Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Minggu, 12 Mei 2013

Aku Bilang, Ini Sangat Menyedihkan


Aku bilang ini menyedihkan. Bahkan, sangat menyedihkan. Bangun tak bisa pagi, tugas kuliah banyak yang terbengkalai, jauh dari pacar, duit tak ada, motor tak bisa hidup karena jarang dipakai karena bannya entah bocor atau kempes, hendak diperbaiki juga tak ada uang. Tapi satu, beruntung sudah sarapan. Ujung-ujungnya, hidup jadi kegiatan berkeluh kesah, tiada guna, sungguh. Ya, namanya saja menyedihkan. Wajar.
Kamar berantakan, hidup jadi ikut berantakan. Kacau. Entah harus ditata dari mana. Entah mengapa aku begitu yakin akar permasalahan ini ada pada uang. Ini bukan persoalan menghamba pada uang atau bukan, tapi ini menyangkut kebutuhan. Entah berbicara soal sudut pandangku menilai uang atau bukan, tapi yang jelas, aku butuh uang. Ini jujur tanpa rekayasa, tanpa ada sisipan kemunafikan, very very real! Tidak dipungkiri kalau aku butuh uang dan sangat butuh uang. Kan, aku sudah mengulanginya berulang-ulang. Lagi, aku butuh uang. Tidak ada uang itu menyiksa.
Coba kalau ada uang, aku tidak akan pusing memikirkan cucianku yang belum dicuci dan disetrika. Tinggal naruh di laundry.
Coba kalau ada uang, aku bisa makan ketika aku lapar, tidak pusing-pusing harus menghitung hari ini aku sudah makan berapa kali, aku mau makan apa, atau harus mengira-ngira nasi di magicom sudah berapa hari.
Coba kalau ada uang, aku bisa membenahi motorku di bengkel dan aku bisa beraktivitas dengan lancar ke sana ke mari.
Coba kalau ada uang, aku bisa beli deposit, jualan pulsaku lancar, lumayan nambah pemasukan.
Karena tidak ada uang, aku harus putar otak untuk mendapatkan uang.
Mau kerja parttime, terbentur waktu senggang. Mau mengajar, tapi tidak ada job. Toh, lagi-lagi terbentur dengan waktu senggang. Mau jualan di online shop, tapi koneksi tidak lancar, sepi juga. Mau ikut lomba menulis berhadiah uang pembinaan, tapi harus bayar uang pendaftaran, serius mau pakai uang apa? Tiap malam harus lembur nulis ini itu untuk cari pemasukan yang masih bisa disambi, tapi nyatanya belum keturutan juga dapat duit dari menulis. Lembur menyita waktu istirahat, bangun jadi siang, waktu senggang berkurang, cucian belum tersentuh, nasi pun juga tak terjamah, kamar berantakan, istirahat makin tak tenang. Haish, berantakan. Akhirnya, waktu senggang digunakan untuk mengeluh. Ya, seperti ini. Bodoh!
Mau melakukan ini, kepikiran itu. Mau melakukan itu, kepikiran yang lain. Duh, Gusti!

Sabtu, 16 Maret 2013

Pulang Kampung itu…

stasiun kediri

Setiba di stasiun, wanita berwajah keibu-ibuan menantiku dengan motor yang ia tumpangi. Di sisi lain, ada lelaki berwajah keayah-ayahan menantiku dengan mobil tua yang ia tunggangi. Nah, dua orang sama-sama menantiku. Wanita itu bernama ibuku. Sedang lelaki itu bernama ayahku. Seringkali seperti itu. Jika anak gadisnya pulang kampung, tidak ada koordinasi jelas siapa yang akan menjemput. Akhirnya, aku harus memilih satu di antara keduanya. Alhamdulillah keadaan seperti ini tidak membuat mereka beradu untuk memperebutkanku. Meski akhirnya jatuh pada pilihan di antara keduanya, bagi yang tak terpilih pun juga tidak ada dendam. Keduanya bisa saling mengerti.

Belum sampai di rumah, entah aku bersama ibuku atau ayahku, keduanya selalu menawarkan untuk makan sebelum menginjak rumah. Wah, menyenangkan sekali. Tawaran makan di luar rumah itu sudah menjadi hal biasa karena kedua orang tuaku adalah buruh pemerintah yang jarang makan di rumah.

Setiba di tempat makan. Mereka selalu menawariku untuk memilih menu ‘amis’, seperti ikan, ayam, atau telur. Ah, telur tidak sering sih, paling sering ditawari daging. Kalau aku memilih tempe atau telur, mereka mempertanyakan lagi keyakinanku. Ya, bagi mereka anak kos harus perbaikan gizi. Bagiku, lebih tepatnya makan enak, karena tempe pun juga bergizi.

Hm.. cap sebagai anak kos yang jarang dapat uang kiriman seperti aku ini seringkali menjadi tamu agung jika pulang ke rumah. Wajar jika akhirnya untuk menu makanan, aku memiliki kekuasaan penuh untuk dituruti. Mulai dari makan ayam, ayam, ayam, dan ayam (beruntung mukaku tak serupa ayam) hingga makan durian, durian, durian, dan mendem durian (jatuh sakit, oh NO!). Ya, aku bahagia soal makanan.

selamat datang di rumah :)
Namun, di sisi kebahagiaan itu, aku pun sering menahan lapar. Bangun pagi, makanan belum ada, kedua orang tuaku sibuk bersiap diri berangkat kerja. Akhirnya, aku harus berburu makan sendiri. Siang, mereka menyempatkan pulang ke rumah untuk mengantarkan makanan, meski kadang mereka tidak menyempatkannya, lalu lagi-lagi aku harus berburu makanan sendiri. Nah, masa-masa jam seperti inilah tamu agung sepertiku sudah tak lagi agung. Mereka tiba di rumah, rumah harus bersih dan rapi. Jika tidak, selalu muncul lontaran, “Di rumah kok cuma malas-malasan?” Paling sering, mereka pulang ke rumah hanya untuk berkomentar, “Awan-awan, perawane kok sik turu? (Siang-siang, perawannya kok masih tidur?).” Sore, mereka tiba di rumah, keduanya sibuk ngurusi TPA di masjid.  Malam, kadang mereka ada di rumah, kadang punya acara di luar, entah ikut pengajian lah, entah ada acara apa pun lah. Kalau pun di rumah, paling sering, ya, nonton televisi. Isya berakhir, biasanya ibu memilih tidur, abah pergi masih dengan kesibukannya, entah di masjid, pos kamling, atau di rumah kawannya. Rasanya suram sekali. Bertemu mereka hanya sebentar. Sudah jarang pulang kampung, di rumah pun jarang bertemu.

Tapi, setidaknya bisa melihat mereka berdua setiap hari sudah menjadi satu kebahagiaan. Apalagi kalau hari libur, mereka merencanakan untuk berlibur entah itu ke pantai, karaokean, atau jalan-jalan entah ke mana. Yah, kejutan seperti itu seringkali ada meski hanya 1 dari 10 kemungkinan.

Jika akhirnya aku memilih untuk mencari hiburan dengan kawanku. Ibu seringkali berkirim pesan “Di mana?”, “Posisi?”, dan lain-lain. Padahal, kalau aku di rumah, aku jarang dianggap. Haduh! Tapi, ini menunjukkan sebenarnya ibu ingin menghabiskan waktu denganku ketika ia tiba di rumah, Hehe. Ibu kepingin ketika dia tiba, anaknya menyambut kedatangannya. Ya, kupikir seperti itu.

Ketika akhirnya aku merencanakan tanggal balik ke Yogyakarta, seringkali ibu menghasutku untuk menunda. Bahkan, terkadang ibu menghasutku untuk bolos kuliah sehari atau dua hari. He. Mungkin, ini karena aku jarang pulang kampung.

Bukan berarti aku harus pulang kampung lebih sering. Ibu selalu mendukung kegiatanku, bahkan ia lebih sepakat aku banyak kegiatan (asal bermanfaat) daripada keseringan pulang ke rumah enggak ngapa-ngapain. Kecuali, di rumah ada acara tertentu yang mengharuskanku untuk menghadirinya. Yang jelas, tidak pernah ada paksaan, ibu selalu mengerti keadaanku jika akhirnya aku tak bisa pulang ke rumah segera. Meskipun hampir dapat dipastikan seminggu sekali selalu ada pesan darinya “Ibu kangen”. (bajigur! Aku nangis saat nulis paragraf ini). Jadi pengen pulang kampung…. Huwaaaaaaaaaaaaaaaa :'(
'
Itu saja kisah pulang kampungku. Mana kisah pulang kampungmu?

kediri oh kediri
#Semoga tahun depan aku bawa lelakiku pulang ke kampungku, hwaaaak :D

Rabu, 27 Februari 2013

Cinta atau Sayang?



Senin (25/02), Gedung Kuliah 1 Fakultas Bahasa dan Seni di ruang 312 kalau tidak salah. Hari itu salah satu kawanku, Pius, dia mengungkapkan misinya bahwa ia sedang melakukan survei pada beberapa wanita. Kali itu, ia sedang mendekati Eci-Pius bilang Eci adalah wanita jenis agak kelaki-lakian. Aku duduk di depan mereka. Sengaja, aku tak menyimak obrolan mereka. Entah apa yang mereka obrolkan kala kuliah Sosiolinguistik berlangsung saat itu, yang jelas mereka cukup berisik. Sempat, Eci mengusikku dengan pertanyaan “Kalau ditembak cowok, milih katakan cinta atau sayang?”. Aku berpikir lama untuk itu, namun aku putuskan untuk tak menjawabnya.
Hari ini, Rabu (27/02), di gedung yang sama, namun di ruang yang berbeda, yaitu 301. Lagi-lagi, Pius di belakangku. Ia menanyakan kembali pertanyaan yang pernah dilontarkan Eci. Aku rasa aku menjadi salah satu wanita yang disurvei, entah pada tataran wanita jenis apa hingga aku dijadikan sampel si Pius.
Pertanyaan pertama, “Kalau ditembak cowok, milih katakan cinta atau sayang?”. Aku jawab, “Cinta.”
Pertanyaan kedua, “Ketika menyatakan cinta pada perempuan, perlukah menggunakan media seperti boneka, bunga, atau apa pun?”. Aku jawab, “Tidak. Termasuk media SMS, itu tidak. Lebih baik secara langsung, tatap muka.”
Dua pertanyaan itu yang kuingat. Pius mengucapkan terima kasih, itu tanda survei yang dia lakukan sudah selesai.
“Hanya itu?” pikirku.
Entahlah, kenapa dia tak mencoba menanyakan alasanku? Kupikir survei akan lebih pas bila disertai alasan. Toh, pertanyaan cuma ada dua. Tapi, ya, itu terserah dia juga.
Tiba-tiba, dia kembali bertanya, “Zodiakmu apa?”. Aku jawab, “Scorpio.” “Woo, kalajengking,” timpalnya.
Entahlah, aku tak mengerti apa tujuan dari surveinya itu. Yang jelas dia sedang tidak membuat skripsi.
Dari pertanyaan yang dilontarkan Pius, aku mulai menangkap bahwa cinta dan sayang dibedakan. Entah bagaimana perbedaan posisi keduanya. Aku menjawab “Cinta” karena memang kupikir untuk masa pertama kali “menembak”, akan lebih pas kata “cinta”, bukan “sayang”. Kenapa? Ah, sayangnya Pius tidak menanyakan alasanku, aku jadi enggan untuk menjelaskannya.
Satu hal yang kemudian akhirnya membuatku memilih “cinta” adalah….
“Aku tak setuju kalau kau bilang bahwa cinta tak butuh alasan, tapi kalau kaukatakan bahwa cinta tak harus nyata dalam kata, aku sepakat. Juga jika kau katakan bahwa cinta tak harus berbalas. Kuungkapkan semua karena aku percaya bahwa cinta itu sangat rasional. Kita pasti punya alasan mengapa kita mencintai seseorang atau sesuatu. Itulah sebabnya mengapa aku katakan jangan sampai kau dibutakan oleh cinta. Cinta tak hanya memberi, apalagi hanya menerima. Cinta adalah paduan antara keduanya. Memberi dan menerima. Kau paham, bukan? Kita harus punya alasan mengapa kita mencintai seseorang atau sesuatu. Kau mesti tahu bahwa orang yang berkata dia mencintai sesuatu tanpa alasan adalah bodoh.” (Sekumpulan Surat kepada Cinta: 55-56)
Satu hal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), posisi “cinta” memiliki pengertian yang lebih tinggi dibanding “sayang”. Cinta menurut KBBI adalah sayang benar. Lihatlah, ada kebenaran dalam cinta, yaitu sayang. Bukan berarti aku menolak “sayang”. Aku hanya lebih memilih “cinta”. Ya, aku memilih cinta dan dia-yang di Jakarta.
Dua hal selanjutnya, aku berharap Pius berbagi kesimpulan dari hasil surveinya.
Salam cinta!