Mati.
Selamat untuk abah, sudah jadi
tersangka paling keren hari ini.
“tunjukkan fotoku pada
teman-temanmu biar gak macem-macem sama kamu,” jelas abah dengan khas
narsisnya.
(Fotonya nyusul yaaa.. ribet sih
:p)
Dan ….
Selamat menikmati daging, selamat
hari raya idul adha, Allahu akbar!
Bumi Asri, 061111, 20:56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar