Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Senin, 28 April 2014

Surat Kedua

Kepada: Yu Tengkleng

Assalamu’alaikum wr. wb.
 
Seperti halnya menanti surat yang diantar pak pos, aku pun menanti SMSmu dan bilang kalau kau sudah membalas suratku. Setelah kuamati, sepertinya kau balas suratku di blog baru. Di mana nian blogmu yang biasanya? Rasanya, aku pernah kepo tulisan tentang ulang tahunmu di blog apa aku lupa.
 
Aku sudah menanti balasan suratmu, tapi aku malah tak kunjung membalas suratmu. Maaf, ya? Hehehe
 
Kalau bahas tentang pertemuan dan bahkan perpisahan, rasanya memang Tuhan selalu punya cara-cara mengejutkan dan mengagumkan, kemudian kita bergumam, “Kok bisa, ya?” Sama seperti halnya kau yang mencoba merayuku tentang pesona pertama pandangan pertamamu padaku. Aku juga bergumam, “Kok bisa terpesona?” Ah, tapi aku tahu kau memang mudah terpesona, Dul, terutama terpesona pada perempuan. Kalau ada yang cantik lewat, matamu melongo. Kalau ada yang seksi lewat, mulutmu itu menganga, ngeces, keluar air liurnya, hahaha... Pokoknya aku merasa paling paham dengan gelagatmu kalau ada yang cantik atau pun seksi. Kalau ada yang begituan lewat, aku lebih memilih untuk pindah fokus melihat gelagat dan bentuk wajahmu, aku menunggu sampai kau mengalihkan fokus untuk menatapku. Kemudian, kita saling bertatap muka dan tertawa bersama. Ya, tanpa harus dijelaskan dengan kata-kata, kita sudah paham. Duh, Dek...
 
Aku sudah menduga bahwa kau akan merasa cemburu. Karena aku juga pernah merasakan hal itu. Aku pernah cemburu dengan Faiq yang sudah mulai dekat dengan lelakinya. Aku pernah cemburu dengan Faiq yang lebih memilih bercerita dengan kawan yang lainnya. Aku merasakan kecemburuanmu, Dul.
 
Perlu kamu tahu, ketika aku mulai benar-benar dekat dengan mas Ain, aku tidak menceritakan padamu. Entahlah, muncul rasa segan untuk menceritakan hal itu. Kalau ditanya kenapa segan, aku juga tidak tahu. Padahal, kalau diingat-ingat, dulu yang seringkali membalas SMS mas Ain itu kamu, Dul. Kamu paling seneng gombalin mas Ain lewat SMS atas namaku. Aku sudah menceritakan hal ini pada mas Ain. Dia bergumam, “Oh... jadi ternyata selama ini yang balas SMSku si Ayu?” Langsung kujawab, “Iya, terus kenapa? Sana jadian sama Ayu.” Mas Ain cuma tertawa ngakak. Entahlah, aku juga enggak tahu kenapa akhirnya aku dan Mas Ain bisa bertahan sampai sejauh ini. Padahal, kau tahu sendiri dulu bagaimana ketika aku mengalami fase males dengan dia, merasa bahwa aku ini hanya pelampiasan. Dan, ah kau dari Slawi, Tegal. Kupikir itu juga bumbu atas kemuakanku padamu. Misal, kita janjian jam segini dan kamu telat lama banget, aku semakin nggrundel kalau ingat kamu ini dari Tegal, hahaha... Kasihan banget sih kamu :-p
 
Jadi ingat, waktu latihan drama, semua peserta diminta untuk marah-marah. Saat aku ditunjuk, kamu jadi tumbal di tengah. Kamu menjarakku dengan, “Aku dari Tegal, lho!” -___-“
 
Saat itu, aku lebih memilih untuk tidak sanggup karena aku takut menangis. Mungkin, bisa saja bukan karena kau dari Tegal, tapi juga tentang kenapa kau semakin menjauh, dan lain sebagainya.
 
Tapi, semua kisah selalu ada hikmahnya. Setidaknya, masing-masing dari kita juga mencoba mencari aroma kehidupan yang lain. Enggak aku aku teruuuus, enggak kamu kamu muluuuu, dan seterusnya....
 
Meski terlihat jauh, toh sebenarnya kita masih ada celah waktu untuk bersama kan ya? Ah, udah ah, jangan lebay. Hahaha...
 
Cuma, bedanya sekarang ini, kita memang jadi jarang berbagi. Kalau dulu, dikit-dikit cerita.
Dul, lama-lama aku bingung harus ngomong apa lagi. Ayolah, kau bercerita. Ah, iya, bagaimana kisah asmaramu sekarang ini? Aku sengaja tidak akan menanyakan tentang skripsimu karena itu hanya akan membuatku pedih, hahaha...
 
Wassalamu’alaikum wr. wb.
 
4 x 4 = 16
Sempat tidak sempat harus dibalas.
 
Senin, 28 April 2014
Ade Rakhma Novita Sari

Senin, 21 April 2014

Surat Pertama

Kepada: Yu Tengkleng

Assalamu’alaikum wr. wb.
Halo, Ayu. Apa kabar? Duh, format tulisanku sudah semacam surat undangan saja.
Malam ini aku sangat sedih sekali, tapi kalau ditanya sedih kenapa, aku tak dapat menjawabnya karena entah mengapa aku tak mengerti kenapa. Mungkin, karena aku merasa kesepian. Bukan berarti aku tak punya kawan. Aku punya banyak kawan, bahkan banyak sekali. Aku punya banyak kawan untuk berbagi canda, tapi tidak untuk berbagi duka. Bagiku, mencari kawan untuk tertawa bersama itu gampang, tapi tidak untuk kawan menangis bersama.
Dulu, waktu SMA, aku punya kawan, namanya Faiq Mufidah. Faiq nama panggilannya, tapi aku lebih sering memanggilnya “Tatak”. Tatak itu berasal dari kata “Kakak”. Karena diucapkan anak sealay aku waktu itu, “kakak” pun menjadi “tatak”. Semakin bertambah usia, tingkat alayku meningkat hingga akhirnya “Tatak” berganti panggilan menjadi “Tutuk”. Ya, itu karena ulah anak alay sepertiku. Semua kata kuubah menjadi serba “u”. Konyolnya... kau tau sendirilah siapa panggilan sayang untuk calon suamiku (sudah ngomongin calon suami kok rasanya terlalu berat ya? Biar deh!). Cayank jadi cuyunk. Hahahaha... Semoga ketika kami menikah nanti dan ia menjadi ayah, aku tidak mengubah “ayah” menjadi .... kau lanjutkan sendiri saja.
Kita kembali ke Tatak. Jangan Tatak lah ya? Faiq saja. Faiq ini tercatat dalam buku harianku sebagai sosok kawan yang sangat berarti. Kami pernah jatuh bersama, mencoba berdiri, menahan tangis, dan sedih. Ya, kami melalui itu semua bersama. Sosoknya begitu dalam di relung hatiku karena dia adalah sahabat yang bisa menemaniku di kala duka. Kau tahu? Kawan yang membekas di hati itu ya kawan yang seperti itu. Malam ini hatiku sedih, hatiku gundah, hatiku resah, tapi tenang... enggak galau kok. Aku harus mengalihkan kesedihanku ini pada hal yang lain. Berbagi adalah pilihan yang tepat. Aku ingin menghubungi si abang nan jauh di Tangerang, aku yakin dia sedang sibuk. Mau menghubungi ibu, takut kalau-kalau bikin panik. Aku mencari nomor yang bisa dihubungi dalam daftar kontak handphone-ku, aku menemukan namamu: “NJ_Ayu Tengkleng”. Kukirim pesan hingga sampailah pada kesepakatan surat pertama ini untukmu. Dulu, aku pikir tidak ada sahabat yang bisa seperti Faiq kalau aku sudah di Yogyakarta dan masuk dunia kampus. Tapi, ternyata tidak, ada Yu Tengkleng. Ibuku pernah bilang kan kalau dirimu seperti Faiq, ingat?
Mungkin, kau akan bertanya kenapa aku tidak menghubungi Faiq saja. Dunia kampus memisahkan kami. Aku kehilangan komunikasi intens sejak masuk dunia kampus. Kami komunikasi hanya seperlunya saja. Tapi tenang, baru kemarin aku habiskan waktu seharian bersamanya. Banyak cerita baru darinya. Faiq masih saja inspiratif bagiku. Aku menyesal kehilangan komunikasi dengannya saat itu. Aku tak ingin menyesal kedua kalinya karena kupikir kita berdua hampir kehilangan komunikasi. Aku tak ingin kita menjalin komunikasi menunggu kalau ada perlunya, kalau lagi sedih-sedih saja (dumeh iso diajak susah), hahaha...
Sudahlah begitu saja. Surat ini kuhantarkan sebagai pembuka, sebagai penyapa untukmu wahai, Yu Tengkleng. Kabar apa yang ingin kau bagi denganku? Berbagilah...
Wassalamu’alaikum wr. wb.
4 x 4 = 16
Sempat tidak sempat, harus dibalas.
                                                                                                                                 Senin, 21 April 2014
                                                                                                                          Ade Rakhma Novita Sari