Di depan rektorat, di bawah pohon paling
utara, aku duduk di atas meja. Menghadap ke selatan, bersandar pada pohon,
melirik air mancur di timur tempatku duduk. Aku sedikit tenang di sini. Bukan
karena air mancur itu tidak menjulang tinggi. Namun, gemericik air itu lah yang
membuatku tenang. Apalagi disertai semilir angin yang menyapu sekujur kulitku. Tempat
ini memenuhi pandanganku dengan warna hijau. Aku sendiri di sini. Menikmati
kesendirianku. Bukan karena ku tak punya teman, atau aku ditinggal
teman-temanku pergi. Namun, ada kalanya aku butuh waktu untuk sendiri.
Tempat ini tidak sepi, di depanku ada
segerombolan mahasiswa dari fakultas ilmu keolahragaan. Entah apa yang sedang
mereka lakukan di tempat itu. Pandanganku hanya menangkap bahwa mereka sangat gagah
sekalipun mereka tampak dekil.
Di sini, aku sedang tidak ingin merenung. Ini
adalah kegiatanku untuk menenangkan diri. Aku ingin mencari sebuah ide untuk ku
tulis. Entahlah kenapa aku ingin sekali membuat tulisan yang bertahap di setiap
harinya? Tidak tersendat-sendat, terkadang menulis, terkadang tidak. Aku
benar-benar menggemari kegiatan menulis dan membaca. Tapi kegemaran itu bukan
berarti menyimpulkan bahwa aku ini orang yang cerdas. Aku menyadari, ini belum
cukup.
Membaca materi vokoid dan kontoid,
sudah cukup menjenuhkan untuk ditelan otakku. Aku putuskan untuk membaca buku
yang ku pinjam dari perpustakaa kota Yogyakarta. Buku itu berjudul “ Menulis
itu ibarat ngomong”. Dari cover dan kalimat di cover belakang, membuatku
benar-benar penasaran ingin segera membacanya, bisa menguasai materi itu dan
aku benar-benar mampu menulis ibarat ngomong.
Buku itu menjenuhkan, sangat menjenuhkan. Bahasanya
terlalu bertele-tele, sulit dipahami dan . . . ah menjenuhkan. Tapi sedikit ku
cuplik dan ku sadari akan makna tersirat dari buku itu adalah di mana jika aku
ingin menulis, maka aku harus mengalirkan tulisanku seperti saat aku berbicara.
Ya, ini benar-benar aku praktekkan saat ini. Tapi aku menolak jika aku menulis
lancar karena isi buku itu. Aku hanya terpengaruh dengan judul buku dan kalimat
di cover belakang. Kesimpulannya, aku telah tersentuh dengan judul buku
atau sebut saja cover buku itu. Padahal, seperti halnya .. jangan pernah
melihat seseorang itu dari covernya.
Ya, di mana kita tidak boleh terlalu dominan
berpersepsi saat pertama kali mendapatkan stimulus. Tapi ku pikir, dengan
persepsi lah aku mampu menulis. Hmm.. namun yang bikin shock lagi adalah
saat dikatakan bahwa persepsi telah menghalangi suara hati. Aku perlu membuktikan
hal tersebut, tapi entahlah bagaimana aku harus melakukannya?
Tulisanku sudah banyak, entahlah apa tujuan
dari tulisanku ini. Mungkin jika di share akan sangat menjenuhkan untuk
dibaca. Tapi aku tak peduli, yang penting aku nulis. Aku bisa menyampaikan
gagasan-gagasan yang ada pada pikiranku, dengan begitu setidaknya aku sudah
menulis untuk hari ini. Yaa, meskipun tulisan ini sangat absurd. Huuufht .. aku
ingin menertawakanku sendiri, entah sampai mana aku menulis?
Lalu apa kesimpulan dari tulisanku ini?
Ya, pahami sendiri. Aku hanya bilang,
menulislah, jangan menunda-nunda. Menulislah sekarang!
Badanku lemas, panas, demam, sepertinya sakit. Apakah ibunda merasakan dengan
apa yang aku rasa? Ku yakin dia merasa. Baiklah, aku tidak ingin membuatnya
jadi berperasaan terus karena aku sedang mencoba merasakan mereka. Ya, aku
sedang mencoba praktek telepati, hihi....
Aku sudah cukup jenuh dengan kesibukan selama
ini, dan saat ini aku hanya bisa pasrah. Tuhan, aku serahkan semua padaMu.
Kamis, 14 April 2011_12.02
(jam diragukan kebenarannya)_ at Singgasana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar