Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Minggu, 06 November 2011

Ada Cerita di Hari Raya Idul Adha

Innalillahi wa innalillahi rajiun..
Telah berpulang ke Rahmatullah bagi kawanan kambing, sapi, kerbau, unta, dan mungkin hewan ternak yang lainnya. Kini telah tiba pada hari di mana kawanan kambing menuju singgasana terakhir.
Selamat datang hari raya idul adha, selamat datang kawan..
Pagi-pagi betul, telingaku sudah rusuh dengan teriakan bunda, sangat khas, dan ini yang selalu membuatku rindu.
“Vita… subuhan apa ndak? Bangun!”
Dengan kenikmatan yang kurasa sudah sampai puncak khayangan, aku menikmati teriakkan bunda, kemudian melanjutkan tidurku kembali.
“Ya Allah, ini besok pie kalau di rumah mertua?”
Aku menahan tawa dalam hati, selalu saja begitu. Kalimat andalannya selalu muncul, selalu bawa-bawa mertua. Aku masih menikmati lelapku dalam tidur, bunda tiada henti ngedumel sambil berjalan kesana kemari. Ditambah lagi dengan suara dengungan yang cukup mengganggu. Ilham berdendang, entah apa yang sedang ia dendangkan, sepertinya ia mulai menampakkan kebiasaannya di pondok. Kucoba jamah lebih dekat apa yang sedang ia dendangkan, kupikir ia sedang ngaji, atau baca kitab kuning, bahasanya semrawutan. Tapi setidaknya, suara parau itu semakin membuatku ayem, tentrem, dan makin tidur lebih dalam, lelap. Dari masjid pun aku juga mendengar gema takbir.
“Subuh?!”
Aku tersontak, aku belum menjamah subuh. Aku segera bangun, menuju kamar mandi, dan melakukan ini itu.
Sholat ied.
Usai sholat, kami sekeluarga mulai megerang kelaparan. Kala itu aku ngebet ikut abah beli sarapan, pikirku sekalian beli tisu, maklum musim hujan, umbelen.
Jalanan sepi, toko, warung, bahkan minimarket yang tak pernah absen dari dunia, pagi itu juga masih tutup. Aku gagal mendapatkan tisu kala itu. Menyusuri sepanjang jalan, di pojok jalan ada penjual pecel.
“Beli di situ saja ya? Ada sego pupu (nasi+paha ayam),”
Aku tertarik dengan tawaran itu. Setelah mengiyakan, kudapati banyak pembeli sedang antri. Memilih untuk antri di situ adalah pilihan yang (mungkin) tepat. Abah memutuskan untuk beli sarapan di sana, meski antri panjang, ya inilah usaha penuh perjuangan.
Sembari menunggu, abah mengambil tahu, aku pun turut serta. Kusapu semua isi meja itu, mana pupu? kok gak ada? katanya sego pupu?
“ooh berarti habis,” abah mulai menghiburku.
Ya sudahlah. Tahu juga enak.
Beberapa pembeli masih ada yang bertahan, sebagian ada yang pulang karena tak sanggup mengantri panjang. Ada bapak-bapak memesan mie-nya diperbanyak, penjual bilang kalau mie tinggal sedikit, lalu bagaimana nanti dengan yang lain? Pembeli itu menimpali,”lha anak’e njaluk mie eg.”
Hiyaa nah lho? Ayooh gelut.
Mengetahui tragedi tersebut, abah mulai memesan pada penjual untuk menyisakan mie, karena bunda sudah berpesan untuk tidak dibelikan pecel, dan abah berinisiatif untuk membelikan nasi mie saja.
Penjual mengangguk.
Bertahap begini dan begitu. Telah sampai melayani seorang wanita yang datang lebih dulu dari abah. Mie tinggal sedikit, tanpa memesan sebelumnya, dia minta mie. Penjual sedikit kegok karena mie yang ia sisakan tadi itu untuk abah yang sudah memesan lebih dulu. Aku melihat abah shock. Kemudian, suami dari wanita tadi datang dan menegaskan pada penjual bahwa istrinya datang lebih dulu dibanding abah. Abah pun hanya diam, raut mukanya seperti berbicara,”Yoweslah kono.”
Tapi, penjual masih mencoba menyisakan sedikit mie untuk abah.
Karena tinggal sedikit, abah memintaku untuk menghubungi bunda guna memberikan tawaran campur pecel saja karena mie tinggal sedikit. Aku sudah mencoba menlepon tapi tak tersambung juga, pikirku,”ah ya sudahlah, kalau lapar pasti dimakan juga, kalau protes, ya biarkan saja.”
Handphone (HP) abah berderit, ada telepon yang mengharuskan abah untuk segera pulang ke rumah guna melakukan proses penyembelihan. Belum juga telepon selesai, HP yang satunya lagi juga berdering.
Hiya nah lho.. nah lho.. bingung po ra weeen..
Aku mengambil alih HP yang satunya lagi, ternyata bunda. Belum juga aku mengucap salam, bunda sudah main semprot duluan,”beli nasi di mana to? Kok lama banget? Ditungguin orang banyak kok.” Belum juga aku menyahut, dengan sigap bunda ngedumel agar segera pulang ke rumah. Padahal, sudah jelas kalau kami sedang membelikan sarapan untuknya juga. Hmm..
Segera, kami beranjak pergi ke rumah. Di depan masjid sudah banyak orang bersiap-siap, begitu juga dengan anak-anak kecil yang siap menyaksikan tragedi pembunuhan hewan ternak. Saat lewat, semua anak-anak kecil bersorak-sorai,”pak kariyadi....” sambil dada dada..
Pak Kariyadi adalah nama abahku, hmm.. sudah macam artis saja.
“Aku kan memang artis,” jawab abah kala aku mulai keheranan dengan ulah anak-anak sekitar komplek.
Tanpa menyicip nasi yang sudah dibeli, abah segera berangkat ke masjid hendak melakukan prosesi penyembelihan. Satu, dua, tiga, empat, lima, entah ada berapa ekor kambing yang sudah disembelih abah. Saat kambing ke berapa aku lupa, tiba-tiba abah bertanya pada kawannya,”ini siapa?”
Pikirku, untuk apa abah menyakan nama si kambing, apa iya saat mereka disembelih, abah harus berkenalan dulu dengan si kambing? Tapi setelah kucari, jawabannya adalah, itu nama si penyumbang, harus diketahui sebagai doa atau ijab qabulnya.
Telah usai penyembelihan kambing, dan inilah momen yang sudah aku tunggu.. aku menunggu aksi abah kala menyembelih sapi, sehebat apa sih?
Semua kambing sudah dibabat habis, aku masih setia menunggu aksi abah selanjutnya. Aku menunggu bersama Dwika, kawanku. Belum lama, tiba-tiba alarm perutku mulai berdendang, tanda aku harus melakukan prosesi pengeluaran sisa makanan. Aku segera pamit pulang ke rumah untuk melepaskan beban dalam perutku. Setelah selesai, aku segera berangkat kembali ke masjid, untung saja dua sapi masih hidup, ini menunjukkan kalau aku masih ada kesempatan untuk melihat aksi abah.
Tidak lama kemudian, sapi mulai dituntun menuju singgasana pemotongan, wow! Bapak-bapak mulai berembuk bagaimana agar si sapi tergeletak dan mudah disembelih. Abah mengomandoni begini begitu, saking banyaknya berteori saja, aku lihat ada bapak-bapak yang menyumanggakan (mempersilakan) tali pada abah untuk melakukan sendiri atas komandoannya sendiri,haha.. kupikir tak ada yang berani menali kaki si sapi karena si sapi banyak ulah.
Sret sret sret, bruk! Seperti gempa ringan, sapi tlah roboh kemudian siap sembelih, ngeeek!
Sakaratul maut, si sapi ,mulai polah. Bapak-bapak yang berdiri di atas bambu pengikat sapi agar tak meronta kejang mulai berpegang pada batang pohon, dan aku melihat mereka seperti sedang berdisko, loncat loncat kegirangan, hihihi..
Satu sapi sudah selesai, mati. Sapi dibopong ketengah untuk dikuliti. Sebelumnya, kepalanya dilepas. Saat kepala sudah berpisah, tiba-tiba ada anak kecil yang duduk di atas badan mayat si sapi sambil berpose seperti model.
“weeez iki, ayo difoto-difoto,” ungkap salah satu bapak-bapak yang ada di sana.
Kemudian, bapak si anak mengajaknya turun dari badan mayat sapi sambil menegaskan,”di masukin surat kabar, bagus ni.”
Malaaaaaah mendukung? pie to pak pak?
Sapi kedua, aku melihat sapi kedua yang dituntun ke peraduan tidak banyak tingkah, sepetinya dia sudah pasrah. Membuatnya tergulai jatuh pun juga tidak serumit sapi yang pertama, kupikir dia sudah dewasa, pengertian lah ya, tahu diri kalau dia sudah ditakdirkan untuk dibunuh, dan dimakan.
Aku melihat matanya berkaca-kaca, seperti menangis, aku pun turut terharu. “Semangat!” batinku.
NGEEEEK….
Mati.
Selamat untuk abah, sudah jadi tersangka paling keren hari ini.
“tunjukkan fotoku pada teman-temanmu biar gak macem-macem sama kamu,” jelas abah dengan khas narsisnya.
(Fotonya nyusul yaaa.. ribet sih :p)
Dan ….
Selamat menikmati daging, selamat hari raya idul adha, Allahu akbar!
Bumi Asri, 061111, 20:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar