Assalamu'alaikum, salam sejahtera bagi kita semua...

SELAMAT DATAAAANG ...
Selamat menikmati blog sederhanaku ..

-Luph U All-

Selasa, 25 Maret 2014

Marsinah Dibiarkan Mati, Lalu Satinah?

"Kepada anakku, Nur, dan semua keluarga saya yang di kampung halaman. Terima kasih aku sudah bisa terina suratmu, sudah aku baca dan aku bahagia, dan aku senang pandang fotomu. Mudah-mudahan aku bisa ketemu"

Itu adalah tulisan Satinah untuk anaknya, Nur Afriana, yang aku kutip dari koran Tribun nomor 1068/tahun 3, Rabu Wage, 26 Maret 2014.

Satinah adalah TKW di Arab Saudi. Dia akan dihukum mati karena dia terbukti membunuh majikan dan mengambil uang 119 juta milik majikannya.

Satinah akan dibebaskan jika membayar diyat 25 Miliar.

Pertama, ternyata seorang pembunuh bisa dimaafkan dengan uang. Ternyata nyawa seseorang bisa dibeli dengan uang.

Kedua, tebusan 25 Miliar belum bisa dipenuhi, Indonesia tidak ada uang tebusan sebesar itu. Yakin, ini udah mirip pemerasan saja. Bisa-bisa, kematian seseorang yang dibunuh bisa menjadi pemasukan negara yang luar biasa.

Ketiga, karena bantuan Indonesia belum mencukupi jumlah diyat, Nur sebagai anaknya berinisiatif untuk meminta bantuan banyak orang. Lalu, kenapa kita harus menyelamatkan seorang pembunuh?

Keempat, Satinah membunuh karena dia dianiya majikannya. Satinah membunuh karena membela diri. Ini yang harus dipertimbangkan kenapa akhirnya Satinah perlu dibela, setidaknya bukan dihukum mati begitu saja.

Kelima, berita Satinah hanya ada di kolom-kolom kecil yang nyempil. Berbeda dengan pesawat yang hilang itu. Isu Satinah dialihkan pada pesawat hilang dan kampanye.

Keenam, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri ayo unjuk gigi sebelum Satinah mati.

Ketujuh, jangan tunggu Satinah mati baru bersuara. Telat!

Kedelapan, marak sekali kasus penyiksaan TKW.

Apa yang kau cari di luar sana sampai harus meninggalkan tanah kelahiranmu?
Apa di tanah kelahiranmu ini belum bisa memberimu keteduhan di pagi, siang, dan malam?
Apa di tanah kelahiranmu ini belum bisa memberi sesuap nasi?
Apa di tanah kelahiranmu ini begitu kejam pada pendidikan anakmu?
Atau apa?

#SAVESATINAH

Dia Ingin Didengar

Kipas angin sudah berputar kencang seperti semula. Kipas berputar seolah-olah tak ada yang bermasalah. Selalu seperti itu, kadang bermasalah, kadang tidak. Bila malam ini kipas angin itu berputar seperti biasa, maka tak seperti halnya dengan suasana hati dia.

Tiba-tiba malam itu dia menangis. Tak ada alasan lain selain keinginan hati untuk melinangkan air mata. Dia ingin melepas semua kekeringan hatinya lewat air mata.

Dia merasa hari-harinya kosong. Dia ingin merasakan jatuh cinta agar hidupnya berwarna. Tapi, nyatanya seorang kekasih belum cukup untuk memberinya warna.

Dia tidak akan mempersalahkan waktu ataupun jarak. Dia hanya merasa sendiri. Kekasihnya tak cukup waktu untuk menemaninya. Maklum, dia belum cukup dewasa untuk mengerti.

Selama ini, dia hanya berteman imajinasi. Ketika dia butuh kekasihnya, dia bisa menghadirkan lewat imajinasi. Ketika gundah melanda, dia obati dengan imajinasinya.

Dia orang yang punya harapan tinggi pada dunia. Semakin sering berharap, maka semakin sering kecewa pula. Dia mengobati kekecewaannya dengan imajinasinya. Ya, dia nyaman dengan imajinasinya. Kekasih yang tak pernah hadir dalam relung hatinyaa yang sepi, bisa tergantikan dengan sebuah pikiran liar yang dia beri nama imajinasi.

Dia merasa sedang berjalan jauh bersama imajinasinya tanpa peduli dunia.
Malam ini, dia masih memendam kekecewaan yang mendalam. Dia begitu benci pada keadaannya saat ini.

Dia butuh kawan untuk didengar.

"Bukan hanya mempersingkat waktu, melainkan juga mendapatkan esensinya, " ucapnya.

Kipas itu pun berputar, perlahan berhenti. Dia memutar baling-baling kipas dengan tangannya. Kipas kembali berputar. Kipas itu bunyi. Bunyinya mengusik telinga seolah-olah kipas itu ingin mati. Dia hanya berharap bahwa kipas itu akan terus berputar di kala dibutuhkan.
Dia pun kembali menulis. Dia sudah menemukan kembali bagaimana dia bisa produktif untuk menulis dan bagaimana dia bisa bercerita mengalir apa adanya. Itu dia dapatkan karena dia mencoba membuka masa lalu.

Hari itu dia melewati hari-harinya di kamar. Dari pagi, siang, sore, malam, sampai pagi lagi. Kini ia punya kamar tak lagi sekedar hanya untuk numpang tidur, mandi, atau istirahat, tapi kamar itu kini sudah jadi tempat paling sering dia singgahi. Bahkan, dia kerja dalam kamarnya. Kerja apalagi kalau bukan menulis.

Bila ditanya kapan deadline tulisannya, dia bilang, "Setiap hari adalah deadline."

Bukan perkara dia banyak kerjaan sehingga akhirnya setiap hari adalah deadline. Karena dia sudah melewati batas waktu, maka hari-hari berikutnya adalah deadline.

Dia sudah terbiasa untuk melanggar deadline. Dia sudah sering stres karena deadline. Dia nyaris putus asa karena deadline. Tapi, ia tak pernah kapok untuk berurusan dengan deadline karena lewat deadline, dia bisa menghidupi kehidupannya.

Kurang satu judul dan beberapa tulisan yang butuh disunting. Dia ingin sekali segera menyelesaikan tanggungannya. Dia ingin dengan tenang melangkah untuk mengerjakan tugas akhirnya. Dia sudah di bawah tekanan karena beberapa kawannya sudah akan menggelar pesta kelulusan. Kawan-kawannya sudah menulis 1 skripsi, dia masih berkutat dengan 1 buku, 2 buku, 3 buku, 4 buku bahkan. Entahlah, sebenarnya dia tekanan batin juga. Itu adalah pilihannya dan dia tetap melalui itu semua dengan senang ahti, meski sebenarnya terkadang dia cukup merintih.

Kekasihnya sudah menanti kelulusannya, katanya sih mau dinikahi. Ibunya pun juga menantikan kelulusannya, katanya ibunya takut kalau dia menikah tapi belum lulus.

Dia masih saja menjalani semua dengan biasa saja. Dia yakin bisa menyelesaikan semuanya.

"Bukan hanya mempersingkat waktu, melainkan juga mendapatkan esensinya, " ucapnya.