Senin (25/02),
Gedung Kuliah 1 Fakultas Bahasa dan Seni di ruang 312 kalau tidak salah. Hari
itu salah satu kawanku, Pius, dia mengungkapkan misinya bahwa ia sedang
melakukan survei pada beberapa wanita. Kali itu, ia sedang mendekati Eci-Pius
bilang Eci adalah wanita jenis agak kelaki-lakian. Aku duduk di depan mereka.
Sengaja, aku tak menyimak obrolan mereka. Entah apa yang mereka obrolkan kala
kuliah Sosiolinguistik berlangsung saat itu, yang jelas mereka cukup berisik.
Sempat, Eci mengusikku dengan pertanyaan “Kalau ditembak cowok, milih katakan cinta
atau sayang?”. Aku berpikir lama untuk itu, namun aku putuskan untuk tak
menjawabnya.
Hari ini,
Rabu (27/02), di gedung yang sama, namun di ruang yang berbeda, yaitu 301. Lagi-lagi,
Pius di belakangku. Ia menanyakan kembali pertanyaan yang pernah dilontarkan Eci.
Aku rasa aku menjadi salah satu wanita yang disurvei, entah pada tataran wanita
jenis apa hingga aku dijadikan sampel si Pius.
Pertanyaan
pertama, “Kalau ditembak cowok, milih katakan cinta atau sayang?”. Aku jawab, “Cinta.”
Pertanyaan
kedua, “Ketika menyatakan cinta pada perempuan, perlukah menggunakan media
seperti boneka, bunga, atau apa pun?”. Aku jawab, “Tidak. Termasuk media SMS,
itu tidak. Lebih baik secara langsung, tatap muka.”
Dua
pertanyaan itu yang kuingat. Pius mengucapkan terima kasih, itu tanda survei yang
dia lakukan sudah selesai.
“Hanya itu?”
pikirku.
Entahlah,
kenapa dia tak mencoba menanyakan alasanku? Kupikir survei akan lebih pas bila
disertai alasan. Toh, pertanyaan cuma ada dua. Tapi, ya, itu terserah dia juga.
Tiba-tiba,
dia kembali bertanya, “Zodiakmu apa?”. Aku jawab, “Scorpio.” “Woo,
kalajengking,” timpalnya.
Entahlah,
aku tak mengerti apa tujuan dari surveinya itu. Yang jelas dia sedang tidak
membuat skripsi.
Dari
pertanyaan yang dilontarkan Pius, aku mulai menangkap bahwa cinta dan sayang
dibedakan. Entah bagaimana perbedaan posisi keduanya. Aku menjawab “Cinta”
karena memang kupikir untuk masa pertama kali “menembak”, akan lebih pas kata “cinta”,
bukan “sayang”. Kenapa? Ah, sayangnya Pius tidak menanyakan alasanku, aku jadi
enggan untuk menjelaskannya.
Satu hal
yang kemudian akhirnya membuatku memilih “cinta” adalah….
“Aku tak setuju kalau kau bilang bahwa cinta tak butuh alasan,
tapi kalau kaukatakan bahwa cinta tak harus nyata dalam kata, aku sepakat. Juga
jika kau katakan bahwa cinta tak harus berbalas. Kuungkapkan semua karena aku
percaya bahwa cinta itu sangat rasional. Kita pasti punya alasan mengapa kita
mencintai seseorang atau sesuatu. Itulah sebabnya mengapa aku katakan jangan
sampai kau dibutakan oleh cinta. Cinta tak hanya memberi, apalagi hanya
menerima. Cinta adalah paduan antara keduanya. Memberi dan menerima. Kau paham,
bukan? Kita harus punya alasan mengapa kita mencintai seseorang atau sesuatu.
Kau mesti tahu bahwa orang yang berkata dia mencintai sesuatu tanpa alasan
adalah bodoh.” (Sekumpulan Surat kepada Cinta: 55-56)
Satu hal,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), posisi “cinta” memiliki pengertian
yang lebih tinggi dibanding “sayang”. Cinta menurut KBBI adalah sayang benar.
Lihatlah, ada kebenaran dalam cinta, yaitu sayang. Bukan berarti aku menolak “sayang”.
Aku hanya lebih memilih “cinta”. Ya, aku memilih cinta dan dia-yang di Jakarta.
Dua hal
selanjutnya, aku berharap Pius berbagi kesimpulan dari hasil surveinya.
Salam cinta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar