Senin, 08
Oktober 2012
Hari ini
hari pertama aku memulai menyandang gelar Long
Distance Relationship (LDR). Sebenarnya, aku tak ingin menyebut ini sebagai
hubungan (berpacaran) jarak jauh. Bila mind
set bilang begitu, ya, akhirnya memang berujung jauh. Oh. Tapi, memang tak
dapat dibohongi kalau pada akhirnya Yogyakarta-Jakarta, kemudian tak bertemu
dalam kurun waktu yang MUNGKIN cukup lama, maka jadilah itu sebagai LDR.
Jumat, 05
Oktober 2012. Aku mengirim pesan singkat padanya tentang doa-doaku agar ia dilancarkan
dalam segala urusan dan rizkinya. Hari itu pula ada tawaran dari kawannya untuk
ke Jakarta. Dia bilang, smsku sebagai pertanda, sekaligus membuatnya semakin
yakin bahwa tawaran Jakarta adalah sebuah jalan yang tepat dari Tuhan, Aamiin.
Ya, itu
sudah menjadi tawaran yang kedua kalinya. Awalnya, dulu aku tak menghendakinya
pergi ke Jakarta. Hingga kini, akhirnya aku merelakannya. Dulu, memang entah
kenapa aku tak rela bila ia harus ke Jakarta. Ibu bilang, padahal itu adalah
langkah untuk menuju masa depan. Mungkin, dari situlah aku menyadari bahwa aku
harus mempertimbangkan kemantapannya, bukan hanya mementingkan kehendakku.
Tapi, dia menegaskan bahwa pembatalannya pada tawaran yang pertama adalah
karena dia juga masih ragu. Yah, begitulah.
Tawaran
kedua ini, entah mengapa aku merasa rela dan yakin bahwa ini adalah salah satu
langkah yang tepat untuknya, untuk keluarganya, dan untukku. Aku merasa akan ada
cerita selanjutnya yang menawarkan sebuah kebahagiaan. Dan aku masih sebatas
meyakini dan berharap.
Minggu, 07
Oktober 2012. Dia mengunjungiku malam-malam membawakan sebungkus nasi dan lauk
untukku makan. Malam itu sepertinya sengaja ia sempatkan untuk bertemu denganku
untuk membicarkan suatu hal penting. Ya, aku merasakannya. Ternyata benar, ia dating
membawa sebuah kabar bahwa esok hari ia harus berangkat ke Jakarta. Sesak. Aku
pikir aku bisa menghabiskan beberapa waktu cukup lama dengannya sebelum ia
berangkat ke Jakarta. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Hari Senin-Kamis aku kuliah
penuh, malamnya latihan drama. Sabtu, aku ada acara di Parangkusumo, pulang
hari Minggu, malamnya latihan drama, dan ternyata, esok harinya ia harus berangkat
ke Jakarta.
Pagi ini,
sepulang kuliah, aku benar-benar terburu-buru untuk menyelesaikan tugas kuliah semantik
dan kewirausahaan. Niatku, agar tak ada tanggungan tugas kuliah dan aku bisa
segera membantunya memindahkan barang-barangnya di kosku. Kuliah semantik aku
tinggalkan. Aku ingin mengantarnya ke terminal, menjadi teman terakhir
sekaligus saksinya pada detik-detik berpisah dengan Yogyakarta.
Jam 2 lebih.
Sampai terminal, bus yang akan ia tumpangi sudah berangkat. Telat. Namun, niat
baik itu mendapat petunjuk dan keringanan, masih ada jalan yang dimudahkan
Allah. Ada bus jam setengah 4, Tuhan menyisihkan beberapa waktu untukku
berbincang dengannya.
Setengah 4,
bus Dieng Indah siap berangkat. Aku mengantarnya, menjabat tangannya, say good bye dan
“see you later”. Ia masuk ke dalam bus. Aku mengamatinya dari luar
bus. Wajahnya tertutup gorden bus dan penumpang lain. Aku duduk di pinggiran
dekat-dekat bus, menunggui bus itu benar-benar berangkat apa tidak. Angin
begitu sepoi, sedikit demi sedikit mulai memancing air mataku untuk runtuh. Aku
tahan. Satu pesan datang pada handphone-ku.
Dia memintaku untuk pulang lebih dulu dan tak lupa agar mendoakannya. Aku melihat
sekitar, merasakan hembusan angin, dalam batinku, aku mendoakannya. Sial, air
mataku hendak runtuh saat itu. Aku tahan lagi, mencoba mengetik pesan berisi
doa. Terkirim.
Ya, terkirim
saat bus sudah berangkat. Aku melirik roda pada bus itu terus menerus hingga
lenyap dari pandanganku. Mataku pun penuh dengan air, tak bisa terbendung. Satu
pesan balasan darinya masuk, ia mengucapkan terima kasih dan dia bilang dia
mencintaiku. Hiks.. benar-benar tak dapat terbendung. Aku melirik kanan kiriku
berharap tak ada yang melihatku. Sungguh, saat itu ingin menangis.
Aku
perhatikan sekitar dan mencoba merasakan hembusan angin. Cukup menenangkan,
komat-komit aku mencoba berbicara pada diriku sendiri, berusaha menenangkan
diri. Tiba-tiba terdengar jerit tangis anak kecil dari ruko yang tak begitu
jauh dari tempat yang kududuki. Anak itu menangis karena ditinggal pergi ibunya
naik motor, entah ke mana. Aku tersenyum. Batinku, ibumu tak akan
meninggalkanmu, ia akan kembali padamu. Kemudian aku mencoba mengajak bicara pada
diriku sendiri: seperti halnya Mas Ain, ia tak akan meninggalkanku, ia akan
kembali padaku. Saat itu aku bisa tersenyum (tapi waktu nulis ini aku nangis,
hiks), aku menarik nafas, menghembuskan perlahan, kemudian aku beranjak dari
tempat yang kududuki, dan berjalan menuju tempat parkir motor. Di setiap
langkah, diiringi hembusan angin, berasa damai. Aku merasa kebaikan sedang
menyertaiku. Semoga Mas Ain pun demikian.
![]() |
huwaaa mas ain :') |
Malam ini…
aku sudah rindu. Mas Ain…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar