![]() |
stasiun kediri |
Setiba di stasiun, wanita berwajah keibu-ibuan menantiku dengan motor
yang ia tumpangi. Di sisi lain, ada lelaki berwajah keayah-ayahan menantiku
dengan mobil tua yang ia tunggangi. Nah, dua orang sama-sama menantiku. Wanita
itu bernama ibuku. Sedang lelaki itu bernama ayahku. Seringkali seperti itu.
Jika anak gadisnya pulang kampung, tidak ada koordinasi jelas siapa yang akan
menjemput. Akhirnya, aku harus memilih satu di antara keduanya. Alhamdulillah keadaan
seperti ini tidak membuat mereka beradu untuk memperebutkanku. Meski akhirnya
jatuh pada pilihan di antara keduanya, bagi yang tak terpilih pun juga tidak
ada dendam. Keduanya bisa saling mengerti.
Belum sampai di rumah, entah aku bersama ibuku atau ayahku, keduanya selalu
menawarkan untuk makan sebelum menginjak rumah. Wah, menyenangkan sekali. Tawaran
makan di luar rumah itu sudah menjadi hal biasa karena kedua orang tuaku adalah
buruh pemerintah yang jarang makan di rumah.
Setiba di tempat makan. Mereka selalu menawariku untuk memilih menu ‘amis’,
seperti ikan, ayam, atau telur. Ah, telur tidak sering sih, paling sering
ditawari daging. Kalau aku memilih tempe atau telur, mereka mempertanyakan lagi
keyakinanku. Ya, bagi mereka anak kos harus perbaikan gizi. Bagiku, lebih
tepatnya makan enak, karena tempe pun juga bergizi.
Hm.. cap sebagai anak kos yang jarang dapat uang kiriman seperti aku ini
seringkali menjadi tamu agung jika pulang ke rumah. Wajar jika akhirnya untuk
menu makanan, aku memiliki kekuasaan penuh untuk dituruti. Mulai dari makan
ayam, ayam, ayam, dan ayam (beruntung mukaku tak serupa ayam) hingga makan
durian, durian, durian, dan mendem
durian (jatuh sakit, oh NO!). Ya, aku
bahagia soal makanan.
![]() |
selamat datang di rumah :) |
Namun, di sisi kebahagiaan itu, aku pun sering menahan lapar. Bangun
pagi, makanan belum ada, kedua orang tuaku sibuk bersiap diri berangkat kerja.
Akhirnya, aku harus berburu makan sendiri. Siang, mereka menyempatkan pulang ke
rumah untuk mengantarkan makanan, meski kadang mereka tidak menyempatkannya,
lalu lagi-lagi aku harus berburu makanan sendiri. Nah, masa-masa jam seperti
inilah tamu agung sepertiku sudah tak lagi agung. Mereka tiba di rumah, rumah
harus bersih dan rapi. Jika tidak, selalu muncul lontaran, “Di rumah kok cuma malas-malasan?”
Paling sering, mereka pulang ke rumah hanya untuk berkomentar, “Awan-awan, perawane kok sik turu? (Siang-siang,
perawannya kok masih tidur?).” Sore, mereka tiba di rumah, keduanya sibuk
ngurusi TPA di masjid. Malam, kadang
mereka ada di rumah, kadang punya acara di luar, entah ikut pengajian lah,
entah ada acara apa pun lah. Kalau pun di rumah, paling sering, ya, nonton televisi.
Isya berakhir, biasanya ibu memilih tidur, abah pergi masih dengan kesibukannya,
entah di masjid, pos kamling, atau di rumah kawannya. Rasanya suram sekali.
Bertemu mereka hanya sebentar. Sudah jarang pulang kampung, di rumah pun jarang
bertemu.
Tapi, setidaknya bisa melihat mereka berdua setiap hari sudah menjadi
satu kebahagiaan. Apalagi kalau hari libur, mereka merencanakan untuk berlibur
entah itu ke pantai, karaokean, atau jalan-jalan entah ke mana. Yah, kejutan
seperti itu seringkali ada meski hanya 1 dari 10 kemungkinan.
Jika akhirnya aku memilih untuk mencari hiburan dengan kawanku. Ibu
seringkali berkirim pesan “Di mana?”, “Posisi?”, dan lain-lain. Padahal, kalau
aku di rumah, aku jarang dianggap. Haduh! Tapi, ini menunjukkan sebenarnya ibu
ingin menghabiskan waktu denganku ketika ia tiba di rumah, Hehe. Ibu kepingin
ketika dia tiba, anaknya menyambut kedatangannya. Ya, kupikir seperti itu.
Ketika akhirnya aku merencanakan tanggal balik ke Yogyakarta, seringkali
ibu menghasutku untuk menunda. Bahkan, terkadang ibu menghasutku untuk bolos
kuliah sehari atau dua hari. He. Mungkin, ini karena aku jarang pulang kampung.
Bukan berarti aku harus pulang kampung lebih sering. Ibu selalu
mendukung kegiatanku, bahkan ia lebih sepakat aku banyak kegiatan (asal bermanfaat)
daripada keseringan pulang ke rumah
enggak ngapa-ngapain. Kecuali, di
rumah ada acara tertentu yang mengharuskanku untuk menghadirinya. Yang jelas, tidak
pernah ada paksaan, ibu selalu mengerti keadaanku jika akhirnya aku tak bisa
pulang ke rumah segera. Meskipun hampir dapat dipastikan seminggu sekali selalu
ada pesan darinya “Ibu kangen”. (bajigur!
Aku nangis saat nulis paragraf ini). Jadi pengen
pulang kampung…. Huwaaaaaaaaaaaaaaaa :'(
'
Itu saja kisah pulang kampungku. Mana kisah pulang kampungmu?
![]() |
kediri oh kediri |
#Semoga tahun depan aku bawa lelakiku pulang ke kampungku, hwaaaak :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar