Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Jumat, 15 Juli 2011

Tamu Istimewa



“Waah...kamu benar-benar hebat. Dari sekian ribu orang yang ada di forum tadi, cuma kamu yang mengidolakan Nabi Muhammad. Subhanallah,” sanjung Ridho, sahabat Rahmat yang satu forum di Forum Pelatihan Leadership.
“Ah kamu lebay, seratus orang saja tidak ada dalam forum tadi, bisa-bisanya kamu bilang dari ribuan orang di forum tadi,” Rahmat mencoba mengalihkan pembicaraan agar lebih fokus pada jumlah peserta Forum Pelatihan Leadership.
“Yaah...setidaknya, jawabanmu tadi itu benar-benar membuat saya tertegun, Mat. Saya kagum padamu. Subhanallah,” Ridho masih terkagum-kagum.
“Aku hanya asal jawab saja kok,” jawab Rahmat.
“Itu tidak mungkin,” Ridho tidak percaya.
Tanpa pikir panjang, Rahmat beranjak pergi meninggalkan Ridho tanpa mengucapkan salam.
“Lhoh? Kok pergi begitu saja? Kok nggak salam juga? Hoiii .. !!!” Ridho tertalak dengan sikap Rahmat yang tidak mencerminkan mengidolakan Nabi Muhammad.
Rahmat menengok pada Ridho dan berteriak,”Aku tidak sebaik yang kamu pikir!”
Ridho hanya menggaruk-garuk kepala.
Cuaca yang panas membuat perasaan Rahmat galau, gelisah, risau. Ia pun memutuskan untuk mendinginkan tubuhnya di Mall yang ber-AC disertai jus jeruk yang dingin. Ia mangarungi jalanan Mall sambil minum jus jeruk dingin di tangan kirinya karena tangan kanannya sedang bermain tombol-tombol HP.
“Assalamu’alaikum, Rahmat,” Ridho mengejutkan Rahmat yang sedang dalam puncak kenikmatan menikmati jus jeruknya.
“Kamu mengikutiku?” Rahmat mulai galak.
“Kalau jodoh memang tidak kemana,” celetuk Ridho.
“Hei, apa maksudmu?” Rahmat terkejut dengan ucapan Ridho.
“Saya benar-benar mengagumimu, saya ingin belajar mengidolakan Nabi Muhammad bersamamau, boleh kan?” Ridho memohon dengan mata berbinar-binar.
“Dasar bego’, kan aku udah bilang kalau aku tadi itu asal ceplos, asal jawab saja,” Rahmat mulai geram dengan ulah Ridho.
“Asal ceplos itulah yang menunjukkan kalau itu yang sedang kamu pikirkan, itu menunjukkan kalau kamu benar-benar selalu memikirkan Nabi Muhammad. Subhanallah.”
Tanpa pikir panjang, Rahmat beranjak pergi meninggalkan Ridho tanpa sepatah kata. Ridho melongo, tapi kemudian ia mengikuti perjalanan Rahmat.
Belum begitu jauh mengikuti langkah Rahmat, Ridho menjumpai Rahmat berjabat tangan dengan kawanan pemuda yang beranting dan bertatto. Tampak akrab sekali, wajah Rahmat juga tampak lebih bersahabat, tidak sama saat berhadapan dengannya.
Terlalu lama Rahmat berbincang-bincang, Ridho mulai jenuh dan lelah mengamati Rahmat. Dengan kilat Ridho membeli jus jeruk, ia duduk, membaca basmalah kemudian menikmati jus jeruk yang ada dalam genggaman tangan kanannya. Saat menikmati jus jeruk, Ridho mengamati tangan kiri Rahmat sedang memegang bungkusan air minum, yaitu jus jeruk, sama dengan miliknya. Ridho melihat Rahmat minum jus jeruk dengan berdiri. Ridho heran dengan sikap Rahmat, sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Rasulullah.
“Apa iya Rahmat hanya asal ceplos saja ya?” Ridho mulai ilfeel dengan sikap Rahmat.
“Hei, ngapain kamu di sini? Memata-mataiku ya?” Rahmat mengejutkan Ridho yang sedang merenung.
“Eh...eng...enggak...saya lagi minum jus jeruk kok,” Ridho setengah kaget bukan kepalang.
Dengan sigap Rahmat menarik tangan Ridho dan membawa Ridho berjalan bersama.
“Kamu?” Ridho bingung dengan ulah Rahmat.
“Bukankah ini yang kamu minta? Kamu ingin belajar mengidolakan Nabi Muhammad bersamaku kan?” Rahmat menegaskan.
“Subhanallah,” mata Ridho berbinar-binar melihat ketegasan Rahmat.
“Haaaargh, lebay!” Rahmat jengkel melihat ekspresi Ridho yang berlebihan.
Ridho hanya cengar-cengir.
“Mat, tadi saya melihatmu akrab sekali dengan segerombolan pemuda yang beranting dan bertatto, kamu tidak galak dengan mereka, kamu tampak ramah sekali dengan mereka, tapi kenapa dengan saya, sikapmu sudah berbeda? Apa bedanya aku dengan mereka?” Ridho mulai melontarkan pertanyaan.
Rahmat tertegun kemudian ia mengucapkan,” Maaf ..”
Ridho salah tingkah.
“Aku geram denganmu, maaf,” Rahmat mengulang ucapan maafnya.
“Oh, tidak. Seharusnya aku yang minta maaf,” Ridho menimpali.
Rahmat menatap tajam pada Ridho. Ridho mulai bergidik, kemudian ia menimpali,” Nabi Muhammad tidak pernah membeda-bedakan, beliau selalu berbuat baik pada siapa saja.”
“Karena itu...” Rahmat menyahut.
“Karena itu, kamu mengajarkan saya agar tidak meniru tindakanmu, iya kan? Kamu orang yang aneh, mengajarkan suatu pelajaran pada saya dengan bentuk kesalahan,” Ridho menyela.
Rahmat hanya menghela nafas panjang.
“Hei coba lihat orang itu,” Rahmat menunjuk seorang perempuan yang memakai rok mini di depan kafe mini pitza.
“Subhanallah ..”
“Hah?!” Ridho terkejut mendengar respon Ridho.
“Kamu mengingatkan saya pada cerita Nabi Muhammad kala ia menyuapi si buta yang selalu mencaci maki beliau, namun Rasulullah selalu berbuat baik pada si buta itu, menyuapi makan dari pagi, siang dan sore,” dengan mata berkaca-kaca Ridho menatap Rahmat.
Rahmat menghela nafas panjang lagi, ia mencoba mencari apa yang dilihat Ridho. Ternyata ada lelaki buta yang duduk di depan kafe mini pitza.
“Sudah jam segini, ayo pulang!” Rahmat ingin segera pergi menjauh dari Ridho. Ia sudah cukup muak berjalan bersama dengan Ridho.
“Subhanallah,”
Rahmat melongo melihat respon Ridho.
“Saya baru menyadari kalau sudah jam enam lebih seperempat, kita belum sholat magrib. Dalam keadaan bersenang-senang di Mall seperti ini, kamu mengingatkan saya untuk sholat magrib,” lagi-lagi Ridho berbicara denga mata berbinar-binar.
Ridho hanya menghela nafas panjang. Kemudian mereka pun pergi ke mushola di dekat parkir Mall, kemudian sholat berjama’ah.
“Terima kasih sudah menemani saya untuk belajar mengidolakan Nabi Muhammad, ini ada buku bagus, saya pinjamkan ke kamu, dibaca ya?” tanpa protes, Rahmat menerima buku itu dan memasukkannya di dalam tasnya.
“Sekarang...rasanya...saya jadi ingin bersholawat,” Ridho mengungkapkan perasaannya sebelum mereka berpisah.
“Sholatullah...salamullah...ala toha Rasulillah...” Ridho bersholawat di hadapan Rahmat.
Rahmat merespon dengan senyuman paksa.
“Terima kasih juga, maafkan aku jika ada kata-kata yang menyakitkan, aku udah ditungguin kakak di rumah untuk makan malam, permisi, selamat malam,” Rahmat beranjak pergi.
Ridho melongo.
Namun, Rahmat berbalik dan... ”Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” Ridho menjawab dengan senyum termanisnya.
Sampai di rumah, Rahmat melemparkan tubuhnya di sofa dan mencoba melepaskan lelahnya. Tiba-tiba dalam benak pikirannya terbayang-bayang dengan seorang Nabi, seperti terdengar sholawat Nabi menyeru-nyeru dalam renungannya. Muncul pertanyaan darinya, seperti apa Muhammad itu? Rahmat mulai penasaran dan muncul keinginan dari dirinya untuk berjumpa dengan Rasulullah, mungkin itu adalah kerinduan dari seorang muslim pada Nabinya. Rahmat mulai teringat pada Ridho yang sangat agresif belajar mencintai Nabi Muhammad, ia jadi ingat pula pada buku yang dipinjamkan Ridho padanya sekalipun sebenarnya Rahmat tidak ingin meminjam buku tersebut.
Menatap Punggung Muhammad
Judul buku yang unik itu menarik perhatian Rahmat. Perlahan Rahmat menikmati halamn per halaman dari buku itu. Berbagai ekspresi Rahmat nikmati saat membaca buku itu, ia meneteskan air mata, sepertinya malam itu buku ‘Menatap Punggung Muhammad’ akan disantap habis oleh Rahmat.
Hingga berujung pada halaman terakhir, Rahmat mulai diserang rasa kantuk. Tak terasa ia memejamkan mata seraya berharap Nabi Muhammad hadir dalam mimpinya agar ia tergerak hatinya untuk benar-benar mencinta Nabinya, seperti halnya tokoh yang diceritakan di buku Menatap Punggung Muhammad tersebut.
Seraya do’a sebelum tidur, perlahan Rahmat memejamkan matanya.
“Apa benar kamu menginginkan Nabi Muhammad hadir dalam mimpimu?” suara Ridho mengusik pendengaran Rahmat, namun Rahmat tidak melihat sosok Ridho.
“Hei, kamu dimana?” tanya Rahmat.
“Jangan mencariku, jawab saja pertanyaanku, apa benar kamu ingin Nabi Muhammad hadir dalam mimpimu?” tanya Ridho.
“Ya,” jawab Rahmat singkat.
“Bagaimana jika Muhammad mengunjungimu?”
“Apa maksudmu?” Rahmat mulai tak mengerti apa yang diinginkan Ridho.
“Ya, bagaimana jika Muhammad berkunjung ke rumahmu, barang sehari atau dua hari?”
Rahmat hanya diam.
“Jika Rasulullah tiba-tiba datang ke rumahmu, saya ingin tahu apa yang akan kamu lakukan,” pinta Ridho.
Rahmat semakin tidak mengerti dengan pertanyaan Ridho.
“Jawab saja pertanyaanku,” pinta Ridho
“Mungkin aku akan memberikannya sambutan terbaikku,” jawab Rahmat.
“Apakah kamu akan memberikan ruangan terbaikmu bagi Rasulullah?”
“Ruangan terbaik?” Rahmat mulai berpikir.
“Ya, ruangan terbaik. Akankah kamu akan menyediakannya untuk Rasulullah?”
“Ya, tentu. Tapi, ..”
“Tapi apa?”
“Tempat yang seperti apa? Aku merasa ruangan terbaikku adalah kamarku, tapi...mana mungkin tempat seperti ini aku persilahkan untuk Rasulullah?”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Ya, tempat ini kotor. Banyak...ooh tidak, disini banyak majalah yang tidak senonoh, bagaimana jika Rasulullah melihatnya bila aku persilahkan tempat ini untuk beliau?”
“Baiklah. Lalu apa yang akan kamu hidangkan pada Rasulullah?”
“Makanan? Camilan mungkin? Pitza? Spagetti? Ayam bakar? Ya, itu makanan spesial, Rasulullah pasti senang sekali bila ku suguhkan hidangan seperti itu karena Rasulullah pasti belum pernah...ah tidak, tidak seperti itu juga, Rasulullah adalah manusia mulia yang penuh dengan kesederhanaan. Entahlah aku tak tahu makanan yang seperti apa yang akan aku hidangkan nantinya.”
“Jika kamu melihat Rasulullah datang, akankah kamu menemuinya di pintu dengan tangan terulur menyambut tamumu nan surgawi itu?“
“Ya. Ah, tidak...aku harus mengganti pakaianku dulu, dengan pakaian baju koko mungkin. Kemudian baru aku menyambutnya. Tapi tidak juga, aku harus membersihkan semua majalah-majalahku yang berserakan di rumah ini. Lalu...aku juga harus mematikan televisi jika Rasulullah datang kala aku menonton televisi yang mungkin saat tayangan yang tidak senonoh. Kemudian aku akan menaruh Al-Qur’anku di ruang tamu, hmm tapi aku harus membersihkan Al-Qur’anku dulu karena sepertinya berdebu.”
“Oh ya?” Ridho meyakinkan.
“Eits, radio. Aku harus mematikannya karena aku lebih suka lagu-lagu rock. Mungkin aku akan menggantinya dengan lagu-lagu islami atau lagu-lagu yang lebih lembut.”
“Kenapa kamu tidak mengajak beliau berjoged saja?”
“Gila loe !”
“Baiklah. Bagaimana jika Rasulullah duduk disampingmu, topik apa yang ingin kamu bicarakan dengan Rasulullah?”
“Apa yaa? Entahlah aku tak tau.”
“Bukankah kamu merindukan Rasulullah? Itu adalah kesempatan yang jarang sekali terjadi, Mat.”
“Ya, aku tahu. Tapi sungguh, aku sepertinya jadi salah tingkah jika sudah di depan beliau,”
“Kenapa?”
“Entahlah.”
“Sedari tadi kamu hanya menjawab entahlah dan entahlah. Baiklah, Mat. Hari ini kamu mengucapkan kata-kata kasar padaku seperti ‘bodoh’, ‘bego’ dan kata-kata lain yang biasanya kamu lontarkan, jika Rasulullah ada disampingmu, akankah kamu ucapkan kata-kata kotor itu?”
“Tentu saja tidak! aku akan menjaga betul tutur kataku jika dihadapan Rasulullah,”
“Hanya pada saat dihadapan Rasulullah saja kah?”
“Ya. Eh, tidak juga. Tapi, eh tidak ..”
Rahmat mulai bingung dengan jawaban yang sudah ia lontarkan tanpa pikir panjang.
Ridho diam.
“Hmm...aku akan memperbanyak-banyak istighfar dan bersholawat Nabi untuknya,”
“Untuk apa?”
“Ya, untuk mendapatkan pujian. Ah tidak.. sepertinya aku akan menemui Rasulullah apa adanya saja, tapi tidak mungkin. Aku ingin menemui beliau dalam keadaan paling baik.”
“Bagaimana jika Rasulullah mengajakmu jalan-jalan. Kamu akan mengajak beliau kemana?”
“Ke Mall donk, tapi ah tidak, ke masjid saja.”
“Bagaimana jika dalam perjalanan pergi bersama Rasulullah, kamu bertemu dengan teman-temanmu yang beranting dan bertatto? Apa yang kamu lakukan?”
“Oh, aku pura-pura tidak mengenal mereka.”
“Kenapa? Kenapa tidak kamu kenalkan teman-temanmu itu pada Rasulullah?”
“Ah , tidak !”
“Kenapa? Mereka juga umat Rasulullah kan?”
“No coment.” Rahmat mulai geram.
“Bagaimana jika kemudian Rasulullah pamit untuk pergi meninggalkanmu?”
Rahmat diam sejenak. Ia pejamkan matanya dan ia melihat ada punggung bercahaya di depannya mulai berjalan membelakanginya tanpa menoleh sedikitpun padanya. Perlahan semakin jauh dan hilang.
“Cukup!!! kapan Rasulullah akan menemuiku?” tanya Rahmat dengan galak.
“Sebentar lagi.”
Rahmat terkejut bukan kepalang mendengar jawaban Ridho. Rahmat pun beranjak dari tidurnya, dan ia terbangun dari mimpinya.
“ Huuuft...hanya mimpi.”
Rahmat diam sejenak dan mencoba mencerna berbagai pertanyaan Ridho dalam mimpinya. Dan tiba-tiba ......
TOK TOK TOK
“Assalamu’alaikum...” ada suara salam dibalik pintu kamar Rahmat, suara yang tidak pernah ia dengarkan sebelum-sebelumnya. Rahmat diam sejenak dan ..
“ Nabi Muhammad kah?”
O Muhammad, Puisi Cinta Untuk Nabi *
Bila Nabi Muhammad mengunjungimu. Barang sehari atau dua. Bila ia datang tak disangka-sangka, aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan? Oh, aku tahu kau akan menyediakan ruangan yang terbaik. Bagi seorang tamu yang begitu terhormat. Dan semua makanan yang akan kau hidangkan padanya adalah makanan yang terlezat. Dan kau akan terus meyakinkannya, Bahwa kau senang dikunjunginya, Bahwa melayaninya di rumahmu sendiri adalah suatu kebahagiaan tiada bandingannya
Tetapi.. apabila kamu melihatnya datang, akankah kau menemuinya di pintu dengan tangan terulur menyambut tamumu nan surgawi?
Atau ..
Akankah kau mengganti pakaianmu sebelum menyilakan masuk?Atau menyembunyikan majalah-majalah dan mengedepankan Al-Qur’an? Masih akankah kau menonton film-film tak senonoh yang ditayangkan pesawat TVmu? Dan membaca buku-buku yang kau baca dan membiarkannya mengetahui segala sesuatu yang mengisi pikiran dan semangatmu?
Akankah kamu mengajak Nabi bersamamu. Kemana pun kamu pergi?
Atau, akankah kau, mungkin, mengubah rencanamu untuk berangkat sehari dua?
Akankah kau gembira memperkenalkannya kepada kawan-kawan karibmu?
Atau akankah kau berharap mereka akan menjauh sampai kunjungannya usai?
Akankah kau senag bila ia tinggal denganmu untuk selama-lamanya?
Atau,
akankah kau merasa lega denga kelegaan yang lapang, apabila akhirnya ia pergi?
Barangkali menarik juga mengetahui segala apa yang akan kau lakukan bila Nabi Muhammad datang secara pribadi untuk menghabiskan beberapa saat bersamamu.
*di lembar akhir buku Menatap Punggung Muhammad



# cerita ini dibuat karena ingin ikut lomba nulis cerpen, tapi karena telat deadline, nggak jadi dikirim deh, huhuhu .. cerita ini terinspirasi dari buku yang pernah aku baca, yaitu MENATAP PUNGGUNG MUHAMMAD. Buku yang bagus, dan diangkat dari kisah nyata. Terima kasih untuk seseorang yang telah mengenalkanku dengan buku tersebut
14 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar